PWMU.CO– Mat Yasin Wisatmo arek Kaliasin Surabaya. Tokoh Muhammadiyah ini menantu Kiai Usman, pendiri Masjid Sholeh di kampung itu. Ini masjid Muhammadiyah pertama di Surabaya. Wisatmo menikahi putri Kiai Usman Dewi Aisyah.
Keluarga ini jadi aktivis persyarikatan. Di zaman krisis moneter tahun 1927 yang menyebabkan dakwah Muhammadiyah juga lesu, Wisatmo termasuk anggota Wali Rong Puluh menjadi pamong Muhammadiyah yang berbaiat di rumah KH Mas Mansur untuk menghidupkan berdakwah organisasi.
Baiat ini terjadi pada dini hari pukul 01.00 tanggal 1 Muharram 1346 bertepatan dengan 1 Juli 1927. Pas fajar tahun baru hijriyah.
Hari itu juga diadakan perubahan susunan Bestuurs Cabang Muhammadiyah. Keputusannya Voorzitter (ketua) dipercayakan pada KH Mas Mansur, Vice Voorzitter (Wakil Ketua) dipegang S. Wondowidjojo. Penningmeester (bendahara) Ardjosoepoetra, Secretaris I Soediroatmodjo, Secretaris II Badjoeri. Commissarissen (Pengawas) ditunjuk E. Hamid, H Oerip, Jaminah, dan Wisatmo.
Sebelumnya dia aktif di bagian pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan. Tahun 1926 Wisatmo bersama pimpinan HW membantu penyelenggaraan Kongres Muhammadiyah di Surabaya. Kemudian tahun 1934 dia menjadi Menteri Daerah Hizbul Wathan Surabaya.
Tahun 1947-an dia dipercaya sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya. Pada 1953, jabatan ketua beralih ke dr Moh. Suwandhie, tokoh yang namanya diabadikan sebagai nama RSUD Surabaya.
Di masa kepemimpinan Soewandhi selama 11 tahun (1953-1964), Wisatmo menjadi sekretaris. Tapi tahun 1977 dia terpilih lagi jadi Ketua PD Muhammadiyah Surabaya.
Ini menandakan regenrasi tak berjalan. Karena usia Wisatmo sudah 73 tahun. Tapi di masa itu Surabaya sukses sebagai tuan rumah Muktamar Muhammadiyah ke-40, 24-30 Juni 1978.
Di Muhammadiyah Jatim, Wisatmo juga beberapa kali terpilih sebagai anggota pimpinan. Lalu duduk menjadi penasihat.
Peristiwa Hotel Yamato
Mukti Hari, anak Mat Yasin Wisatmo, menjelaskan, ayahnya lahir pada 12 Juli 1904. Semasa muda merupakan kawan Bung Karno. Bapaknya sering ke Peneleh, ke rumah HOS Cokroaminoto. Bung Karno juga berkunjung ke Masjid Sholeh.
Lulus sekolah Wisatmo menjadi guru. Salah satu muridnya adalah Dewi Aisyah, anak Kiai Usman, yang kemudian dinikahinya.
Kata Hari, dari mertuanya Wisatmo belajar mengaji dan bela diri. Waktu perang kemeredekaan, Wisatmo Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang dibentuk Bung Tomo.
”Ayah saya itu menguasai empat bahasa Jepang, Belanda, Inggris, Jerman karena itu punya tugas khusus mencari informasi dari koran, radio luar negeri atau pejabat penjajah,” tuturnya.
Saat peristiwa Hotel Yamato di Tunjungan pada 19 September 1945, menurut Hari Mukti, Wisatmo juga berada di lokasi itu bersama pemuda Kaliasin.
Kisah Hotel Yamato itu sering diceritakan ayahnya. Satu informasi penting adalah salah satu perobek bendera Belanda di antara empat pemuda yang mencapai menara tiang bendera adalah Muhammad Nur Sidik, arek Kaliasin dan aktivis Masjid Sholeh.
”Ayah saya melihat sendiri yang merobek adalah Nur Sidik, arek Kaliasin sini yang saat itu ada di atas menara Hotel Yamato,” tuturnya. ”Dia itu kerja sopir gubernuran,” tambahnya.
Informasi ini menjadi penting untuk memperkaya data sejarah. Sampai hari ini yang klaim perobek bendera di Hotel Yamato hanyalah Hariyono dan Koesno Wibowo, arek Peneleh. Hariyono itu pengawal Residen Sudirman.
Dalam foto dokumen peristiwa Hotel Yamato, yang berhasil memanjat ke menara hotel tempat tiang bendera empat pemuda. Satu orang merobek bendera biru kemudian dibantu satu teman lainnya mengibarkan bendera merah putih. Bersamaan dengan itu dua pemuda lainnya menuruni tangga.
Tahun 1960-an, Wisatmo menjadi pengurus Majelis Pembina Kesehatan Umum (PKU). Di tahun itu dia bekerja di kota praja menjadi kepala Jawatan Penerangan. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto