Puasa Sehari Tebus Dosa Dua Tahun ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Puasa Sehari Tebus Dosa Dua Tahun ini dimulai dari hadits riwayat Muslim.
عن أَبي قتادة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صَومِ يَوْمِ عَرَفَةَ، قَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ وَالبَاقِيَةَ». رواه مسلم
Dari Abu Qatadah berkata, “Bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa Arafah. Beliau menjawab: ‘Dapat mengahapus dosa tahun lalu dan setelahnya.’.”
Istimewanya Puasa Arafah
Shaumu ‘Aafah atau puasa Arafah merupakan puasa yang sangat istimewa. Sebagaimana dalam hadits di atas, puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa kecil dalam masa dua tahun, yaitu tahun lalu dan tahun sekarang ini. Maka sangat disayangkan jika kita kaum muslimin meninggalkanya.
Hukum puasa Arafah adalah sunnah muakkadah yakni sunnah yang sangat ditekankan. Dan hal ini berkenaan dengan peristiwa puncak ritual bagi para jamaah haji yaitu wukuf di Arafah atau tanggal 9 Dzulhijah.
Walaupun ada juga yang berpendapat bahwa perintah puasa Arafah dan perintah haji selang waktunya berbeda. Perintah puasa Arafah mendahului perintah haji sehingga keduanya tidak memiliki hubungan secara langsung.
Dengan demikian dimungkinkan terjadi perbedaan hari antara di Makkah yang terdapat padang Arafah dan negeri muslim lainnya.
Apapun keadaanya, puasa Arafah merupakan puasa yang istimewa karena dapat menjadi kaffarat terhadap dosa-dosa kecil dalam masa dua tahun. Maka sudah seharusnya kaum muslimin dapat menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Tentu dengan puasa sebagaimana lazimnya yaitu menahan nafsu diri dari yang tidak terkendali. Menjadikan pribadi yang bertakwa yang tidak mencintai keduniawian karena cintanya kepada Allah SWT.
Wukuf
Sebagaimana pula bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah, mereka diterik matahari yang sangat panas, harus mampu membakar segala bentuk nafsu duniawinya untuk kemudian di arahkan mencapai mahabbtullah atau cinta kepada Allah.
Di massa normal—bukan seperti saat ini saar ada pandemi Covid-19—dari berbagai penjuru dunia, jamaah haji berkumpul dengan berbagai warna kulit dan postur tubuh yang beragam. Mengenakan pakaian yang serba putih dan tanpa jahitan. Tiada lagi perbadaan antara semuanya di hadapan Allah SWT, yang membedakan hanya tingkat ketaqwaan kepada-Nya.
Standar dan ukuran dalam hal ini bukanlah dari wajah yang ganteng atau cantik, postur tubuh yang gagah atau mungkin kerempeng, punya rumah mewah, mobil mewah dan barang mewah lainnya atau tidak.
Tetapi sejauh mana kecintaannya pada Allah yang kemudian membias pada sesamanya dan lingkungan alam sekitarnya, serta senantiasa menjaga intensitas hubungan dengan rabbnya Yang Maha Kasih dan Sayang.
Menemukan Bahagia Sejati
Bagi mereka tidak lagi terikat dengan berbagai bentuk harta duniawi, kebahagiaannya selalu ada pada dirinya karena telah menemukan cinta yang sejati dan hakiki yaitu cinta Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan jikalau telah lenyaplah harta bendanya sebagai titipan dari-Nya, kebahagiaanpun tetap dirasakannya. Dengan demikian bagi orang yang beriman dan sekaligus bertakwa sesungguhnya dalam kondisi dan keadaan bagaimanapun ia akan tetap selalu bahagia dengan rasa cintanya itu.
Galau dan sedih mungkin ada tetapi sifatnya hanya sementara, kemudian ia dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang dihadapinya tersebut.
Itulah wujud sikap tawakkal kepada Allah SWT. Menyerahkan segalanya kepada-Nya sambil terus bersabar dengan selalu terus aktif berbuat yang terbaik untuk dapat meraih yang terbaik pula.
Begitulah seharusnya hasil tempaan kehidupan ini. Semakin manjadikan setiap hamba sadar akan hakekat kehidupannya. Bahwa ia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya pula.
Dan tentu sebagaimana ia telah dilahirkan tanpa membawa sedikitpun harta dunia, maka ketika kembalipun ia juga akan tinggalkan semua harta bendanya tersebut.
Sebab Kerisauan Hati
Kerisauan dan kegalauan hatin hanya timbul ketika manusia merasa belum dapat sempurna dalam pengabdian kepada-Nya. Ibadah ritualnya belum begitu sempurna mencapai kekhusyukan.
Serta kadang masih terselip sifat riyak dalam hatinya, yang kemudian ia buru-buru beristighfar yakni mohon ampun kepada-Nya.
Dan begitulah, ia selalu beristighfar atas kekurangannya tersebut yang ia rasakan belum pernah dapat mencapai kesempurnaan dalam beribadah dan mengabdi kepada-Nya.
Maka banyak beristighfar dan selalu berusaha memperbaiki diri di hadapan rabbnya senantiasa dilakukannya.
Sebagaimana dalam hadits yang lain, bahwa bagi orang yang memberi buka puasa pahalanya sama dengan orang yang berpuasa tersebut, maka dalam hal puasa Arafah inipun di antara para ulama memiliki pandangan bahwa jika memberi berbuka puasa Arafah pahalanya juga sama yaitu akan diampuni dosanya dua tahun.
Sehingga tidak salah jika diadakan buka bersama pada puasa Arafah ini sebagaimana yang kerap terjadi pada puasa bulan suci Ramadhan. Astaghfirullahal ‘adhim. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.