Rumah Sakit Berbisnis Covid-19? Kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan; anggota Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan.
PWMU.CO – Tidak ada yang merasa senang atau diuntungkan dengan pandemi Covid-19. Termasuk rumah sakit dan tenaga medis yang sering dipersepsikan seolah-olah mendapat ‘berkah’ Covid-19 sebagai kenaikan omzet “bisnis” dan ungkapan-ungkapan sejenis.
Pandemi Covid-19 melemahkan seluruh sektor bisnis. Tidak terkecuali rumah sakit yang mengalami penurunan kunjungan signifikan pada layanan-layanan reguler poli spesialis, rawat jalan, rawat inap, sarana penunjang, kantin, apotek, jasa laboratorium, dan lain-lain.
Sementara biaya overhead meningkat dalam hal kebutuhan alat pelindung diri (APD), hand sanitizer, vitamin, dan berbagai sarana pengamananan dari risiko terinfeksi Covid-19.
Meski sudah berlangsung sejak Maret 2020, saat ini pandemi Covid-19 belum berakhir. Angka penderita masih terus bertambah. Warga dan tenaga kesehatan yang wafat pun bertambah.
New normal yang digembar-gemborkan pemerintah tanpa edukasi yang memadai menimbulkan banyak klaster-klaster baru, naudzubillahimindzalik.
Rumah Sakit Bagian Konspirasi?
Tidak kalah memprihatinkan masih adanya pendapat yang menyebut Covid-19 sebagai sebuah konspirasi. Salah satu pihak yang dianggap ‘terlibat’ konspirasi ini adalah rumah sakit demi meningkatkan kunjungan atau mendapat dana klaim pengganti perawatan Covid-19 dari pemerintah.
Lebih runyam lagi anggapan bahwa rumah sakit melakukan ‘bisnis’ di tengah pandemi Covid-19. Dalam sebuah kegiatan dengar pendapat dengan Menteri Kesehatan (Menkes), salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Badan Anggaran (Banggar) sempat mencecar Menkes tentang adanya indikasi rumah sakit ‘nakal.’ Yakni yang mempermainkan status pasien demi mendapatkan insentif dana Covid-19 dari pemerintah.
Rumah sakit ‘nakal’ seperti dianggap bahaya ‘laten’ yang berpotensi menggerogoti anggaran negara. Wah..wah..wah.
Istilah rumah sakit ‘nakal’ tidak layak disebut oleh seorang wakil rakyat yang terhormat. Jika benar-benar ada rumah sakit yang berbuat nakal, sangat sulit untuk lolos dari auditor BPJS Kesehatan maupun auditor pemerintah.
Pada seluruh layanan untuk masyarakat terdampak Covid-19, rumah sakit mengeluarkan dana atau pembiayaan awal untuk rapid test, swab test, sampai perawatan lanjutan. Mekanisme selanjutnya seluruh pengeluaran baru bisa diklaimkan pada pemerintah.
Uang Panas Dana Klaim
Setelah data klaim yang diajukan rumah sakit diverifikasi, biasanya memakan waktu yang lama baru dana klaim dibayar oleh pemerintah atau BPJS Kesehatan yang nilainya sesuai ketentuan.
Setelah dana dibayarkan urusan belum selesai. Sewaktu-waktu pihak pemerintah atau BPJS Kesehatan bisa melakukan review atau audit investigasi lanjutan jika ada hal-hal yang dianggap ‘janggal’.
Tidak sedikit rumah sakit yang diminta mengembalikan seluruh atau sebagian dana yang telah diterima dari pemerintah atau BPJS Kesehatan. Dalam hal ini pemerintah atau BPJS Kesehatan adalah yang maha benar dengan seluruh asumsi, pendapat, dan keputusannya.
Dana rumah sakit yang diterima pemerintah atau BPJS Kesehatan bisa dikatakan sebagai uang ‘panas’ yang sewaktu-waktu bisa diminta oleh ‘empunya’.
Berdagang Rapid dan Swab Test?
Rumor lainnya yang tidak kalah memprihatinkan yaitu adanya anggapan rumah sakit mengambil peluang bisnis Covid-19 ketika marak kewajiban rapid test dan swab test.
Alat rapid seharga kurang dari Rp 100 ribu ‘dijual’ dua ratus ribu sampai Rp 300 ribu. Masyarakat semakin heboh tatkala pemerintah menetapkan batas maksimal harga layanan rapid test Rp 150 ribu. Sedangkan banyak rumah sakit masih kekeuh dengan harga di atas ketentuan pemerintah.
Dalam situasi pandemi yang tidak kunjung terkendali, protokol kesehatan menetapkan semua pasien atau calon pasien rumah sakit wajib ‘diduga’ membawa atau terbawa Covid-19 entah dari mana atau dari siapa asalnya.
Atas dasar protokol ini sebagian rumah sakit mewajibkan rapid test bahkan swab test sebagai layanan tambahan yang berbayar kepada pasien yang datang ke rumah sakit dengan atau tanpa gejala Covid-19.
Begitu juga layanan rapid test dan swab test untuk keperluan perjalanan urusan kerja, urusan keluarga dan sejenisnya oleh pihak rumah sakit dikenakan biaya.
Rumah Sakit Jangan Gulung Tikar
Jika sebuah layanan kesehatan yang bahannya harus dibeli dan tenaga pelaksananya harus digaji, harus menggunakan APD (alat pelindung diri), kemudian hasil test harus dikirim ke laboratorium lain karena tidak semua rumah sakit bisa melakukan analisa lantas memungut biaya alias berbayar atas jasa layanan demikian salahnya dimana?
