Kehadiran Partai Ummat, Apa Manfaatnya bagi Muhammadiyah oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Dua besan bertengkar dan kita semua terlibat. Ternyata berpengaruh pada konstelasi politik. Partai Ummat berdiri. Dua matahari di bilik sempit Islam reformis. Tak tahu saya harus berucap hamdalah atau istighfar.
Saya tetap saja Muhammadiyah ortodoks. Empat puluh tahun saya berkhidmat, tak pernah beranjak dan tergoda oleh politik. Saya berkeras menjaga dan merawat ortodoksi Muhammadiyah sejauh yang saya mampu.
Saya tetap konsisten dengan gerakan pemikiran dan pergerakan Kiai Ahmad Dahlan. Meski hanya berupa tiga langgar kampung. Satu mushala kecil pinggir kali dan dua PAUD dan satu TK di desa terpencil yang bisa saya wakafkan untuk Persyarikatan dari harta keluarga.
Jika boleh saya pilah, genologi Islam politik atau politik santri ada dua macem. Santri tradisional dan Islam reformis. Yang pertama kokoh dan solid. Yang kedua mengeras dan menyusut.
Saya tak bisa berhitung dengan kalkulasi politik macam apa Partai Amanat Nasional (PAN) yang hampir tak lolos batas ambang itu kini dicacah lagi. Dukungan politik darimana lagi yang akan diraih. Padahal di luaran sudah penuh sesak.
Partai Islam Kian Susut
Kekuatan politik Islam reformis kian susut, mengeras dan terus mengecil. Sementara politik santri tradisional makin solid, kuat dan kokoh bekerja sama dengan kekuatan nasionalis sekuler yang mengatur rezim.
Ironisnya lawan politik Islam reformis bukan santri tradisional sebagai rival atau nasionalis sekuler tapi dirinya sendiri. Konflik abadi yang terus berulang-ulang. Prediksi Dr Alfian, peneliti dan Ketua LIPI tahun 1980-an masih sangat relevan untuk perkara ini. Terlalu banyak orang pintar gak ada yang mau jadi makmum. Sindiran tajam kayak begini juga dilontarkan Greg Barton kepada politiisi Islam reformis.
Politik santri seperti belantara, saling memangsa berebut depan. PPP, PKB, PKS, PBB, PAN yang merepresentasi politik santri tak pernah akur. PAN yang sudah kecil itu kini jadi dua. Suara politik warga Muhammadiyah yang sangat kecil direbutkan dapat apa? Selain capai. Energi politik santri tersedot habis oleh konflik dan pertengkaran internal.
Dengan kondisi psikologis macam begini mana mungkin bisa memimpin umat. Dengan sesama iman saja tak akur mana mungkin dengan yang di luar iman. Ini bangsa besar dengan ratusan keyakinan, bahasa adat bukan seperti m ngurus takmir masjid, ranting atau cabang Muhammadiyah yang homogen.
Saya bukan pendukung atau simpatisan partai manapun. Hanya tak suka jika energi negatif partai politik masuk Persyarikatan. Dan yang kedua, maaf kehadiran Partai Ummat tak akan berpengaruh signifikan terhadap peta politik nasional.
Partai Ummat hanya internal urusan PAN, sebuah partai yang pada Pileg kemarin kesulitan mempertahankan ambang batas. Perolehan suaranya pun menurun jadi 6,84 persen. (*)
Editor Sugeng Purwanto