Muhammadiyah seperti Ibu Negeri, Pidato Haedar Nashir di Tanwir. Dari soal Covid-19, RUU HIP, peran Muhammadiyah untuk negeri, hingga kebanggaan jadi Muhammadiyah.
PWMU.CO – Muhammadiyah dan Aisyiyah menggelar Tanwir, Ahad (19/7/2020). Dalam kegiatan yang digelar secara daring dengan Zoom itu Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menyampaikan pidato iftitah.
Berikut naskah lengkap pidato yang berjudul Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi untuk Negeri.
PWMU.CO – Alhamdulillah pada hari ini, Ahad tanggal 28 Dzulqa’dah 1441 H bertepatan 19 Juli 2020 M, Muhammadiyah dan Aisyiyah menyelenggarakan Tanwir ke-3 yang dilaksanakan secara daring.
Pelaksanaan Tanwir secara online ini diadakan secara khusus dikarenakan keadaan akibat pandemi Covid-19, yang tidak memungkinkan untuk pertemuan langsung (luring) dengan melibatkan jumlah orang yang banyak.
Kehidupan dalam berbagai aspek berada dalam keadaan darurat. Banyak hal berubah karena pandemi ini dari normal menjadi tidak normal.
Telah empat bulan lebih kita lewati keadaan darurat ini dengan sejumlah masalah berat disertai ikhtiar. Namun penularan Covid-19 sampai hari ini masih tinggi dan belum menurun atau landai, meskipun pemerintah menetapkan kebijakan new normal.
Betapa tidak mudah hidup dalam suasana abnormal seperti ini, lebih-lebih jika diukur dengan standar dan cara berpikir yang normal.
Pandemi ini nyata dan bukan ilusi atau konspirasi, meski mungkin masih ada sebagian orang yang mengembangkan teori konspirasi dan memercayainya.
Kenyataannya virus Corona ini berbahaya dan telah memakan korban jiwa meninggal lebih 400 ribu orang, serta lebih 7 juta terinfeksi positif meluas di seluruh negara yang terkena.
Secara faktual siapapun tidak ada yang mau terkena dan berani mendekat atau menangani pasien yang positif kecuali para dokter dan tenaga kesehatan di rumah sakit.
Mungkin ada pihak yang membandingkan jumlah yang meninggal akibat Corona masih kalah dari penyakit lain atau sebab lainnya, tetapi dari segi kemanusiaan kematian akibat wabah atau apapun bukanlah deretan angka statistik.
Kematian satu orang pun menyangkut jiwa manusia yang sangat berharga. Demikian halnya dari segi kemanusiaan dan etika kehidupan tidaklah bertanggung jawab kalau dikatakan biarlah semakin banyak orang tertular wabah ini, lama kelamaan akan menjadi biasa seperti orang terkena penyakit biasa.
Pernahkan kita berpikir dan empati bagaimana rasanya menjadi orang tertular yang jumlahnya sampai jutaan orang, serta yang lebih tragis ratusan ribu orang meninggal akibat Covid-19 dengan kematian yang diisolasi dan banyak yang tidak bisa dimakamkan dengan iringan keluarga, bahkan ada yang jenazahnya ditolak warga untuk dimakamkan di daerahnya.
Pernahkah kita berpikir dan berempati bagaimana pengorbanan para dokter, petugas kesehatan, dan mereka yang bekerja di rumah sakit yang sehari-hari harus berhadapan langsung dengan pasien positif dengan risiko tertular dan bahkan pertaruhan nyawa.
Mereka berada di garda depan sekaligus menjadi benteng terakhir dalam menghadapi pandemi ini. Jika kita lengah dan berpikir serba pragamatis sementara rumah sakit di negeri ini sudah tidak mampu lagi menampung pasien Covid-19 misalnya, maka apa yang terjadi dengan dunia kesehatan dan kehidupan sosial di negeri ini.
Sikap empati dan simpati harus kita tunjukkan sebagai layaknya orang beriman, sesama warga bangsa, dan sesama insan makhluk Allah yang harus saling mencintai dan menghormati untuk penyelamatan jiwa manusia meskipun untuk satu orang.
Di sinilah pentingnya menunjukkan jiwa ihsan dan irfani dalam keislaman dan keberagamaan kita segenap warga Muhammadiyah.
Musibah sebagai Sunatullah
Bagi kita kaum Muslimun, musibah merupakan kejadian yang tidak lepas dari sunatullah yang harus kita sikapi dengan iman, sabar, dan ikhtiar.
Allah berfirman: Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghabun: 11).
Kita diuji kesabaran dan kesungguhan dalam menghadapi musibah ini sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan yang bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu” (Muhammad: 31).
Mungkin ada orang yang berpendapat kenapa harus takut kepada Corona takutlah kepada Allah, orang takut wabah bisa menjadi musyrik, kenapa ke masjid takut wabah, kenapa takut musibah, dan lain-lain.
Dalam masalah ini bukan takut atau tidak, bukan berani atau tidak, bukan soal tipis dan tebal iman. Tetapi dalam paham Islam yang kita ikuti dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani maka selaku orang beriman kita harus melihat musibah Covid-19 ini secara menyeluruh.
Dengan menempatkan pemahaman yang benar mengenai virus ini berdasarkan ilmu dari para ahli kedokteran, ahli virus, dan ahli epidemiologi. Sekaligus menempatkan pemahaman tentang iman dan tauhid secara benar serta tidak parsial.
Tujuan Syariat Islam
Dalam hal ini PP Muhammadiyah berdasarkan hasil Majelis Tarjih dan Tajdid telah mengeluarkan sejumlah pedoman panduan beribadah dan pandangan keislamannya dalam menghadapi Covid-19 ini secara komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara diniyah atau keagamaan.
Bahwa tujuan syariat Islam ialah tegaknya kemaslahatan hidup manusia dan alam lingkungannya, yang dirumuskan oleh para fuqaha sebagai ‘maqasidus syariat’ yakni hifdz-din (mejaga agama), hifdz-aql (menjaga akal), hifdz-mal (menjaga harta), hifdz-nasl (menjaga keturunan), dan hifdz-nafs (menjaga jiwa).
Dalam hal hifdu-nafs atau menjaga jiwa pun tidak lepas dari iman dan Islam, bukan sesuatu yang berlawanan dengan prinsip keyakinan dan agama. Kita diingatkan Allah agar “Quu anfusakum wa ahlikum naara” (at-Tahrim: 6), “Walaa tulquu bi-aidiyakum ilaa tahlukaati” artinya “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan” (al-Baqarah: 195).
Bagi umat beriman dan cinta kemanusiaan, satu nyawa manusia sangatlah berharga dan wajib dijaga sebagai bagian dari tujuan syariat Islam (maqashidus syariah).
Allah berfirman: Artinya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (al-Maidah: 32).
Berkaitan dengan Covid-19 PP Muhammadiyah telah mengambil beberapa langkah dengan mengeluarkan sikap dan kebijakan umum antara lain dengan membentuk MCCC ( Muhammadiyah Covid Command Center) selain yang dikelola Aisyiyah serta ortom lainnya maupun melibatkan seluruh amal usaha, juga panduan-panduan ibadah.
Secara umum diikuti, di sana sini ada yang berbeda. Ke depan jika kita tertib berorganisasi laksanakan yang sudah menjadi kebijakan PP Muhammadiyah. Setiap kebijakan ada titik kurangnya, tidak semua ter-cover, tetapi itu maksimal kita putuskan.
Keputusan PP Muhammadiyah itu lebih-lebih menyangkut agama dan ibadah, tidaklah gegabah, tetapi berdasarkan keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid serta hasil musyawarah bersama, yang dapat kami pertanggungjawabkan bukan hanya di hadapan warga dan organisasi, tetapi di hadapan Allah.
Artinya, keputusan dan kebijakan PP Muhamamdiyah baik soal ibadah maupun hadapi Covid-19 juga memenuhi tujuan syariat hifdz din (memelihara agama), selain hifdz nafs (memelihara jiwa).
