Haji Abdul Kadir Muhammad, Tokoh Dakwah Kangean dari Surabaya tulisan Bahrus Surur-Iyunk Wakil Ketua PDM Sumenep.
PWMU.CO-Haji Abdul Kadir Muhammad. Nama ini populer sebagai juru dakwah di Sumenep. Menjadi tokoh Muhammadiyah di Pulau Kangean. Aslinya arek Surabaya. Kemenakan KH Mas Mansur yang diasuhnya setelah yatim piatu.
Setelah lulus Madrasah Mufidah di Kalimas Udik dia ditugaskan dakwah Islam ke Sumenep tahun 1934. Mengajar di sekolah Muhammadiyah yang didirikan oleh Raden Musaid Werdisastro. Kemudian menikah dengan Rr. Fatimatuz Zahra, cucu Raden Musaid yang berusia 14 tahun. Abdul Kadir saat itu berusia 22 tahun.
Dalam perjalanannya dakwahnya dia diangkat jadi pegawai Departemen Agama urusan haji. Bahkan sempat dimutasi ke Maluku. Pada akhirnya balik ke Sumenep mengembangkan pendidikan. Lantas tertarik ke Pulau Kangean.
Dia memilih berdakwah ke Pulau Kangean karena terkesan dengan watak orangnya. ”Oreng Sumenep rea dhung-matedhung. Mon ejagai tak lekas jagha. Lain ben oreng Kangean. Orang Kangean rea tedhung ongguhan. Mon ejagai lekas jagha,” kata dia menjelaskan alasannya.
Artinya, orang Sumenep itu pura-pura tidur. Kalau dibangunkan juga pura-pura bangun dan tidak cepat bangun. Sementara orang Kangean itu tidurnya sungguhan. Kalau dibangunkan akan cepat bangun sungguhan.
Kadir melihat orang Kangean sangat merespon dakwah Islam model Persyarikatan Muhammadiyah. Pengalaman itu dia dapatkan ketika memimpin pesantren tahun 1968 di Panarukan atas permintaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Situbondo.
Santrinya kebanyakan dari Kepulauan Kangean, Sapeken dan Sepudi. Setelah mondok santri-santrinya kembali ke kampungnya mengembangkan dakwah. Jadi di kepulauan ini Kadir sudah punya jaringan.
Membangun Sekolah Muhammadiyah
Berangkat ke Kangean pada tahun 1974. Setelah mapan, tahun 1975 dia boyong istri dan putra-putrinya ke pulau itu. Di sini dia kembangkan sekolah Muhammadiyah dan menggiatkan pengajian.
Sekolahnya memakai nama YPPMI, Yayasan Pondok Pesantren Modern Islamiyah. Ada Madrasah Tsanawiyah (1976), Madrasah Diniyah Ibtidaiyah Darul Arqam (1977), TK at-Taqwa (1978) yang kemudian menjadi TK Aisyiyah Bustanul Athfal At-Taqwa.
Kemudian membuka Madrasah Aliyah (1982) yang berkembang menjadi SMA Muhammadiyah 3 Arjasa Kangean. Dalam sekolah-sekolah itu ada mata pelajaran Kemuhammadiyahan, Hizbul Wathan, dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Strategi mengelola sekolah model dari luar tampak NU, di dalam ternyata Muhammadiyah ini membuatnya bertahan dan fleksibel menghadapi kultur masyarakat dan birokrasi Departemen Agama.
YPPMI diketuai oleh Sudomo yang belakangan diangkat menjadi menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.
Dengan cara begitulah dakwah Muhammadiyah berkembang. Anak istrinya pun dilibatkan menjadi pimpinan organisasi.
Dia punya 15 anak. Anak pertama, Fauziyah menjabat Ketua PDA Sumenep tiga periode. Anak kesembilan Hamidah pernah menjadi Kepala MTs YPPMI dan Ketua PCA Arjasa. Anak ketigabelas Diah Khalidah melanjutkan jadi Ketua PCA Arjasa.
Nasib Nahas di Depag
Haji Abdul Kadir Muhammad lahir di Surabaya, 22 Pebruari 1916. Lahir dari keluarga priyayi santri pasangan Nafisah, dari Sepanjang Sidoarjo, dan H. Mas Muhammad, kakak KH Mas Mansur.
Usia 6 tahun ditinggal mati ayah ibunya. Lalu diasuh Mas Mansur. Disekolahkan di Madrasah Mufidah yang memakai kurikulum Mesir hingga tamat Madrasah Tsanawiyah di usia 18 tahun. Setelah lulus dia dikirim berdakwah ke Sumenep.
Selain mengajar sekolah Muhammadiyah dia ceramah ke desa-desa. Membina gerakan Nasyiatul Aisyiyah. Mengajari anggota NA membuat bunga kertas. Ketika sudah menjadi ustadz yang matang dan banyak pergaulan bisa ceramah di Masjid Jamik Sumenep.
Kemudian diangkat menjadi pegawai Departemen Agama mengurusi haji. Satu saat, Kadir ditugasi setor uang ke Jakarta. Nahas saat di perjalanan sampai Kertosono, uang itu dicopet. Akibatnya dia dimutasi ke Pulau Kei, Maluku Tenggara. Tapi berkat prestasinya dia bisa menjadi kepala Kantor Departemen Agama Ambon. Di sini mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri.
Lalu nahas datang lagi. Gara-gara aktif di Muhammadiyah dia disingkirkan. Jabatannya digantikan orang lain saat dia dalam perjalanan pulang tugas dari Jakarta.
Ironisnya sejak itu status pegawainya terkatung-katung selama 11 tahun tanpa gaji. Putri sulungnya, Hj. Fauziyah, menuturkan, saat itu hidup susah. Semua barang dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Telantar di Ambon, Kadir memutuskan pulang ke Sumenep untuk mengajar di Madrasah Muhammadiyah. Kemudian pindah ke Kangean.
Selama berada di Kangean, Kadir berkirim surat ke Menteri Agama menanyakan status pegawai dan gajinya. Setelah lima kali berkirim surat, pada masa Menteri Agama Prof Dr Mukti Ali baru direspon.
Pada tahun 1983, istrinya meninggal saat dirawat di Sumenep. Setahun kemudian Haji Abdul Kadir Muhammad menyusul wafat tahun 1984. (*)
Editor Sugeng Purwanto