PWMU.CO – Di era digital begini, masih saja muncul orang-orang aneh. Paling baru, orang Probolinggo mengaku sebagai wali Allah dan punya karamah segala. Tidak main-main, karamah yang, katanya, datang dari Allah adalah, dia sanggup menggandakan uang.
Segera saja padepokan sang wali berjubel orang-orang yang disebutnya santri. Namun, sebenarnya, tidak layak disebut santri, karena santri adalah mereka yang menuntut ilmu di pesantren. Di padepokan sang wali, benarkan orang-orang itu sungguh-sungguh menuntut ilmu? Atau memburu harta agar jadi kaya?
Konon, di antara amalan sang wali dan santrinya, ada Shalawat Fulus, yang kalau dibaca akan potensial mendatangkan kekayaan. Selama saya tinggal di pesantren, saya tahu beberapa macam nama shalawat. Kendati demikian, belum pernah saya mengenal istilah Shalawat Fulus. Bagaimana dengan Anda? Mungkin shalawat begini hanya ada di padepokan itu dan asli “made in” sang wali bersangkutan.
(Baca: Ziarah Kubur dan Praktik Pemujaan Makam Keramat)
Soal kemampuan sang wali, saya tidak heran. Juga, saya percaya. Yang punya kemampuan aneh-aneh begitu, banyak sekali. Juga, tidak perlu harus punya padepokan atau mendaku sebagai wali. Sejarah menunjukkan, masyarakat Jahiliah dulu punya kemampuan memprediksi nasib dan sebagainya. Banyak pula orang zaman sekarang, bukan ulama atau orang saleh, tetapi punya kemampuan yang tidak dimampui orang banyak. Itu biasa belaka.
Hanya, yang akal waras harus menolak adalah ketika sang wali bilang bahwa kemampuannya itu adalah karamah. Dalam Islam, karamah adalah satu dari lima keajaiban yang diberikan Allah kepada manusia: mukjizat, irhas, karamah, maunah, istidraj. Saya tidak menjelaskan satu persatu. Yang jelas, dari kelima kemampuan supranatural itu, hanya istidraj yang diterimakan Allah kepada hamba-Nya tanpa syarat kesalehan.
Apa kategori kesalehan seseorang? Tidak lain adalah kemampuan memahami dan mengamalkan Al-Quran serta Hadis. Bukti yang paling nyata adalah ketaatan menjalankan ibadah wajib dan ibadah sunah, juga melakukan kebaikan secara tulus sebagaimana dianjurkan Islam. Nah, kalau ada orang yang ibadahnya nggak jangkep, nggak paham dan nggak mengamalkan Al-Quran, nafsu dunianya meluap, kerap melakukan maksiat, lalu punya kemampuan luar biasa, benarkah itu karamah dari Allah?
(Baca juga: Ka’bah dan Doa Aneh Umar bin Khattab)
Kemampuan serupa itu pasti muncul berkat bantuan jin? Sebab, hanya jin–khususnya jin kafir–yang mau bekerja sama dengan manusia, asal “MoU” yang diajukan jin tersebut sudah ditandatangani oleh manusia. Perkara manusia tadi ibadahnya berantakan, tidak ada urusan dengan jin. Tidak ada ceritanya ahli dunia dan ahli maksiat mampu bekerja sama dengan malaikat, bahkan langsung dengan Allah, dalam urusan yang tidak ada hubungannya dengan dakwah dan ibadah.
Lantas bagaimana dengan kesaksian sekian banyak orang, termasuk intelektual bergelar doktor? Ah, ini soal akidah. Sementara, gelar doktor tidak menjamin lurusnya akidah seseorang. Seabrek doktor yang tidak mengerti dan tidak pula mengamalkan agamanya dengan baik. Di zaman sekarang ini, sulitkah Anda menemukan cerdik-pandai yang tingkahnya tidak linier dengan ilmunya?
Sudahlah. Dalam urusan akidah, juga akhlak, semacam ini, jangan jadikan gelar doktor, bahkan juga profesor, sebagai patokan kebenaran. Iman membaja yang bersemayam di dalam dada, itulah pemandu utama. (*)
Catatan M Husnaini, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PCM Solokuro, Lamongan