Prinsip yang dipakai antara lain “Yuridullahu bikumul yusyra walaa yuridu bikumul ushra”, bahwa “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesesuahan” (al-Baqarah: 185); “Wala tulquu biayidikum ila tahlukatin” artinya jangan menjerumuskan dirimu pada kehancuran (al-Baqarah: 195), dan “La dharara walaa dhirara”, yaitu jangan berbuat yang bahaya dan membahayakan orang lain (hadits), serta dalil al-Quran dan hadits serta hasil ijtihad jama’i yang betul-betul dipedomani.
Dalam menghadapi kebijakan new normal yang ditetapkan pemerintah sekalipun tetap meniscayakan kewaspadaan kita warga Persyarikatan (PP/MCCC) untuk tetap disiplin dan mengikuti protokol kesehatan yang seksama.
Pengunduran Muktamar
Berkaitan dengan pengunduran Muktamar Ke-48 sebagaimana hasil konsolidasi dan rapat bersama PWM (Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) beberapa bulan sebelum ini karena darurat Covid-19 bahwa Muktamar Muhamamdiyah dan Aisyiyah ke-48 di Solo diubah atau diundur waktunya menjadi 24-27 Desember 2020.
Semula kita berharap pandemi landai dan normal di bulan tersebut. Namun dari hasil kajian MCCC yang melibatkan para ahli kedokteran, virus, dan epidemiologi termasuk hasil komunikasi MCCC dengan ahli epidemiologi dari ahli UI, UGM, dan Unair.
Disimpulkan bahwa, “Sampai bulan Desember 2020 belum dapat dipastikan landai dan tidak disarankan melakukan kegiatan Muhammadiyah yang melibatkan massa dalam jumlah besar/banyak”. Lebih-lebih bila melibatkan penggembira sampai ratusan ribu hingga satu juta orang.
Sebagai organisasi modern tentu Muhammadiyah perlu mengkaji segala sesuatu dengan seksama berdasarkan berbagai analisis situasi yang faktual dan mengutamakan keamanan, kesehatan, dan keselamatan jiwa manusia.
Karenanya PP Muhammadiyah dalam pleno 1 Juli 2020 yang kemudian dibawa ke rapat pimpinan yang melibatkan ortom pusat, PWM, dan PWA seluruh Indonesia tanggal 5 Juli 2020 mengkaji kembali penundaan Muktamar yang semula dilaksakan bukan Desember 2020 tersebut, yang menghasilkan keputusan sebagai berikut: “Menunda Muktamar setelah Desember 2020” yang keputusan finalnya dibawa ke Tanwir hari ini dengan dua opsi.
Pertama, opsi minimal ke bulan Juli 2021. Kedua, opsi maksimal ke bulan Juli 2022 sesuai rekomendasi MCCC, yang akan dijelaskan dalam sesi pertama setelah pembukaan Tanwir ini.
Muhammadiyah ‘Ibu’ Negeri
Tanwir ketiga ini mengangkat tema “Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi untuk Negeri”. Muhammadiyah sejak berdirinya memiliki prinsip dan orientasi untuk memberi dan bukan meminta, layaknya ‘ibu’ yang melahirkan negeri.
Sejarah Muhammadiyah adalah sejarah ‘tangan di atas’ dan bukan ‘tangan di bawah’ sebagaimana etos hidup yang diajarkan Nabi Muhammad yang namanya dilekatkan dengan organisasi ini: Muhammadiyah, pengikut Nabi Muhammad.
Muhammadiyah itu organisasi yang besar dan telah berperan sedemikian rupa dalam dinamika kehidupan keumatan dan kebangsaan. Peran dan kontribusi Muhammadiyah lebih dari satu abad sangatlah besar dalam membangun umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.
Kiprah seperti ini kualitatif, sehingga jika dikuantitatifkan sangatlah besar pula. Belum para tokohnya yang ikut membangun negara Indonesia dan telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Seperti KH Ahmad Dahlah, Nyai Walidah Dahlan, Siti Badilah, Siti Hayyinah, Siti Moendjiyah, Soedirman, dr Soetomo, Djuanda, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Kahar Muzakkir, Agus Salim, Mohammad Roem, Buya Hamka, dan lainnya. Soekarno dan Fatmawati adalah anggota dan tokoh Muhammadiyah atau Aisyiyah.
