Industri Senjata KH Ahmad Dahlan untuk Kemerdekaan, kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto. Warga Muhammadiyah yang tinggal di Kota Lamongan.
PWMU.CO – Peran KH Ahmad Dahlan dalam kemerdekaan tidak seheroik KH Hasyim Asy’ary sahabat karibnya yang mengeluarkan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
KH Ahmad Dahlan barangkali juga tidak semilitan pahlawan-pahlawan Aceh, Minangkabau, Jawa, atau Maluku. Seperti Teuku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, Pattimura dan sebagainya.
KH Ahmad Dahlan ‘hanya’ bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh pendidikan dan pergerakan seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Dokter Soetomo, Dokter Tjipto Mangunkusumo, dan Dokter Wahidin. Juga Sudirohusodo, KH Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Mohamad Hatta, dan sebagainya.
Memasuki abad ke-20 (tahun 1900) perjuangan kemerdekaan mengambil jalur yang berbeda dari perjuangan sebelumnya. Berorganisasi dalam bentuk perhimpunan, organisasi kemasyarakatan dan partai politik menjadi sarana memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari penjajahan bangsa asing.
Berawal dari Budi Utomo yang terbentuk pada 20 Mei 1908, menyusul organisasi-organisasi lain yaitu Sarekat (Dagang) Islam tahun 1911, Muhammadiyah tahun 1912, Perhimpunan Indonesia di Belanda tahun 1923. Disusul Nahdlatul Ulama tahun 1926, Partai Nasional Indonesia tahun 1927 dan lain-lain.
Selain organisasi, gerakan literasi juga menjadi wasilah perjuangan ditandai dengan penerbitan Utusan Hindia oleh Sarekat Islam, Fikiran Rakyat oleh Soekarno dan kawan-kawan di Bandung. Atau Indonesie Vrij oleh Muhammad Hatta dan kawan-kawan di Belanda. Dan tidak ketinggalan Suara Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan dan kader-kadernya sejak tahun 1915 di Kauman Yogyakarta.
Perjuangan kemerdekaan generasi abad ke-20 terbukti efektif mewujudkan kemerdekaan dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun(1908-1945)
Industri Senjata Pendidikan
Bekal pendidikan para pejuang abad ke-20 sebagai senjata paling dahsyat dalam mewujudkan kemerdekaan. Tidak berlebihan jika Nelson Mandela—pahlawan bangsa Afrika, Presiden Afrika Selatan tahun 1994-1999—mengatakan:
“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. Pendidikan sebagai senjata paling dahsyat yang dapat Anda gunakan untuk merubah dunia.”
Dengan keyakinannya ini Nelson Mandela berhasil melepaskan bangsanya dari politik apartheid—penjajahan modern yang merendahkan warga kulit hitam oleh bangsa kulit putih.
Jauh sebelum Nelson Mandela menyadari arti penting pendidikan bagi kemerdekaan bangsanya, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia abad ke-20 sudah sangat menyadari, tidak terkecuali KH Ahmad Dahlan.
Pendidikan ala KH Ahmad Dahlan
Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan dengan ormas Muhammadiyah yang didirikan sangat khas. Perpaduan pendidikan agama Islam dan pengetahuan umum, membaca huruf latin, ilmu bumi dan lain-lain.
KH Ahmad Dahlan tidak segan-segan mendorong putra-putri kadernya untuk masuk ke sekolah-sekolah Belanda—yang saat itu berlabel pendidikan sekuler atau “kafir”—demi mendapat pendidikan ilmu umum lebih baik dengan membekali pendidikan agama Islam pada sore atau malam hari.
Mengacu pada ungkapan Nelson Mandela bahwa pendidikan adalah senjata, maka kawasan pendidikan Kauman Yogyakarta layak disebut sebagai pusat ‘industri senjata’.
Demikian fokusnya dalam bidang pendidikan, KH Ahmad Dahlan dan ormas Muhammadiyah yang didirikan bersama koleganya tidak tertarik masuk bidang politik.
Kelembagaan politik diwadahi pemerintah kolonial penjajah dalam wadah perwakilan rakyat bernama Volksraad. Sebuah lembaga perwakilan rakyat yang bertujuan membagi kekuasaan antara bangsa asing dan pribumi.
Volksraad Lembaga Pencitraan
Pada perkembangannya Volksraad tidak lebih dari lembaga pencitraan untuk melegalkan keputusan-keputusan pemerintah kolonial penjajah. Lambat laun sejumlah partai politik mengalami infiltrasi dan politik belah bambu (devide et impera) untuk melemahkan perjuangan mereka.
Konflik internal seperti dialami Sarekat Islam sejak munculnya faksi ‘kiri’ atau SI ‘merah’ membuat suasana politik semakin runyam. Sebaliknya ormas Muhammadiyah semakin mengembangkan sayap-sayap majelis dan organisasi otonom untuk memajukan pendidikan masyarakat.
