PWMU.CO – Hijrah di Tengah Pandemi. Hari ini umat Islam sedunia merayakan tahun baru 1 Muharam 1442. Momentum ini ditetapkan berdasarkan peristiwa penting yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Yaitu hijrah dari Kota Makkah ke Kota Yatsrib—yang kemudian diubah namanya menjadi Kota Madinah (al-Madinah al-munawwarah).
Tentu saja perayaan tahun baru kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebab sekarang dunia sedang dilanda pandemi Covid-19.
Untuk mendapatkan perspektif baru tentang hijrah di tengah krisis dunia itu, PWMU.CO mewawancarai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Dr Muhammad Sa’ad Ibrahim MA, Rabu (19/8/2020).
Empat Makna Hijrah
Dalam pandangan Ustadz Saad—sapaan akrabnya—peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW memberikan kita empat perspektif.
Pertama, hijrah adalah strategi bagi proyeksi kebesaran Islam. Menurut dia, sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam), apa yang dicapai Islam berarti juga capaian bagi kemanusiaan.
“Hijrah adalah strategi bagi proyeksi kebesaran Islam yang selalu berarti bagi kebesaran kemanusiaan juga,” ujarnya.
Kedua, hijrah membawa semangat perubahan. Dari yang serba terbatas ke situasi dan kondisi yang kondusif. Ketika di Kota Makkah dakwah Nabi Muhammad SAW mendapat hambatan yang luar biasa—bahkan mengancam jiwanya—maka ditempuh strategi hijrah.
“Hijrah adalah perubahan mind set dari ruang dan waktu yang terbatas ke arah yang lebih baik,” ujarnya.
Dalam konteks ini, sambungnya, hijrah bukan terbatas pada perpindahan fisik. Namun yang paling relevan di masa kini adalah perubahan mind set, paradigma, atau cara berpikir.
Cara-cara baru lebih baik harus ditemukan untuk mendukung—bahkan mengganti—cara-cara usang yang sudah kehilangan relevansinya.
Menurutnya, perspektif kedua ini sangat penting untuk mendukung makna hijrah sebagai proyeksi kebesaran Islam dan kemanusiaan. Sekaligus sebagai syarat perspektif ketiga hijrah.
Hijrah Keniscayaan Dakwah
Ustadz Saad mengatakan, hijrah adalah keharusan dalam strategi dakwah. “Hijrah merupakan sarana niscaya bagi dakwah Islam,” kata dia soal persepsi ketiga.
Menurutnya, tanpa hijrah, terutama dalam perpektif perubahan mind set, dakwah Islam akan mengalami kejumudan. Jika itu terjadi, maka kebesaran Islam dan sumbangsihnya terhadap peradaban dunia akan gagal dilakukan.
“Khusus berkaitan dengan pandemi Covid-19, ini, hijrah bermakna mengubah mind set ke kehidupan yang kondusif bagi terhindarnya berbagai hambatan bereksistensi Islami, khususnya dari virus tersebut,” ungkapnya tentang perspektif keempat hijrah.
Karena itu umat Islam harus melakukan hijrah saat menghadapi wabah Corona ini. Kenyamanan-kenyamanan yang selama ini ‘dinikmati’ harus diubah agar selamat dari penyakit ini.
Kehidupan komunal, misalnya, untuk sementara harus ditinggalkan menuju kehidupan soliter. Termasuk berjamaah shalat dan syiar agama yang mengharuskan tatap muka banyak orang diganti di rumah saja. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.