Tarekat Muhammadiyah, kolom ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Dalam khazanah Islam, nama Muhammadiyah telah digunakan dalam beberapa konteks. Dalam konteks eskatologis, hakekat Muhammadiyah (al-haqiqah al-muhammadiyyah) digunakan untuk menyebut zat awal penciptaan makhluk oleh Allah pada zaman primordial.
Dalam konteks dunia spiritual, tarekat Muhammadiyah (al-tariqah al-muhammadiyyah) digunakan untuk menyebut sebuah model tarekat reformis yang merupakan koreksi terhadap tarekat-tarekat yang telah menjadi fenomena kejumudan umat Islam.
Dalam tarekat ini, Nabi Muhammad dijadikan pusat kekuatan energi baik dalam melawan pemerintahan non-Muslim maupun penjajah. Di Anak Benua India, tarekat ini, misalnya yang dikembangkan oleh Mir Dard (1721-1785) dan Ahmad Barelwi (wafat 1831), melawan kekuatan Hindu dan Inggris yang memgancam eksistensi umat Islam.
Di Afrika Utara, tarekat ini, misalnya Sanusiyah pada abad ke-18 dan ke-19, melawan kekuatan Prancis yang sedang menjajah negeri-negeri Islam.
Ajaran Tarekat Muhammadiyah
Tarekat Muhammadiyah memiliki ciri jihad, yakni membangkitkan kembali semangat perjuangan melawan musuh-musuh Islam dan melawan penjajah kafir Barat. Di samping itu, tarekat Muhammadiyah juga menekankan pengamalan syariat Islam dan berpegang teguh pada sunnah Nabi.
Tarekat Muhammadiyah di Anak Benua India dibangun oleh Mir Dard, putra dari Muhammad Nashir Andalib (1697-1758). Buku tulisan ayahnya yang berjudul Nala-yi Andalib merupakan sumber ajaran Tarekat Muhammadiyah.
Konon, pada tahun 1734, Muhammad Nashir melihat Hasan bin ‘Ali (cucu Nabi) yang mengajarkan rahasia kebenaran tarekat Muhammadiyah. Putranya, Mir Dard, kemudian mengajarkan kitab tersebut sebagai acuan tarekat yang dikembangkan. Mir Dard sendiri menulis buku ‘Ilmul Kitab (th. 1770) dan Chahar Risalah (th. 1775-1785).
Doktrin yang paling mendasar dalam kedua buku itu ialah tentang fana’ (sirna). Dinyatakan bahwa fana’ fi al-syaikh mengantarkan pada fana’ fi al-rasul dan kemudian fana’ fillah (berakhir pada kekekalan, yakni baqa’ billah).
Tazkiyatun Nafs
Di samping itu, ada ajaran tentang tazkiyatun nafs (penyucian diri). Disebutkan bahwa manusia yang bisa selamat dari api neraka dan masuk surga hanyalah mereka yang sudah terlatih dalam tarekat ini tentang cara menyucikan badan, pikiran, dan jiwa dari dosa-dosa dan kemudian menjaga kesucian itu.
Setelah seseorang menyucikan dirinya ia menjadi kekasih Allah. Kemudian, untuk menjadi kekasih Allah, seseorang harus mengutamakan Allah, Rasul-Nya, dan menyayangi sesama makhluk dengan saling memberikan nasehat, amar makruf dan nahi mungkar. Juga ia harus tetap merasakan kehadiran Allah di hadapannya.
Tarekat Muhammadiyah selanjutnya mengajarkan bahwa tujuan bertarekat adalah mendapatkan ridla Allah. Karena itu, setiap orang harus waspada terhadap tujuan-tujuan yang menyimpang.
Misalnya, untuk mendapatkan mimpi yang indah; untuk melihat atau mendapatkan keajaiban (karamah), ilham, atau cahaya ketika berzikir; menyembuhkan penyakit dengan membaca ayat al-Qur’an; menaklukkan jin atau pedukunan; memperoleh kekayaan; meramal nasib orang; mendapatkan syafaat tanpa mengikuti syariah.
Dalam pemahaman tentang wali, tarekat ini mengikuti pendapat Ibnu Taymiyah, yang mengatakan bahwa waliyullah adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi secara ketat dan mengikuti syariah secara sungguh-sungguh.
Keanehan atau karamah sama sekali bukanlah tanda kewalian seseorang. Jika tidak demikian, maka seseorang disebut sebagai waliyyus syaithan (wali setan).
Jalan Sufistik
Tarekat Muhammadiyah sebenarnya hanyalah sebuah jalan untuk melaksanakan amalan-amalan sufistik yang didasarkan atas doktrin-doktrin penyucian hati dan jiwa serta ketaatan pada sunnah Nabi.
Tarekat ini berbeda dari tarekat umumnya yang mengklaim memiliki sanad yang bersambung kepada sahabat, menekankan ketaatan kepada guru, mengharuskan baiat, dan kepercayaan yang sangat kuat terhadap konsep wali dan karamah.
Namun demikian, Tarekat Muhammadiyah seperti halnya tarekat-tarekat lainnya memiliki formula zikir dan wirid yang harus dibaca oleh setiap pengamalnya. Juga memiliki guru yang membimbing setiap pengamal. tetapi guru tersebut dalam pandangan jamaahnya adalah manusia biasa yang tidak dikultuskan atau dikeramatkan.
Di dunia Islam telah berkembang berbagai macam tarekat yang mengalami puncak kejayaannya pada abad-abad pertengahan, atau yang dikenal dengan zaman taklid, kejumudan, atau kemunduran peradaban Islam.
Dari berbagai macam itu ada tarekat yang memandang bahwa pengamalan syariat Islam, misalnya shalat dan puasa, itu tidak penting. Dalam keyakinannya, orang akan dipandang sebagai wali jika memiliki kemampuan yang luar bisa.
Misalnya kanuragan (kesaktian fisik), peramalan nasib atau pedukunan. Selanjutnya, seorang wali, kata tarekat ini, tidaklah harus orang yang taat mengamalkan ajaran agama.
Sikap Persyarikatan
Kecuali model tarekat tersebut di atas, ada macam tarekat yang sedikit lebih bagus karena menekankan pentingnya pengamalan agama, tetapi ajaran dan praktik ritualnya banyak bercampur dengan tradisi dan kepercaan lokal.
Sesungguhnya telah muncul gerakan yang tumbuh dari dalam tradisi tarekat yang bertujuan untuk melakukan tajdid. Dengan kata lain, telah pernah lahir gerakan tarekat yang mengoreksi tarekat-tarekat yang ada. Sufi reform within sufi tradition. Itulah, misalnya, Tarekat Mujaddidiyah yang dikembangkan oleh Syekh Ahmad Sirhindi (1564-1624) dan Tarekat Muhammadiyah yang telah dibahas di atas.
Perlu dipahami bahwa di luar tradisi tarekat telah berkembang arus besar umat Islam yang asing terhadap tarekat bahkan berpendapat bahwa tarekat, apapun bentuknya, pastilah menyimpang dari ajaran Islam yang otentik. Persyarikatan Muhammadiyah termasuk dalam arus ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Tarekat Muhammadiyah dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.