Muhti, Muhammadiyah tapi HTI. Kolom ditulis oleh Dr Sholikh Al Huda MFil.I, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya; Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur; Direktur Kedai Jambu Institute..
PWMU.CO – Bukan rahasia lagi jika ada sebagian aktivis Muhammadiyah ‘berasa’ Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok ini boleh disebut Muhammadiyah-HTI atau disingkat Muhti. Fenomena tersebut akan dipotret secara fenomenologis.
Kolom Terkait: Fenomena Muhammadiyah-FPI
Mengutip Alfred Schutz dalam bukunya The Phenomenology of The Social Word (1972), secara umum pembacaan fenomenologis dalam ilmu sosial merupakan alat baca untuk membantu memahami berbagai gejala atau fenomena (sosial, budaya, politik, ekonomi dan keagamaan) yang sedang terjadi di masyarakat.
Alat baca fenomenologis tidak dalam rangka melakukan justifikasi atau penilaian benar-salah atau baik-buruk terhadap gejala atau fenomena tersebut. Tetapi berposisi hanya dalam rangka memotret ‘apa adanya’ dalam rangka mencari makna terhadap fenomena tersebut.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka tulisan ini merupakan ikhtiar dalam rangka memotret gejala atau fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di gerakan Muhammadiyah. Yaitu gejala munculnya varian baru ber-Muhammadiyah yang dipengaruhi oleh ideologi politik-keagamaan HTI.
Kajian ini tidak dalam rangka melakukan justifikasi salah-benar, baik-buruk antara ideologi politik-keagamaan Muhammadiyah dan HTI. Walaupun posisi HTI secara hukum, menjadi organisasi terlarang beraktivitas di Indonesia. Tetapi secara ideologi politik keagamaan HTI sulit untuk dimatikan ditengah pergulatan dinamika pemikiran politik Islam.
Dar al-Ahdi wa al-Syahadah
Secara aktivitas-organisatoris Muhti tetap di Muhammadiyah. Namun paradigma ideologo-politik-keagamaanya cenderung dipengaruhi atau bersepakat HTI.
Relasi seperti ini berakibat sering terjadi ‘clash‘ ataua ketidaksepahaman di kalangan aktivis Muhammadiyah dalam memahami dan menyikapi posisi ideologi atau sikap politik Muhammadiyah di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal, sikap politik Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara resmi sudah diputuskan dalam muktamar ke-47 di Kota Makassar.
Dalam keputusan yang sudah di Tanfidzkan dalam Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) Nomor: 01/September 2015 itu diputuskan bahwah Negara Pancasila sebagai ‘Dar al-Ahdi wa al-Syahadah’.
Muhammadiyah memandang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang di Proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara Pancasila yang ditegaskan atas dasar falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Pancasila secara esensi selaras dengan nilai ajaran Islam.
Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar as- syahadah) untuk menjadi negara yang aman-damai (dar as-salam) sebagai bagian cita-cita pembentukan baldathun thaiyibathun wa rabbun ghafur yang diridhai oleh Allah SWT.
Pancasila sebagai dasar NKRI adalah ideologi negara yang mengikat seluruh komponenen bangsa Indonesia. Pancasila memang bukan agama tetapi subtansinya selaras dengan nilai ajaran Islam. Jadi dapat dikatakan Pancasila adalah ‘islami’ karena substansi setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Oleh karena itu segenap umat Islam termasuk Muhammadiyah harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa as-Syahadah atau negara tempat bersaksi dan pembuktian diri dalam mengisi dan memajukan kehidupan kebangsaan.
NKRI Final
Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa mempunyai peluang besar untuk mengamalkan etos fastabiqul al-khairat dan tampil sebagai kekuatan terdepan (a leading force) untuk mengisi dan memimpin kehidupan kebangsaan yang maju, adil, makmur berdaulat sejajar dengan negara-negara yang maju dan perberadaban tinggi.
Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa Pancasila sebagai ideologi kebangsaan Indonesia dan NKRI sebagai sistem kebangsaan (negara dan pemerintahan) merupakan kesepakatan yang sudah final, selesai dan mengikat bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.
Sehingga sikap politik kebangsaan Muhammadiyah sudah sangat jelas menolak segala upaya pergerakan kelompok yang ingin mengganti ideologi Pancasila dan NKRI dengan ideologi politik lain. Mulai dari ideologi komunisme yang diusung PKI hingga ideologi politik khilafahisme yang diusung HTI.
