Ujian Dakwah KH Ahmad Dahlan, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat sosial-keagamaan, ringgal di Kabupaten Sidoarjo.
PWMU.CO – Amar makruf nahi mungkar adalah salah satu ajaran pokok Islam yang sangat dipegang KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Meski untuk aspek yang kedua, yaitu nahi mungkar, itu bisa berisiko, tokoh yang kemudian mendirikan Muhammadiyah itu tak gentar mewujudkannya.
Sanksi Dipecat
Lewat ilmu yang dimilikinya, Kiai Dahlan kala itu tahu, bahwa rata-rata masjid di Yogyakarta garis shaf-nya tak tepat menghadap kiblat di Mekkah. Ini sesuatu yang sangat prinsip. Oleh karena itu harus “diluruskan” dan diluruskan, demikian pemikiran Ahmad Dahlan.
Umat Islam, terutama kalangan ulamanya, harus “diluruskan” dengan cara diberi penjelasan yang memadai berdasarkan ilmu yang shahih. Garis-garis shaf di masjid-masjid, terutama di Yogyakarta waktu itu, harus diluruskan, disesuaikan dengan dasar keilmuan yang benar.
Sejatinya, pendapat Ahmad Dahlan soal arah kiblat yang benar itu, bisa berisiko. Betapapun, saat itu, memersoalkan arah kiblat adalah sesuatu yang sensitif. Maka mengingat situasi itu, Ahmad Dahlan tak tergesa-gesa dalam mengambil sikap.
Langkah yang kemudian Ahmad Dahlan ambil adalah mengajak dialog. Caranya, pada 1898, beliau mengundang sejumlah ulama di Yogyakarta untuk membicarakan tentang arah kiblat yang benar.
Diskusi mengenai arah kiblat lalu berlangsung. Meski yang hadir banyak mendapat pencerahan lewat penjelasan Ahmad Dahlan, pro dan kontra dalam forum itu terjadi. Alhasil, pertemuan saat itu tak membuahkan kesepakatan.
Ahmad Dahlan lalu membawa masalah arah kiblat tersebut ke Kepala Penghulu Keraton yang waktu itu dijabat KH Muhammad Chalil Kamaludiningrat. Saat itu, Pak Penghulu tak memberi restu atas pemikiran Ahmad Dahlan.
Atas perkembangan itu, Ahmad Dahlan makin gelisah. Pertama, sebagai orang yang memiliki ilmunya, beliau sangat tahu bahwa garis shaf di masjid-masjid itu tidak benar arahnya. Arah shalat di berbagai masjid itu salah.
Kedua, bagi Ahmad Dahlan, di antara ajaran pokok Islam ada pada ayat ini: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imraan: 104).
Selanjutnya, di sebuah malam, bersama beberapa orang yang sepaham dengan pemikirannya, Ahmad Dahlan diam-diam membuat garis shaf putih di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta yang disesuaikan ke arah kiblat yang benar.
Tentu saja, langkah itu membuat heboh masyarakat. Lalu, setelah kejadian itu, Ahmad Dahlan harus menerima resiko. Beliau diberhentikan sebagai Khatib Amin di Masjid Gedhe/Masjid Agung Yogyakarta itu (Herry Mohammad dkk, 2008: 9).
Surau Dirobohkan
Masih terkait masalah pengubahan garis shaf di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat dari Kraton Yogyakarta memerintahkan agar langgar yang dibangun Kiai Dahlan dan yang garis shaf-nya sudah benar, untuk dirobohkan. Hal itu terlaksana di sebuah malam, di bulan Ramadhan.
Memang, Ahmad Dahlan telah merealisasikan keyakinannya tentang arah kiblat yang benar itu di langgar milik keluarganya. Di langgar itu, yang lokasinya tak jauh dari Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, garis shaf-nya disesuaikan dengan arah kiblat yang tepat serta tentu saja berbeda dengan yang di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.
Atas pembongkaran langgar miliknya, Ahmad Dahlan sangat sedih dan kecewa berat. Lalu, secara diam-diam beliau bersama sang istri melangkah pergi menuju Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta, meski belum punya tujuan akan ke mana.
Tahu tentang hal itu, Kiai Saleh, kakak ipar Kiai Dahlan, bergegas menyusul kedua pasangan suami-istri itu. Setelah bertemu, Kiai Saleh meminta Kiai Dahlan untuk mengurungkan niatnya pergi.
“Untuk apa lagi aku tetap berda di Yogyakarta,” jawab Kiai Dahlan.
“Atas nama seluruh keluarga, aku melarangmu pergi. Engkau mesti pulang Dahlan,” bujuk Kiai Saleh.
