PWMU.CO– Masjid Biru Sankt Peterburg di Rusia ini nasibnya berubah dan menjadi terkenal karena kunjungan Presiden Soekarno pada tahun 1956.
Zaman Uni Soviet kota ini bernama Leningrad. Setelah Uni Sovyet runtuh nama kota kembali ke nama Saint Petersburg atau Petrograd, merujuk Tsar Peter Agung yang membangun kota itu tahun 1703. Kota ini pernah menjadi ibukota Kekaisaran Rusia. Suasana kota sangat cantik, banyak gedung kuno berarsitektur memesona. Berada di delta Sungai Neva.
Russia Beyond melaporkan, tahun itu kunjungan pertama Bung Karno ke Uni Soviet sejak menjalin hubungan diplomatik pada 1950. Bung Karno mengunjungi kota ini melihat Istana Musim Panas Petergof, Istana Musim Dingin Hermitage, serta Benteng Petropavlovskaya.
Saat melintasi jembatan Troitskiy yang berdiri di atas Sungai Neva, pandangannya tertuju pada gedung berbentuk berkubah biru di kejauhan dengan gaya arsitektur Asia Tengah. Dua menara kembarnya yang menjulang tinggi berhadapan dengan gereja di sekitarnya.
Bung Karno gembira ada masjid di kota ini. Maka dia mengajak rombongan mendatangi bangunan itu. Kunjungan ini di luar jadwal resmi negara.
Mufti Besar Sankt Peterburg Zhafar Ponchaev menceritakan, gara-gara mampir di masjid ini sejumlah acara yang telah disusun ke Leningrad dibatalkan.
Bung Karno Kecewa
Setelah tiba, Bung Karno kecewa melihat nasib bangunan ini. Secara fisik sebuah masjid, tapi telah beralih fungsi menjadi gudang sejak Perang Dunia II.
Ketika bertemu Presiden Uni Sovyet Nikita Khrushchev dan bertanya kesannya tentang kota Leningrad, Bung Karno memuji keindahan kota ini sekaligus menyampaikan kecewanya pada nasib Masjid Biru.
”Soekarno meminta masjid ini dikembalikan sesuai fungsinya. Sepuluh hari setelah kunjungan Presiden Soekarno, bangunan ini kembali menjadi masjid,” kata Ponchaev.
Kembalinya bangunan ini menjadi masjid yang terus terpelihara hingga kini menunjukkan hebatnya kekuatan lobi politik Soekarno kepada pemimpin dunia seperti Khrushchev. Selain masjid ini Bung Karno juga meminta perbaikan makam Imam Bukhari di Tashkent.
Dia menjelaskan, Masjid Biru mulai dibangun tahun 1910 ketika umat Islam di Rusia saat itu hanya sekitar delapan ribu orang. Ide pembangunan dari para pekerja yang berasal dari wilayah muslim di Rusia seperti Dagestan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Turkmenistan. Mereka sedang membangun kapal di galangan Sungai Neva.
Izin pembangunan masjid ini diberikan oleh Tsar Nikolay II pada 3 Juli 1907 di Istana Petergof. Arsiteknya Nikolay Vasilyev. Memadukan ornamen ketimuran dan mosaik biru toska pada kubah. Juga model gerbang, menara, serta mihrab.
Masjid ini lokasinya sangat bagus. Berseberangan dengan benteng Petropavlovskaya. Di depannya terbentang Taman Gorkorvskaya yang luas dan dipenuhi pepohonan tua.
Donatur Emir Bukhara
Panitia pembangunan diketuai Ahun Ataulla Bayazitov. Emir Bukhara Said Abdul Ahad sebagai penyumbang terbesar. Saat peresmian pada 1913, Masjid Biru menjadi masjid terbesar di Eropa. Kubah biru yang mencolok itu setinggi 39 meter dan menara kembar setinggi 49 meter.
Zaman komunisme masjid ditutup dan dijadikan gudang pasca Perang Dunia II. Masjid ini dipugar besar-besaran tahun 1980. Penjaga masjid, Alimzhan mengatakan, Masjid Biru menjadi objek kunjungan pemimpin-pemimpin negara Islam bila datang ke Sankt Peterburg. ”Saya sendiri bertemu Gamal Abdul Nasser dari Mesir ketika berkunjung ke sini,” katanya.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah berkunjung ke Masjid Biru Sankt Peterburg pada 30 November 2006. Dia disambut oleh Mufti Besar Sankt Peterburg Zhafar Ponchaev yang menceritakan sejarah masjid ini.
Kini Masjid Biru masih berdiri tegak. Kumandang adzan memanggil muslim kota itu untuk datang menjalankan kewajibannya untuk shalat.
Di dalam masjid terhampar karpet biru, dinding-dindingnya dihias dengan ornamen-ornamen khas Rusia dan kaligrafi di setiap sudutnya. Jamaah masjid berasal dari daerah muslim Rusia yang imigrasi ke kota ini.
Alimzhan menerangkan, setiap shalat Jumat masjid ini penuh oleh umat Islam. Shalat Idul Fitri dan Idul Adha jamaah membeludak hingga ke jalan di depannya. (*)
Editor Sugeng Purwanto