PWMU.CO– Dome of Rock, awalnya hanya seonggok batu yang tergeletak di tengah Kota Lama Yerusalem. Di dekat Masjidil Aqsha. Dataran ini dikenal sebagai Kuil Gunung, tempat kuil yang dibangun Nabi Sulaiman.
Batu itu menjadi bersejarah karena dipercaya sebagai tempat ampiran Nabi Muhammad saw ketika Isra Mikraj. Dalam perjalanan malam dari Masjidil Haram, Nabi berhenti di batu itu. Dari batu ini pula Nabi mikraj menuju Sidratul Muntaha. Langit ketujuh.
Kini batu itu berada dalam bangunan persegi delapan berkubah emas. Disebut Qubbah As-Sakhrah. Kubah Batu. Dome of Rock. Gedung ini juga menjadi tempat shalat oleh para peziarah.
Masyarakat Yahudi juga menyucikan tempat ini. Sebab mereka menyakini di batu itulah Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya bernama Ishaq.
Di bawah batu ini ada gua. Untuk menuruninya dibuatkan tangga lewat di samping. Gua berada di bawah batu.
Gua ini disebut Bir al-Arwah atau sumur jiwa. Mitosnya, di situlah berkumpul jiwa-jiwa orang yang mati. Tapi itu hanya dongeng mitos horor.
Faktanya banyak peziarah menuruni gua di dalamnya ruang kosong yang difungsikan sebagai masjid. Tempatnya terang karena ada lampu warna kuning. Peziarah juga shalat di gua ini untuk menikmati sensasinya.
Kubah emas yang tampak mengkilat diterpa sinar matahari itu dilaburkan pada tahun 1965. Kubahnya terbuat dari perunggu dan alumunium. Sebelumnya kubah itu berwarna hitam. Kompleks Masjidil Aqsha ini menurut sejarahnya hak pengelolaannya berada di tangan Kerajaan Yordania.
Gedung ini sering disalahkaprahi sebagai Masjidil Aqsha yang terletak di seberangnya. Berkubah hijau dengan bangunan lebih tua. Masjidil Aqsha pernah menjadi kiblat shalat di awal dakwah Islam.
Setelah dua tahun hijrah ke Madinah, kiblat berubah ke arah Masjidl Haram di Mekkah. Seperti diperintahkan surat al-Baqarah ayat 144.
Khalifah Umar dan Pasukan Templar
Saat Umar bin Khaththab menguasai Palestina tahun 638 M, batu itu dibiarkan terbuka. Umar membangun masjid di sebelah lain dari Masjidil Aqsha yang di zaman itu sudah hancur.
Ketika Dinasti Umaiyah berdiri, di masa Khalifah Abdul Malik tahun 687 M, di atas batu diberi cungkup kubah berdiameter 20 meter ditopang 16 pilar. Biaya pembangunan diambilkan dari pajak wilayah Mesir. Prasasti di situ menginformasikan selesai dibangun tahun 70 H, antara 691–692 M.
Pembangunan dilanjutkan pada masa Dinasti Abbasiyah Khalifah Al Makmun dengan membuat dinding bangunan bersegi delapan. Arsitekturnya meniru gaya Bizantium dipadu dengan kaligrafi Quran sehingga memunculkan warna Islam.
Ketika Perang Salib berlangsung, Yerusalem dikuasai pasukan Templar, Kubah Batu diubah menjadi gereja. Di atas kubahnya dipasang salib. Ini terjadi mulai tahun 1099.
Saat Sultan Salahuddin al-Ayubi mengusir pasukan salib tahun 1187, Kubah Batu dijadikan masjid lagi. Tanda salib di atas kubah dibongkar diganti bulan sabit.
Alasan Dibangun Kubah Batu
Di zaman Kesultanan Utsmaniyah, Kubah Batu mendapat perhatian direnovasi. Khalifah Sulaiman (1520–1566), memasang ubin teras, mozaik dinding. Khalifah selanjutnya juga merenovasi hingga menjadi bangunan yang indah.
Dinding membentuk segi delapan masing-masing dari delapan sisinya memiliki lebar 18 meter dan tinggi 11 meter. Kubah maupun dinding luarnya memiliki banyak jendela.
Interior dan eksterior bangunan dihiasi dengan marmer, mozaik, dan plakat logam. Meskipun teknik mosaik serupa dengan yang ditemukan di gedung-gedung publik dan gereja Bizantium, mosaik Kubah Batu kaligrafi Arab dari ayat-ayat Quran. Ada ornamen pola tumbuhan bercampur dengan gambar barang-barang seperti permata dan mahkota.
Beberapa ulama berpendapat bahwa Khalifah Abdul Malik membangun Kubah Batu untuk memproklamasikan kemunculan Islam sebagai keyakinan baru yang tertinggi terkait menghapus tradisi Rumawi sebelumnya.
Kemegahan bangunan itu mungkin dimaksudkan untuk menyaingi bangunan suci Kristen di Yerusalem, yaitu Gereja Makam Suci yang juga berkubah. Jadi ada pesan supremasi Islam ingin disampaikan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto