Muawwiyah The Real Politician tulisan Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Tesis politik Muawwiyah adalah muwakalah hasanah wa musyarabah jamilah. Sejak saat itu kekuasaan dibagi dua, seorang khalifah tak harus pandai urusan agama tapi cukup punya kemampuan manajerial mengelola negara. Ulama dan umarapun dipisah. Keduanya punya kapling masing-masing. Dialah yang memulai politik Islam model Barat. Membangun istana, tentara, dan pasukan pengawal khalifah.
Jadi jangan pandang sebelah mata pada anak Abu Sufyan ini. Para sahabat memuji saudara istri Rasulullah, Ummu Habibah, ini. Jadi Gubernur Syam seumur hidup hingga mengklaim sebagai khalifah. Dia juga yang pertama membangun Angkatan Laut lalu menyerang Konstantinopel. Ini sesuai ramalan Rasulullah.
Perang dahsyat sesama iman antara Muawwiyah dan Ali bin Abu Thalib berebut khilafah berakhir di meja runding (arbitrase-tahkim) yang dimenangkan Mu’awiyah secara kontroversial. Padahal dalam perang fisik head to head posisi Mu’awiyah kalah. Tapi ini politik dan Mu’awiyah adalah jagonya.
Peristiwa arbitrase adalah kisah tentang kecerdikan, adu strategi dan diplomasi agar unggul di setiap etape. Unggul dalam jumlah suara saja ternyata tak cukup. Apalagi kalah. Politik butuh banyak support, militansi bahkan sedikit ’kecurangan’ untuk menjaga keunggulan. Bukankah yang kalah juga curang.
Jadi jangan tanya suka citanya pengikut Mu’awiyah yang bisa membalik kekalahan menjadi kemenangan pada masa injure time. Jangan ditanya pula kecewa dan frustrasinya pengikut Ali. Padahal kemenangan sudah ditangan, bahkan Sayidina Ali pun menjadi kurban para pengikutnya yang kecewa berat. Efek lazim dari setiap peristiwa politik yang tak mudah sembuh.
Menyatukan Perbedaan
Generik Islam diciptakan berbeda. Ada puluhan madzhab fiqih dan kalam dan ratusan aliran tasawuf dan thariqah dan semuanya tak mungkin bisa disatukan oleh politik.
Kekhawatiran bahwa umat Islam bakal terpecah-pecah sudah dirasakan baginda Nabi saw diujung usia. Karenanya beliau bernasihat dan berpesan, aku tinggalkan dua pusaka yaitu al-Quran dan as Sunah.
Ironisnya sebagian besar kita juga bertengkar karena dua pusaka itu. Sebab masing-masing telah merasa berpegang dan kembali pada dua pusaka itu. Jadi di mana letak pangkal soalnya?
Dalam sejarahnya Mu’awiyah telah berhasil membangun sebuah imperium Islam yang disegani, karena luas wilayah dan banyaknya negeri taklukan. Menjadikan Islam dikenal di belahan bumi Eropa dan Parsi.
Mu’awiyah juga sukses menyatukan puluhan manhaj dan aliran Islam dalam satu kesatuan politik. Ini bagian terpentingnya, sebab ia juga tak segan memberangus kekuatan politik para ahlu bait pengikut Ali dan membatasi ruang geraknya agar tak banyak bertingkah. Sesuatu yang secara teologis patut disesali tapi dibenarkan secara politik.
Baru nyadar bahwa berebut kekuasaan dan intrik berpolitik itu tak cocok buat Abu Dzar al Ghifari ra sahabat yang dikenal berhati lemah. Juga Abu Musa Al Asy’ari ra seorang wara’ lagi zuhud yang tak cocok berpolitik. Dialah yang mewakili Ali saat berunding dengan Amr bin Ash yang mewakili Mu’awiyah. Abu Musa dikadali oleh Amr bin Ash tentang peralihan kekuasaan.
Apalagi saya atau siapapun orang-orang yang tak cukup lapang ketika tiba-tiba Mas Sandiaga Uno menjadi timsesnya menantu Pak Jokowi di Kota Medan. Atau Pak Busyro Muqaddas yang dikenal konsisten di jalan pemberantasan korupsi menjadi pengacara keluarga cendana Bambang Trihadmodjo. Bukan kita yang menimang, tapi politik akan menemukan pilihan rasionalnya sendiri tanpa persetujuan kita sekalipun. (*)
Editor Sugeng Purwanto