Radikalisme Kaum Sekuler tulisan Prof Dr Achmad Jaenuri, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO-Selama ini radikalisme sering kali ditujukan hanya kepada kaum muslim. Stereotyping ini difasilitasi oleh kebanyakan media massa mainstream. Seringkali media massa memuat tulisan yang memperkuat asumsi di atas.
Sangat jarang tulisan tentang isu yang sama yang dilakukan oleh kelompok non-agama dan non-Islam. Apalagi di antara para penulis muslim sendiri sangat tertarik dengan isu radikalisme Islam. Karena jaminan pemuatan di media sangat besar. Demikian juga dengan isu-isu primordialisme Islam yang lain, seperti toleransi, pluralitas, dan khilafah apalagi.
Khusus untuk isu khilafah, betapa banyak pihak tertarik membicarakannya. Seakan tidak ada hal lain yang lebih urgen untuk dibicarakan. Semakin isu ini dibicarakan, semakin terkenal khilafah jadinya. Ini tampaknya yang dikehendaki oleh kelompok berkepentingan agar khilafah menjadi rentetan baru stereotyping Islam tentang gerakan radikalisme.
Pertanyaannya, apakah ada radikalisme selain Islam? Seperti radikalisme Kristen, Katolik, Hindu, Budha, nasionalis, liberalis, modernis, konservatif, dan sekularis. Jawabnya, ada.
Apa ukuran dan indikator yang digunakan untuk menjawab keberadaanya? Seringkali orang menggunakan parameter yang kurang jelas untuk melihat gejala radikalisme yang dimaksud. Sehingga yang tampak adalah radikalisme itu hanya ada di Islam dan umat muslim.
Model Radikalisme
Radikalisme itu ada dua. Pikiran dan tindakan. Dimaksudkan dengan radikal pemikiran adalah sikap non-kompromis terhadap pendapat orang lain, dan ada keinginan kuat untuk memaksa pendapat sendiri bisa diterima oleh orang lain. Dalam konteks ini, siapapun yang memiliki sikap seperti ini termasuk radikal ide/pemikiran. Termasuk kaum sekuler.
Yang disebut terakhir ini lebih ekstrem karakternya karena lepas dari simbol primordialisme. Karena itu, hampir banyak orang tidak menganggap sikap radikal yang ada pada diri mereka itu. Karena tertutup oleh kesan, sekuler ya memang seperti itu. Anti pada simbol dan gerakan keagamaan.
Di dunia muslim, ada beberapa tokoh sekuler radikal yang terkenal, seperti Mustafa Kemal Ataturk, (Turki), Habib Burguiba (Tunisia), dan umumnya juga kepala negara di banyak negara muslim, termasuk Indonesia.
Wawasan sekuler mereka tidak hanya memisahkan antara politik dan agama, tetapi memasukkannya ke dalam struktur negara dan mengawal implementasinya dengan perangkat aturan dan aparat keamanan.
Mustafa Kemal Ataturk merombak secara radikal sistem dan dasar negara menjadi seratus delapan puluh derajat berbeda dengan yang sebelumnya. UUD negara diganti dengan UUD Barat, simbol Islam dan ketimuran diganti dengan simbol budaya Barat.
Siapa yang ingin maju, Baratlah contoh yang harus diterima tanpa reserve. Ribuan madrasah ditutup, adzan diganti dengan bahasa Turki. Ia tetap ngotot semuanya harus dilaksanakan secara revolusioner, meskipun banyak masukan dan kritik dari para ulama.
Habib Burguiba menampakkan keradikalannya dengan minum jus di siang hari bulan Ramadhan melalui siaran TV nasional. Pesan yang ingin ia sampaikan kepada rakyat Tunisia adalah bahwa puasa tidak perlu. Karena hal itu akan memperlemah etos kerja rakyat. Kebutuhan ekonomi menjadi prioritas utama. Dan itu hanya bisa diatasi jika rakyat punya etos kerja tinggi dengan tidak berpuasa.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Editor Sugeng Purwanto