“Langgarku sudah tak ada lagi,” kata Kiai Dahlan.
“Kita dirikan langgar yang baru,” tegas Kiai Saleh.
Setelah berdialog dengan kakak iparnya itu, Kiai Dahlan lalu mengurungkan niatnya. Beliau tak jadi untuk meninggalkan Yogyakarta (Munir Mulkhan, 2010: h. 185-186).
Dakwah ke Raja
Suatu saat, ada masalah di Yogyakarta. Di sebuah tahun, acara Grebeg Kraton Yogyakarta menurut hitungan tahun Jawa jatuh satu hari sesudah hari raya menurut hisab.
Atas hal itu, Kiai Ahmad Dahlan—yang seorang khatib di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta—meminta menghadap Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Tujuannya, untuk menyampaikan usulan tentang perlunya memajukan acara Grebeg tersebut, agar sama dengan tradisi tahun-tahun sebelumnya.
Singkat kisah, di tengah malam, dengan diantar Kanjeng Kiai Penghulu, Kiai Dahlan diterima Sang Raja. Beliau diterima di sebuah ruangan, tanpa diterangi lampu. Sang Raja, dengan seksama lalu mendengarkan penjelasan atas apa yang menjadi gagasan Kiai Ahmad Dahlan.
Setelah Kiai Dahlan selesai menguraikan gagasannya, Sang Raja lalu berkata bahwa acara Grebeg tetap dilaksanakan sesuai tradisi Jawa dan Kiai Ahmad Dahlan dipersilakan menyelenggarakan shalat Hari Raya sehari lebih dahulu sesuai dengan Islam.
Sesaat setelah Sang Raja selesai memutuskan hal penting itu, lampu di ruangan tempat mereka berbicara, lalu dinyalakan. Kai Dahlan terkejut, karena ternyata sedari tadi Sang Raja didampingi para pangeran dan pejabat kerajaan lainnya.
Melihat gelagat bahwa Ahmad Dahlan terkejut dengan situasi yang tak diduganya itu, Sang Raja lalu menjelaskan. Dikatakan oleh beliau, bahwa pemadaman lampu sengaja dilakukan agar Ahmad Dahlan-sang tamu-tidak merasa kikuk ketika menyampaikan pandangannya kepada raja.
Masalah berakhir indah. Shalat Hari Raya-pun dilangsungkan sehari lebih awal dari acara Grebeg. Sementara, Grebeg berlangsung esok harinya (Munir Mulkhan, 2010: h.192-193).
Jejak di Organisasi
Spirit perjuangan Ahmad Dahlan adalah amar makruf nahi mungkar. Pertama, beliau tak mundur atas risiko perjuangan bernahi munkar yang mungkin timbul. Jika di antara jejak hidupnya ada yang seperti hendak akan meninggalkan gelanggang dakwah, itu manusiawi.
Terlebih lagi, langkah itu segera dikoreksinya. Kedua, beliau dalam beramar makruf nahi munkar, berani berhadapan dengan siapa saja termasuk dengan raja.
Siprit amar makruf nahi mungkar itu lalu juga menjadi identitas dan bahkan ruh Muhammadiyah, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912.
Di pasal 4 ayat 1 Anggaran Dasar-nya, ditetapkan identitasnya, bahwa: “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Mungkar dan Tajdid, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah”.
Muhammadiyah didirikan dengan niat untuk berdakwah dengan prinsip amar makruf nahi mungkar. Oleh karena itu, pemahaman makna amar makruf dan nahi munkar wajib ditanamkan kepada warganya.
Kecuali di al-Quran, pijakan aktivitas amar makruf nahi munkar juga banyak terdapat dalam Hadits.
Disebutkan, bahwa amar makruf nahi mungkar adalah perwujudan nyata dari keimanan. Misal, cermati hadits ini, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemunkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaklah dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hati, dan itu selamah-lemahnya iman” (HR Muslim).
Berhati-hatilah, keengganan kita dalam menegakkan amar makruf nahi munkar memiliki konsekuensi yang tidak ringan. Resikonya, bisa menjadi sebab jatuhnya murka Allah pada masyarakat secara umum. Cermatilah hadits ini: “Sungguh manusia bila mereka menyaksikan orang zalim namun tidak menghentikannya, dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan hukuman-Nya pada mereka semua“ (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Jadi, mari teladani Rasulullah Saw dengan mengamalkan sunnahnya. Mari ikuti langkah dakwah Ahmad Dahlan dalam beramar makruf nahi munkar, meski banyak ujian dalam menjalaninya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel Ujian Dakwah KH Ahmad Dahlan ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 5 Tahun ke-XXV, 2 Oktober 2020/15 Safar 1442 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.