PWMU.CO – Harga BBM tidak turun untuk bayar utang disampaikan oleh Ketua Komite Penggerak Koalisi Masyarakat Penegak Keadilan (KMPK) Dr Marwan Batubara.
Hal itu disampaikan dalam webinar KMPK dengan tema UU Korona Nomor 2 Tahun 2020 Bagian dari Oligarki Fulus Mulus yang digelar via aplikasi QQ, Jumat (17/7/2020).
Menurut Marwan Batubara dengan webinar ini bisa mendengar banyak pakar sehingga masyarakat menjadi paham bahwa UU nomor 2 tahun 2020 adalah UU yang bermasalah, yang sarat dengan moral hazard.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
“Dengan paham kita berharap nanti juga aktif melakukan advokasi. Kita berharap ini menjadi pertimbangan bagi para hakim di MK untuk meluluskan gugatan kita yang sudah diajukan pada 1 Juli 2020,” ujarnya.
Penggugat perorangan, sambungnya, ada 63 orang tokoh antara lain Prof Din Syamsuddin, Prof Amien Rais dan aktivis lainnya. Ada juga ormas seperti Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia dan lainnya.
Marwan memulai paparan soal obligasi BLBI. “Kalau kita melihat waktu, saya kompilasi tulisan Kwik Kian Gie, Fadel Hasan, dan Erni Sabarini, memang disebutkan kira-kira tahun 2023 pokok dari obligasi itu akan berakhir kalau dibayar. Kalau tidak dibayar maka berlanjut lagi ke 2066,” ungkapnya.
“Dan rupanya itu sekitar Rp 40-Rp 60 triliun. Itu dalam kondisi total BLBI dan obligasinyanya sekitar Rp 640 triliun. Untuk yang sekarang ini defisit keuangan Rp 1039 trilliun,” tambahnya.
Menanggung Beban Manipulasi
Kalau merujuk ke undang-undang atau perpunya ini mungkin untuk menyelamatkan masyarakat dari pandemi. Tetapi dari sisi alokasi APBN ternyata lebih banyak kepentingan ekonomi dan keuangan yang terdampak akibat Covid-19.
“Seandainya itu cukup dibatasi waktunya mulai Maret atau April 2020 mungkin tidak masalah bagi kita. Tetapi kalau itu 1 atau 3 tahun sebelumnya saya kira justru itu dipakai untuk menumpangi berbagai kepentingan menyelamatkan banyak pengusaha. Di satu sisi juga kita harus menanggung beban manipulasi politik atau kejahatan politik,” paparnya.
Marwan menyoroti yang terkait dengan BUMN. Menurut dia, pada bulan Mei 2020 ada suntikan modal pemerintah jumlahnya sekitar Rp 150 triliun. Dua besar penerimanya adalah Pertamina dan PLN yang jumlahnya masing-masing sekitar Rp 38 triliun.
“Mengapa dua BUMN itu mempunyai piutang begitu banyak ke pemerintah dan harus dibayar sekarang ini dengan utang yang tingkat bunganya lebih tinggi,” tanyanya.
“Dan itu nanti dari BLBI saja harus membayar bunga sekian trilliun. Ini juga akan banyak lagi yang kita bayar dan salah satu sumbernya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan membebani BUMN terutama dua besar itu untuk menanggung tugas PSO tetapi tugas PSO itu dilakukan dalam rangka pencitraan politik menjelang pilpres 2019,” jelasnya.
Pertamina Jadi Sapi Perah
Jadi kalau diurut, menurutnya, Pertamina tahun 2017 itu punya piutang ke pemerintah Rp 20 triliun, tahun 2018 sebanyak Rp 45 triliun dan tahun 2019 Rp 30 trilliun. Kemudian PLN pada 2018 menanggung beban Rp 23 trilliun dan tahun 2019 Rp 25 triliun.
“Artinya dengan kepentingan pencitraan politik maka BUMN menjadi korban. Salah satu yang menjadi dampak negatifnya terhadap BUMN itu setiap tahun mestinya tidak harus menerapkan obligasi tetapi Pertamina menerbitkan obligasi,” terangnya.
Sama juga dengan PLN. Kalau utang itu atau piutang itu dibayar oleh pemerintah maka akan mungkin obligasi tidak perlu diterbitkan atau tidak perlu sebesar yang mereka sudah terbitkan.
“Salah satu dampaknya ke kita adalah Pertamina tidak diperbolehkan menurunkan harga BBM yang seharusnya turun sejak bulan April 2020. Ditambah lagi bulan Mei dan Juni. Kelebihan bayar oleh konsumen kita nilainya sekitar Rp 17-18 triliun,” ungkapnya.
“Salah satu sebabnya adalah untuk menolong keuangan Pertamina karena pemerintah punya utang ke Pertamina yang tadi 3 tahun Rp 95 triliun dan itu untuk pencitraan politik,” imbuhnya.
Dilarang Menurunkan Harga BBM
Jadi, sambungnya, akibat tindakan pemerintah itu maka pertengahan tahun ini ada utang-utang yang jatuh tempo. Jadi kalau pemerintah tidak membayar itu bisa saja terjadi default atau gagal bayar dengan Pertamina. Itulah sebabnya mengapa dilarang menurunkan harga BBM.
“Untuk kasus BUMN ini sebetulnya kejahatannya tidak kalah bermasalah. Bagaimana BUMN itu dijadikan sapi perah dan itu untuk kepentingan pencitraan politik. Jadi kemenangan pilpres itu ya menangnya karena mengorbankan BUMN,” tegasnya.
Lalu BUMN harus berdarah-darah perlu duit. Kebetulan negaranya menghadapi masalah Virus Corona sehingga untuk membayar itu maka negara harus berutang dengan bunga yang lebih tinggi.
“Dan nanti itu akan diwariskan. Sama dengan BLBI yakni 20 tahun ke depan. Kalau tidak salah ada yang tenornya sampai 50 tahun,” rincinya.
Kesimpulannya bahwa kalau kita mau menggugat sebetulnya salah satu yang harus kita tuntut bertanggung jawab adalah Presiden Jokowi. Karena menjadikan Pertamina sapi perah sekaligus nantinya menjadi beban masyarakat dengan utang yang berpuluh-puluh triliun.
“Bunganya harus dibayar akibat dari pencitraan politik yang ingin dikejar dalam rangka memenangkan pilpres dengan mengorbankan BUMN. Dan kita ikut menjadi korban karena harus membayar hutang yang saya kira tidak tahu sampai kapan harus dibayar,” jelasnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.