Sebelum ada Covid-19 rumah sakit sudah ‘bisnis’ berbagai macam layanan kesehatan. Mulai dari pemeriksaan, rawat jalan. sampai rawat inap dan lain-lain dengan berbayar.
Sejak ada pandemi Covid-19 layanan-layanan poli rumah sakit termasuk rawat jalan dan rawat inap turun drastis. Rumah sakit sendiri hanya salah satu bagian dan bagian akhir atau hilir dari beberapa bisnis industri kesehatan.
Hulu dari industri kesehatan antara lain industri obat-obatan, industri alat-alat kesehatan, dan pendidikan sumberdaya manusia bidang kesehatan.
Keseluruhan industri hulu tersebut menetapkan harga tertentu sewaktu menjual ke rumah sakit, kemudian rumah sakit menentukan harga ‘jual’ kepada konsumen atau pasien rumah sakit berdasarkan harga pokok, harga pembelian juga harga over head rumah sakit seperti listrik, air, sanitasi rumah sakit, gaji pegawai dan lain-lain.
Rumah Sakit Berbisnis Covid-19?
‘Bisnis’ yang dilakukan rumah sakit bertujuan memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat secara langsung atau atas ‘perintah’ dari pemerintah, BPJS Kesehatan, Ketenagakerjaan, asuransi swasta, dan lain-lain.
Rumah sakit harus bisa mempertahankan kelangsungan usaha (going concerne) dengan penetapan harga (pricing) dan alokasi biaya (costing) yang pantas dan terjangkau untuk semua kalangan.
Salah dalam keputusan pricing dan costing, rumah sakit bisa gulung tikar dan jika sudah gulung tikar siapa yang bisa menolon?
Untuk rumah sakit milik pemerintah barangkali tidak memiliki kosa kata gulung tikar, bangkrut, atau rugi. Tetapi untuk rumah sakit swasta yang jumlahnya lebih banyak dari rumah sakit pemerintah, kemampuan berdikari dengan strategi manajemen yang baik harus menjadi pegangan kuat.
Rumah sakit swasta sendiri ada bermacam-macam badan usaha yaitu milik pribadi, organisasi masyarakat (ormas) dan milik jaringan konglomerat.
Semua rumah sakit swasta melakukan praktik bisnis, dalam pengertian melakukan praktik pricing dan costing yang baik agar mampu memupuk keuntungan guna memenuhi biaya operasional harian dan investasi masa depan agar mampu bertahan.
Politik Anggaran
Tentang seberapa pantas rumah sakit boleh memupuk keuntungan merupakan tugas pemerintah menetapkan regulasi yang jelas. Demikian juga agar masyarakat bisa mendapat layanan kesehatan murah bahkan gratis merupakan tugas pemerintah.
Kebijakan subsidi baik langsung kepada masyarakat, kepada rumah sakit, maupun kepada industri penyedia obat-obatan dan alat kesehatan bisa menurunkan harga pokok atau variabel layanan kesehatan untuk masyarakat bahkan gratis.
Politik anggaran memegang peran sangat penting, harus ke mana anggaran digelontorkan besar-besaran dalam menanggulangi pandemi Covid-19 ini.
Jika sejumlah BUMN bisa mendapatkan dana bail out (penyelamatan) triliunan rupiah, kenapa untuk bidang kesehatan tidak? Seberapa besar kepekaan pemerintah pada penyelamatan nyawa manusia sebagai bagian dari maqashid syariah hifdhun nafs?
Dalam pembukaan UUD 1945 pun disebutkan fungsi pemerintah salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia.
Sebutan rumah sakit bisnis Covid-19, rumah sakit nakal, dan sejenisnya sangat melukai perasaan para tenaga medis, stake holder (pemangku kepentingan), sejawat medis bagian kantor, keamanan, kendaraan, ambulans dan sejenisnya sebagai garda terdepan dalam penanggulangan covid-19.
Istilah new normal yang terlalu dipublikasi tanpa edukasi lanjutan telah menjadi bumerang. Data penderita Covid-19 bukan semakin berkurang baik dari kalangan masyarakat maupun tenaga medis.
Terlebih jika data tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 dirilis. Semakin hari semakin meningkat. Rumah sakit sebagai medan tempur sesungguhnya seperti mulai diabaikan.
Pilkada Lebih Menarik Pemerintah
Fokus sebagian besar masyarakat dan pemerintah mulai mengarah pada pilkada dan pemulihan ekonomi. Data hasil survey kandidat calon kepala daerah dan data pertumbuhan ekonomi lebih menarik daripada data penderita Covid-19.
Data korban meninggal akibat Covid-19 baik dari kalangan masyarakat maupun tenaga medis sekadar tampilan angka-angka statistik yang tidak mampu meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan. Sungguh memprihatinkan jika nasihat-nasihat kewaspadaan dari tenaga kesehatan dianggap sebagai penebar ketakutan apalagi disebut konspirasi.
Semua berharap pandemi segera berakhir. New normal dengan protokol ketat dan standar sebagai keniscayaan yang perlu dijalani dengan sabar. Budaya patron di tengah masyarakat suka tidak suka membutuhkan figur pemerintah sebagai panglima dalam penanggulangan Covid-19.
Tokoh-tokoh masyarakat dan wakil rakyat selayaknya menjadi suluh yang menerangi kegelapan, bukan menjadikan suasana bertambah keruh dengan pendapat-pendapat yang kurang relevan. Wallahu’alam bi ash shawab. (*)
Rumah Sakit Berbisnis Covid-19? Editor Mohammad Nurfatoni.