Memasuki tahun 1920 setidaknya sudah berkembang majelis pustaka bidang penerbitan buku, Hizbul Wathan wadah pendidikan cinta tanah air dan Majelis PKO (penolong kesengsaraan oemoem).
Pengaruh metode pendidikan Kauman baik secara langsung maupun tidak langsung melahirkan pejuang-pejuang abad-20 yang bersenjata ilmu pengetahuan.
KH Mas Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo aktif dalam perjuangan pada masa pendudukan Jepang. Soekarno sang Proklamator 17 Agustus 1945 terinspirasi “gaya” pemahaman Islam yang dibawa KH Ahmad Dahlan saat mengunjungi Surabaya di rumah indekost Cokroaminoto tahun 1920-an berpengaruh terhadap cita-citanya mewujudkan Indonesia Merdeka.
Pada masa pengasingan di Bengkulu tahun 1938-1942 Soekarno bahkan memimpin Majelis Pendidikan Muhammadiyah. Kasman Singodimedjo pendiri Badan Keamanan Rakyat, juga Sudirman panglima perang pertama Tentara Keamanan Rakyat sebagai produk metode pendidikan yang dikembangkan dari Kauman.
Industri Senjata Masih Relevan
Tanpa mengecilkan arti perjuangan para pahlawan kusuma bangsa sebelum abad ke-20, strategi perjuangan abad-20 masih sangat relevan dalam memasuki abad-21 hari ini.
Setelah merdeka selama 75 tahun lamanya, negeri ini belum bisa disebut sungguh-sungguh merdeka jika mengacu pada cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dalam pembukaan UUD 1945 cita-cita kemerdekaan yang diamatkan pada pemerintah yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ukuran keadilan sosial jika mengacu pada angka kemiskinan dan pemerataan hasil pembangunan bak jauh panggang dari api dengan cita-cita kemerdekaan.
Kemiskinan struktural menurut Menko PKM Prof Muhadjir Efendi ditengarai menjadi sebab angka kemiskinan yang tidak kunjung berkurang secara signifikan setelah Indonesia merdeka selama75 tahun ini.
Pernyataan Menko PKM yang sempat menjadi kontroversi akibat pemahaman yang kurang utuh dari masyarakat. Kontroversi tentang pernikahan atau besanan antarkeluarga miskin menghasilkan keluarga miskin baru mengambil latarbelakang kehidupan kaum buruh perkebunan masa kolonial penjajah.
Jika mengaju pada era kolonial, kemiskinan struktural benar demikian adanya. Pemerintah kolonial penjajah menciptakan kasta-kasta ekonomi masyarakat dengan menempatkan masyarakat pribumi pada lapisan paling bawah.
Kasta paling tinggi ditempati bangsa asing Eropa. Kasta kedua ditempati bangsa asing Asia. Kasta ketiga baru kaum pribumi.
Kasta-kasta yang dibuat pemerintah membuat perlakuan dalam pendidikan dan ekonomi juga berbeda. Kaum pribumi selain mendapat pendidikan terbatas juga akses ekonomi yang terbatas pada sektor usaha informal, kecil, buruh pabrik, perkebunan, tentara, polisi dan pegawai pemerintahan level rendah.
Kasat Ekonomi Era Modern
Tanpa sadar, pada era milenial ini kasta ekonomi era kolonial masih ‘terasa’ meskipun tidak sejelas era kolonial. Ekonomi Indonesia hari ini dipenuhi korporasi-korporasi besar multinasional yang menguasai hampir seluruh cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menempati posisi kedu—yang meskipun memegang aset terbesar seperti Bank BRI, Bank Mandiri, PLN, Telkom, dan lain-lain—tetapi kinerjanya secara akumulatif kalah profesional dengan swasta-swasta nasional dan multinasional.
BUMN-BUMN yang merupakan tumpuan ekonomi bangsa seperti sedang ‘dikeroyok’ oleh swasta-swasta nasional bersama multinasional dalam memperebutkan sumberdaya alam, pasa,r dan tenaga kerja potensial.
Lapisan ekonomi paling bawah yaitu Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Koperasi yang diharapkan menjadi soko guru ekonomi masyarakat semakin sulit bersaing dengan kasta-kasta di atasnya.
UMKM dan Koperasi bisa dikatakan pasukan gerilya yang hanya mampu memperebutkan ceruk-ceruk peluang yang terbatas dalam belantara ekonomi nasional.
Akhir kata, arah dan wasilah pendidikan yang dicanangkan para pejuang kemerdekaan abad-20 termasuk KH Ahmad Dahlan di dalamnya masih relevan hingga saat ini dan yang akan datang sampai akhir zaman.
Kemiskinan struktural sebagai masalah besar dalam keadilan sosial hanya bisa dituntaskan dengan memajukan pendidikan masyarakat. Untuk mewujudkan kemerdekaan politik dan ekonomi yang sejajar serta terhindar dari eksploitasi ekonomi-politik bangsa lain. (*)
Industri Senjata KH Ahmad Dahlan untuk Kemerdekaan, Editor Mohammad Nurfatoni.