Jasa Muhammadiyah dan Aisyiyah serta para tokohnya sangatlah tak ternilai bila dibandingkan dengan materi. Amaliah Muhammadiyah dengan seluruh komponennya, termasuk Aisyiyah, sangatkah nyata sampai di akar rumput. Sedikit bicara, banyak bekerja, itulah etos gerakan Muhammadiyah.
“Muhammadiyah itu telah, bukan akan berkiprah untuk bangsa ini,” kata Prof A. Malik Fadjar. Pemerintah Indonesia, bahkan ketika memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai Dahlan, dalam pertimbanganya menyebutkan sebagai berikut: Pertama, KH Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Kedua, dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam.
Ketiga, dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
Keempat, dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Muhammadiyah itu “Ibarat negara dalam negara,” ujar Prof Musa Asya’ari, mantan Rektor UIN Yogyakarta. Prof Nurcholis Madjid menyebut Muhammadiyah organisasi Islam modern terbesar bukan hanya di Indonesia bahkan di dunia Islam.
Hal sama diakui James Peacock, peneliti Muhammadiyah dari Amerika Serikat. Presiden Soekarno menyatakan “Makin Lama, Makin Cinta Muhammadiyah”. Presiden Soeharto menyatakan “Siapa tidak kenal Muhammadiyah?”
Jadi, betapa besar Muhammadiyah itu. Muhammadiyah itu kata Prof Mukti Ali, ibarat kereta api, gerbongnya banyak atau besar. Sehingga masinis, kru, dan penumpangnya tidak boleh sembarangan. Sekali semaunya sendiri akan berakibat fatal bagi seluruh gerbong dan para penumpangnya.
Ibarat pesawat terbang, Muhammadiyah itu Airbus komersial, yang pilotnya harus pandai dan piawai, rutenya juga sudah mapan, tidak boleh semau diri. Beda dengan pesawat tempur, pilotnya boleh bermanuver akrobatik, itupun tetap tidak boleh sembarangan karena akan diserang musuh dengan gampang. Itulah gerbong besar bernama Muhammadiyah.
Mungkin bagi sebagian orang di internal Persyarikatan dianggap Muhammadiyah itu masih kurang terus. Sebagai sikap muhasabah itu penting. Namun jangan sampai menghilangkan pandangan objektif tentang kelebihan, keunggulan, dan kebesaran Muhammadiyah sambil terus memperbarui dan memajukan gerakan Islam ini.
Bangga Muhammadiyah
Jika pihak lain bangga dan percaya dengan Muhammadiyah, kita yang ada di dalam harus menjaga dan membesarkannya terus, tapi tidak dengan sikap negatif.
Seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammdiyah di berbagai tingkatan, komponen dan amal usaha harus memiliki kebanggaan akan organisasi ini.
Tumbuhkan kebanggaan ber-Muhammadiyah, karena dengan itu semua akan memiliki komitmen yang kuat, sehingga lahir ghirah dan militansi gerakan. Organisasi tanpa rasa bangga namanya kerumunan sosial.
Gerakan ini berfondasikan dan berbingkai Islam sebagaimana dipedomani Muhammadiyah dalam nalar bayani, burhani, dan irfani yang kokoh dan berkemajuan. Itulah ruh bermuhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar dan tua telah teruji dalam melewati banyak tantangan dan situasi krusial dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan.
Sejak kelahiran dan pertumbuhannya di masa penjajahan Belanda, pada titik kritis kemerdekaan tahun 1945, setelah Indonesia merdeka pada era Orde Lama dan Orde Baru, maupun setelah era reformasi.
Karenanya posisikan dan perankan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang memiliki tradisi besar sekaligus sebagai gerbong besar dengan seksama dan tidak boleh gegabah.
Muhammadiyah juga harus tetap diposisikan dan diperankan sebagai organisasi Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid, serta sebagai ormas keagamaan dan kemasyarakatan, bukan sebagai organisasi politik sesuai dengan prinsip, kepribadian, khittah, dan koridor organisasi yang dipedomaninya.
Tanwir di Tengah Tantangan Bangsa
Ketika Muhammadiyah menyelanggraakan Tanwir saat ini bangsa Indonesia menghadapi banyak masalah yang berat di bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan sebagainya. Termasuk menghadapi Covid-19 dengan segala dampaknya.
