Akidah Wasathiyyah ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Pada zaman Nabi Muhammad SAW telah ada ajaran tentang akidah yang menjadi fondasi bagi bangunan Islam. Ajaran itu berisi keyakinan yang harus dipercaya oleh setiap Muslim seperti apa yang dicantumkan dalam teks al-Quran dan Sunnah.
Akidah seperti itu juga diyakini oleh umat Islam pada zaman sahabat. Persoalan baru muncul ketika ada peristiwa politik, yakni perang saudara antarsahabat Nabi.
Peristiwa tersebut memunculkan beberapa posisi yang berbeda untuk menjawab pertanyaan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peperangan tersebut. Dan apakah mereka yang salah telah menjadi kafir atau tidak.
Dalam perkembangan selanjutnya, ragam jawaban terhadap persoalan itu diperbanyak dengan masuknya pengaruh falsafah Yunani untuk menjelaskan berbagai persoalan teologi. Peristiwa politik yang berupa perang saudara dan peristiwa intelektual yang berupa penyerapan falsafah itu mendorong dengan cepat berkembangannya aliran-aliran teologi (firqah).
Debat dan argumentasi tentang teologi itu melahirkan apa yang kemudian disebut kalam atau ilm al-kalam.
Aliran-aliran yang berkembang itu menyebabkan kebingunan bagi sebagian umat Islam. Bukan saja mereka yang awam tetapi juga mereka yang memiliki posisi penting dalam institusi agama, seperti hakim (qadhi).
Teologi Moderat Ibn Taymiyyah
Dalam sejarah disebutkan bahwa seorang hakim yang berkedudukan di Wasith, sebuah wilayah di Negeri Iraq, menulis surat kepada Ibn Taymiyyah (wafat 1328). Dalam surat itu, hakim tersebut bertanya tentang akidah atau teologi Islam dan jawaban-jawaban Ibn Taymiyyah akan dijadikan dasar untuk memberikan fatwa-fatwa keagamaan.
Jawaban-jawaban Ibn Taymiyyah ditulis dalam sebuah naskah yang kemudian diberi judul al-’Aqidah al-Wasithiyyah, dinisbatkan kepada nama wilayah Wasith. Sesungguhnya, Ibn Taymiyyah juga menulis buku yang berjudul al-’Aqidah al-Hamawiyyah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teologi dari seseorang yang tinggal di Hama, sebuah kota di Negeri Syam.
Posisi teologi Ibn Taymiyyah dalam buku al-’Aqidah al-Wasithiyyah itu menggambarkan teologi yang moderat atau tengahan (al-wasath). Moderasi itu berada pada posisi di antara dua ekstrem, misalnya antara tamtsil (memisalkan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia) yang dianut oleh Musyabbihah dan ta’thil (menafikan sifat-sifat Tuhan) yang dianut oleh Jahamiyyah.
Moderasi itu juga terlihat dalam soal perbuatan manusia, yakni antara Jabariyyah dan Qadariyyah; juga di antara Murji’ah dan Wa’idiyyah (Mu’tazilah). Dalam soal keimanan, wasathiyyah terlihat di antara posisi Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah, dan antara Murji’ah dan Jahamiyyah.
Demikian juga, dalam soal penilaian terhadap para sahabat yang terlibat dalam perang saudara, moderasi berada pada posisi di antara Rafidlah (Syi’ah) dan Khawarij. Wasathiyyah (moderasi) ini juga sesungguhnya, kata Ibn Taymiyyah, menjadi posisi Islam di antara agama-agama di dunia ini.
Pendapat Ibn Taymiyyah di atas dipaparkan dalam kitab al-’Aqidah al-Wasithiyyah ketika membahas posisi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di antara aliran-aliran yang berkembang di kalangan umat Islam.
Posisi wasathiyyah itu menjadi lebih menarik jika diletakkan dalam konteks perdebatan tentang apa yang disebut teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, yang dalam pendapat Ibn Taymiyyah disebut juga Ahl al-Kitab wa al-Sunnah.
Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa wasathiyyah dalam masalah teologi itu sesungguhnya merupakan posisi Ahl al-Salaf, yakni para sahabat Nabi SAW dan generasi sesudahnya. Dalam memahami akidah, Ahl al-Salaf sangat terikat dengan teks (nas) ayat-ayat al-Quran dan Hadits.