Fenomena ini menarik untuk diungkap sebagai bagian dari pengembangan kajian aliran pemikiran Islam. Juga sebagai bagian dari membangun kewaspadaan gerakan Muhammadiyah, yang mudah terinfiltrasi ideologi gerakan keagamaan ‘baru’ yang manhaj dakwahnya yang berbeda dengan Muhammadiyah.
Ciri-Ciri Muhti
Dari amatan di lapangan, setidaknya ada empat ciri atau karakter Muhti. Pertama, secara paradigma politik bersepakat dengan gagasan politik HTI daripada gagasan politik Muhammadiyah.
Secara paradigmatik Muhammadiyah mengusung ideologi politik moderat-subtantif dalam memahami relasi agama dan politik dalam kehidupan publik kebangsaan. Sementara paradigma politik HTI cenderung mengusung ideologi politik formalistik-integralistik dalam memahami relasi agama dan politik dalam publik kebangsaan.
Kedua, Muhti juga cenderung masih terus mempersoalkan dan menolak Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan NKRI sebagai sistem pemerintahan Indonesia, karena dianggap bagian dari sistem demokrasi.
Dan sistem demokrasi dianggap sebagai sistem dari Barat yang kafir, maka ditawarkan distem politik “khilafahisme” yang dianggap sesuai dengan sistem ajaran politik Islam. Bagi mereka sistem NKRI yang berideologi Pancasila dianggap tidak Islami sehingga harus diganti dengan sistem khilafah.
Ketiga, Muhti cenderung mudah terlibat terhadap agenda atau model dakwah yang digunakan HTI dalam rangka memperjuangkan kepentingan politiknya dengan cara-cara mobilisasi massa melalui demonstrasi di jalanan.
Biasanya melibatkan keluarga—bapak, Ibu, anak—diajak demo dengan slogan “Khilafah adalah Solusi dari Semua Masalah”
Keempat, Muhti enderung menggunakan idiom-idiom bahasa publik-politik yang berbahasa Arab yang dianggap lebih Islami. Fenomena ini merupakan dampak dari interaksi intens antara aktivis Muhammadiyah dengan gerakan HTI.
Baca Kolom Terkait: Satu Muhammadiyah Beragam Wajah Umatnya
HTI merupakan salah satu organisasi jaringan Islam transnasional yang ‘diimpor’ ke Indonesia. HTI merupakan bagian dari jejaring gerakan Hizbut Tahrir (HT) internasional yang awal berdirinya di Baitul Maqdis Palestina tahun 1953, dengan tokohnya Sheikh Taqiyuddin An Nabhani.
Sheikh Taqiyuddin awalnya adalah tokoh Ikhwanul Muslimin Yordania. Awal pendirian HT dimaksudkan sebagai partai politik independen. Tujuan utamanya adalah mendirikan Negara Khilafah sebagai satu-satunya cara untuk mewujudkan Sistem Islam dalam kehidupan. Saat ini kantor pusat HT di Beirut Lebanon dengan Ketua Sheikh Atha’ Abu Rasytah.
Beda Muhammadiyah dan HTI
Adapun watak utama dari gerakan HTI adalah gerakan dakwah politik yang menggunakan media dakwah sosial keagamaan sebagai alat propaganda kepentingan politiknya. HTI berpandangan khilafah solusi dari semua keruwetan kehidupan mulai dari aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan politik.
Sementara watak utama gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah amar makruf nahi mungkar. Muhammadiyah lebih fokus pada pemberdayaan dan pengembangan tata kehidupan. Seperti keagamaan, sosial, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi, dan pemberdayaan perempuan agar lebih maju dan berdaya sehingga dapat terwujud masyarakat Islami yang utama.
Muhammadiyah mengusung politik adi luhung atau high politik yang mengedepankan nilai dan keseimbangan hidup. Ini yang dimaksud politik moderat- subtantif. Bukan mengusung politik praktis dalam rangka perebutan kekuasaan dan penerapan sistem Islam secara formalistik.
Semoga tulisan yang sederhana ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mohon maaf jika ada kurangnya. Hanya Allah yang punya kesempurnaan ilmu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.