Muhammadiyah tidak akan lepas dari masalah-masalah kebangsaan tersebut. Muhammadiyah selain dituntut menyikapi masalah kebangsaan yang kompleks, pada saat yang sama niscaya memberikan jalan atau solusi agar bangsa ini keluar dari dan dapat memecahkan masalahnya secara tuntas demi kepentingan bersama.
Khusus berkaitan dengan perkembanban situasi nasional, terutama menyikapi RUU Haluan Ideologi Pancasila yang kontroversial akhir-akhir ini, PP Muhammadiyah telah mengeluarkan sikap dan pandangan yang tegas menolak RUU HIP tersebut, serta meminta agar ditunda dan atau dibatalkan karena sejumlah masalah serius.
Tapi lebih dari itu eksekusinya tetap di DPR dan pemerintah. Karena itu PP Muhammadiyah juga akan terus berkomunikasi dengan semua pihak. Muhammadiyah dan bangsa Indonesia pernah mengalami pengalaman-pengalaman politik yang keras di ujung kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru.
Karenanya jangan sampai suasana politik yang buruk itu terulang kembali di era setelah reformasi, sehingga Muhammadiyah berharap DPR dan pemerintah benar-benar mendengar aspirasi publik dengan seksama.
Apalagi di saat harus menghadapi Covid-19 dengan segala dampaknya yang berat, semestinya pemerintah dan DPR serta semua lembaga negara memusatkan perhatian dan langkah-langkah super serius dalam menghadapi pandemi yang berat ini. Sehingga tidak memproduksi pandemi politik yang menambah beban berbangsa dan bernegara.
Bersamaan dengan itu kepada warga dan semua institusi Muhammadiyah agar tetap tenang, cerdas, dewasa, seksama serta terus menjalin ukhuwah atau persatuan di dalam maupun dengan semua komponen bangsa. Kedepankan kepribadian, khittah, dan koridor organisasi dalam menyikapi masalah dan situasi nasional maupun lokal di tubuh bangsa ini, serta jauhi atau jangan mengikuti arus luar yang tidak sejalan dengan Muhammadiyah.
Semua unsur di lingkungan Persyarikatan agar bertindak dalam kerangka dan koridor organisasi Muhammadiyah, jangan bereaksi dan mengambil langkah sendiri- sendiri. Kita diingatkan Allah agar tetap dalam satu barisan yang kokoh.
Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Bahwa Muhammadiyah saat menghadapi tantangan berat di tengah dinamika kehidupan masyarakat di tingkat lokal, bangsa dalam skala nasional, maupun di ranah global. Semua memerlukan mujahadah seluruh anggota, kader, dan lebih-lebih pimpinan dalam membawa gerakan Islam yang besar ini secara kolektif dan terorganisasi dalam sistem gerakan yang solid dan kokoh.
Muhammadiyah itu Persyarikatan. Dalam Berita Tahunan tahun 1927 disebutkan, “Kalimat Syarikat itu berarti kumpulannya beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan semufakat mungkin dan bersama-sama”.
Karena itu dalam berorganisasi kita hatus ikhlas menyatukan hati, pikiran, dan tindakan dalam jiwa persaudaraan untuk berada dalam satu barisan yang kokoh sebagaimana Surat Ash-Shaff ayat-4 yang dibacakan tadi.
Jangan sebaliknya bertindak sendiri-sendiri, berdasarkan pikiran sendiri, memaksakan kehendak sendiri, dan mengambli jalan sendiri-sendiri. Jika hal itu terjadi bukan berorganisasi namanya, bahkan dapat menyerupai seperti perangai ahlul kitab yang dilukiskan Allah dalam al-Quran: “Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah” (al- Hasyr: 14).
Ada satu pertanyaan penting yang patut direnungkan “Kenapa Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan amal usaha yang berada di dalamnya mampu bertahan hingga lebih satu abad?.
Satu di antara jawabannya karena gerakan Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912 ini kokoh fondasinya sebagai sebuah organisasi atau persyarikatan, sebagaimana telah diletakkan oleh KH Ahmad Dahlan dan generasi awal Muhammadiyah.
Kiai Dahlan di ujung perjuangan kala sering udzur menyampaikan pesan: “Saya mesti bekerja keras untuk meletakkan batu pertama dari amal yang besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan ataupun saya hentikan lantaran sakit saya ini, maka tidak akan ada orang yang akan sanggup meletakkan dasar itu.
Saya sudah merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Jika saya kerjakan selekas mungkin, maka yang tinggal sedikit itu, mudahlah yang di belakang nanti untuk menyempurnakannya.”
Selanjutnya Kiai Dahlan menyatakan, “Aku ini sudah tua, berusia lanjut, kekuatanku pun sudah sangat terbatas. Tapi, aku tetap memaksakan diri memenuhi kewajibanku beramal, bekerja, dan berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perintah Tuhan.” (Mulkhan, 2007).
Dalam menghadapi masalah kebangsaan Muhammadiyah tentu dapat mengedepankan “mana yang terpenting dari yang penting” serta yang menjadi “lahan garap” Muhammadiyah, karena tidak semua dapat diambil-alih oleh Muhammadiyah.
Masing-masing pihak di negeri ini memiliki posisi dan perannya sendiri. Muhammadiyah tidak dapat menanggung semua beban masalah umat dan bangsa, mski dengan dengan semangat amar-makruf nahi mungkar akan terus berusaha secara maksimal memberi solusi untuk bangsa.
Insyaallah pimpinan Muhammadiyah dari pusat sampai Ranting masih memiliki komitmen untuk beramar makruf nahi mungkar secara organisasi sesuai prinsip, kepribadian, khittah, dan musyawarah yang berlaku dalam Persyarikatan.
Bersamaan dengan itu Muhammadiyah juga harus menunaikan peran tajdid, sebagai identitas yang melekat dengan organisasi ini, sehingga dapat menjadi lokomotif kemajuan bagi umat dan bangsa.
Karenanya diperlukan pemikiran yang maju dari segenap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah sehingga gerakan Islam ini mampu menghadirkan fungsi dakwah dan tajdid yang berkemajuan.
Dalam menghadapi masalah keumatan dan kebangsaan PP Muhammadiyah berusaha menunaikan amanat tersebut dengan pertanggungjawaban yang tinggi. Kami PP Muhamamdiyah betul-betul seksama dalam menjalankan amanat memimpin Persyarikatan, dengan segala kekurangan yang kami miliki.
Namun kami menjalankan amanah ini dengan marwah dan pertanggungjawaban yang tinggi. Ketika berhubungan dengan pihak luar pun kami menjaga marwah Muhammadiyah. Kami tidak akan membawa organisasi ini menjadi lemah dan kehilangan kepribadian.
Kami menjalankan amanat kepemimpinan dengan berpegang teguh pada prinsip, kepribadian, khittah, dan seluruh koridor organisasi dengan sebaik-baiknya.
Kami para pimpinan Muhammadiyah dari pusat sampai ranting memiliki komitmen dan integritas yang kuat dengan selalu memegang teguh perintah dan peringatan Allah dalam hal amanat, sebagaimana firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (al-Anfal: 27).
Karenanya dengan Tanwir ini, mari kita mantapkan diri agar tetap ikhlas dalam ber-Muhammadiyah, berkomitmen tinggi, berkhidmat, bekerja sama dan menjalin kebersamaan, bekerja secara sistemik dan terorganisasi.
Menjadikan Muhammadiyah unggul berkemajuan, serta memperluas gerak Muhammadiyah dalam memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.
Kita para pimpinan Persyarikatan dengan seluruh ortom, majelis, lembaga, PWM sampai ranting serta amal usaha dan institusi lainnya harus terus bekerja sungguh-sungguh dalam memajukan Muhammadiyah agar menjadi gerakan Islam yang makin besar, unggul, maju, dan jaya.
Kiai Dahlan sering mengajarkan tentang Jihad (Surat Ali Imran 142) sebagaimana terkandung dalam 17 Kelompok al-Quran sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat- amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (al- Anfal: 27).
Artinya, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 142).
Semoga Allah memberikan berkah, rahmat, ridha, dan karunia-Nya untuk kita para penggerak Muhammadiyah.
Di ujung iftitah ini patut direnungkan pesan Kiai Dahlan: “Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi. Aku juga berdoa berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh ummat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.