Kelompok ini disebut juga Ahl al-Hadith, yang memiliki pehaman tektualis, yang menolak penakwilan (ta’wil atau tahwil) terhadap teks yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan. Ahl al-Hadits menolak falsafah yang mereka sebut sebagai ulum al-awa’il (ilmu-ilmu orang kuno).
Ilm al-Kalam juga mereka tolak karena sarat dengan pengaruh falsafah Yunani atau Hellenisme yang mendistorsi aqidah. Dalam tradisi Ahl al-Hadits ini tidak jarang ditemukan kitab-kitab yang mengecam Ilm al-Kalam, misalnya Dzamm al-Kalam (Mencela Kalam) karya Abdullah al-Anshari (w. 1089, dan Tahrim al-Nadhar fi Kutub Ahl al-Kalam (Mengharamkan Melihat Kitab-Kitab Penganut Kalam), karya Ibn Qudamah (w. 1223).
Karena penolakan terhadap kalam itu, Ahl al-Hadits menyebut kepercayaan mereka dengan akidah dan tidak pernah mau menggunakan istilah kalam atau ilm al-kalam bagi pemahaman mereka tentang keimanan
Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’yi
Cara berfikir tekstualis seperti ini dikecam oleh lawannya, Ahl al-Ra’yi, dengan sebutan pejoratif Ahl al-Hasyw (orang-orang yang berlogika rendah dan yang ucapannya sulit dipahami) karena penolakannya terhadap kalam.
Ibn Taymiyyah yang dalam eksposisi akidahnya menggunakan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah termasuk dalam kelompok Ahl al-Hadits yang memiliki akar pada posisi Ahmad bin Hanbal yang anti-Mu’tazilah.
Sebagai lawan dari Ahl al-Hadits, Ahl al-Ra’y (rasionalis) menggunakan pemahaman rasional, memanfaatkan khazanah Hellenisme, mempromosikan kalam dan takwil dalam memahami teks (nas).
Mereka berpendapat bahwa kalam perlu dimanfaatkan dan takwil perlu dilakukan untuk menjaga prinsip-prinsip keadilan dan keesaan Tuhan. Mereka tidak jarang mewariskan literatur yang bernada membela kalam, misalnya Istihsan al-Khaudl fi ’Ilm al-Kalam, sebuah karya yang tidak jelas siapa penulisnya sekalipun sering dinisbatkan kepada al-Asy’ari.
Ahl al-Hadits menyebut kelompok Ahl al-Ra’y ini dengan sebutan yang lebih pejoratif, yakni Ahl al-Bid’ah. Dalam konteks perdebatan antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’y, Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa sesungguhnya Abu al-Hasan al-Asy’ari (wafat 935) itu adalah tokoh Ahl al-Hadits, sedangkan Asy’ariyyah (penganut al-Asy’ari), seperti al-Baghdadi, al-Baqillani dan al-Juwayni, adalah Ahl al-Ra’y.
Ini berarti, dalam pandangan Ibn Taymiyyah, para Asy’ariyyah telah menyimpang dari posisi gurunya, yakni al-Asy’ari karena mereka mengakomodasi kalam dan takwil dalam teologinya.
Dalam kitab al-’Aqidah al-Wasithiyyah, Ibn Taymiyyah sama sekali tidak menyinggung soal ilmu kalam dan dengan demikian tidak menyampaikan posisinya dalam persoalan tersebut.
Tetapi, jelas sekali bahwa posisinya bisa dikategorikan sebagai Ahl al-Hadits yang menurutnya identik dengan Ahl al-Sunnah. Dalam perpektif ini, kita bisa menyatakan bahwa konsep Ahl al-Sunnah menurut Ibn Taymiyyah berbeda dengan konsep yang diyakini oleh para Asy’ariyyah, yang megakomodasi kalam dan takwil.
Wasathiyyah yang dipromosikan oleh Ibn Taymiyyah relevan dalam konteks trikotomi (dua ektrem dan satu moderat) dan bukan dalam konteks dikotomi (Ahl al-Ra’y dan Ahl al-Hadits). Wasathiyyah adalah posisi ideal tetapi perlu diletakkan dalam konteks yang benar. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Aqidah Washatiyyah dalam bukuMendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang olehPWMU.CO.