PWMU.CO– Idul Adha adalah pelajaran dari Nabi Ibrahim untuk mengurbankan segala kecintaan kita kepada duniawi berganti penghambaan kepada Allah.
Di masa mudanya Nabi Ibrahim dijadikan kurban oleh Namrud untuk melanggengkan kekuasaannya. Dia dikurbankan dengan dibakar hidup-hidup karena telah menghancurkan berhala-berhala sesembahan. Berhala ini adalah simbol spiritual pelestari kekuasaan Namrud.
Di masa tuanya Nabi Ibrahim diuji untuk mengurbankan anaknya, Ismail. Anak yang dicintainya itu harus dipersembahkan kepada Tuhan di puncak altar bukit Mina. Tanda kepatuhannya kepada perintah Allah.
Ibrahim pun pasrah diri. Dipenuhinya perintah itu. Anaknya pun juga pasrah menerima dirinya menjadi kurban persembahan. Ketika keduanya bergerak melaksanakan ritual, saat persembahan darah kurban akan dipancarkan, Allah menghentikan ritual itu.
Ibrahim dan Ismail telah teruji kenabiannya. Dipercaya sebagai penyampai wahyu yang amanah. Mereka pun dilanggengkan anak keturunannya di muka bumi ini. Tanpa ada lagi persembahan kurban manusia.
Kurban dalam definisi umum adalah upaya memberi persembahan sesaji kepada sesuatu yang dianggap penting. Tujuannya mencapai harmonisasi kehidupan manusia.
Dalam masyarakat pagan yakin bahwa benda tertentu memiliki ruh dan kekuatan. Kekuatan itu memengaruhi kehidupan manusia. Agar kekuatan itu memberi dampak positif bagi kehidupan, mereka memberi sesaji dan ritualnya. Supaya terjadi harmoni. Antara kekuatan benda dengan kehidupan manusia.
Ketika terjadi disharmoni kehidupan seperti bencana alam, wabah, maka perlu melakukan persembahan besar-besaran.
Nyai Roro Kidul
Masyarakat di pesisir pantai selatan Jawa masih percaya bahwa Samudra India yang luas bagai tak berbatas itu menyimpan kekuatan besar yang berpengaruh terhadap kehidupan.
Kekuatan laut itu lantas dipersonofikasikan sebagai Nyai Roro Kidul. Ratu penguasa lautan yang berdiam dalam kerajaan bawah laut.
Agar terjadi harmonisasi dengan manusia, masyarakat mengirimkan persembahan kurban dan sesaji. Jika tidak diberi, masyarakat percaya Ratu Segoro Kidul bakal mencari kurbannya sendiri.
Di balik kemegahan piramida Mesir atau Candi Borobudur, sebenarnya dibangun dengan mengurbankan budak-budak manusia yang bekerja paksa, penuh penderitaan, dan berujung kematian.
Dua bangunan tinggi menusuk langit ini dibuat untuk sang penguasa yang ingin sangat dekat dengan Tuhan. Ironinya betapa banyak manusia-manusia dikurbankan untuk mewujudkan bangunan itu.
Piramida Kurban Kekuasaan
Praktik persembahan kurban realitasnya hingga kini tidak pernah hilang. Ritual kurban zaman pagan telah bermetamorfosis dalam bentuk yang lain. Pemimpin-pemimpin atas nama demokrasi dan kepentingan politik justru mengerahkan rakyat sebagai kurban dan menggiringnya menuju penjagalan di altar kekuasaan.
Kurban-kurban manusia ditumpuk membentuk piramida kekuasaan untuk pendakian sang pemimpin menuju puncak kursi jabatan.
Di zaman peralihan Orde Lama ke Orde Baru berapa juta rakyat mati untuk membangun piramida kurban kekuasaan Soeharto? Bahkan selama Soeharto berkuasa kurban-kurban masih terus ditumpuk untuk persembahan stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi.
Peralihan ke zaman Reformasi pun manusia masih dikurbankan untuk kepentingan politik orang yang ingin menduduki kekuasaan itu.
Tradisi kurban ini seperti ingin terus dilanggengkan dalam ritual Pemilihan Umum. Rakyat dirayu supaya mengurbankan suaranya. Janjinya bakal ditukar dengan kemakmuran.
Setelah acara persembahan ritual Pemilu bubar, kekuasaan didapat, kemakmuran tak pernah terwujud. Janji tinggallah janji. Rakyat tetap miskin tercekik harga yang naik.
Mengurbankan Diri
Sekarang rakyat menjadi pragmatis. Mereka merelakan diri menjadi kurban dengan meminta suap kepada calon pemimpin. Sebab mereka tidak percaya lagi dengan janji kampanye. Rakyat ingin janji yang instan. Karena itulah bangunan piramida kekuasaan sekarang ini sangat rapuh. Karena dibangun dengan suap.
Momen Idul Adha, saatnya kembali membaca sejarah Ibrahim. Idul Adha adalah kembali berkurban dari diri sendiri. Bukan mengurbankan orang lain. Seperti Ibrahim yang mengurbankan kecintaan pada anak.
Dia berkurban bukan untuk mendapatkan kekuasaan. Semata-mata melaksanakan perintah Tuhan. Dengan begitu hubungannya menjadi dekat dengan Tuhan. Sesudah itu Tuhan memberinya anugerah kemuliaan hingga tujuh turunan berkuasa di bumi (al-Baqarah: 124 jo an-Nisa: 54).
Inilah hakikat kurban. Mendekat kepada Tuhan untuk membawa kemaslahatan rakyat. Alangkah eloknya jika pemimpin berani bersikap seperti ini. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto