Udun Makar Abu Nawas oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur
PWMU.CO-Suatu hari, kelompok politikus Istana bertemu Abu Nawas. Lalu mereka memberikan tantangan berbahaya kepada Abu Nawas yang dikenal sebagai orang dekat presiden.
”Abu Nawas kamu dikenal cerdik. Kali ini kami punya tantangan yang sulit bagimu lolos dari hukuman penghinaan pejabat negara,” ujar para politikus.
”Ana hanya takut kepada Allah. Selama berpegang pada al-Quran dan sunnah semua beres. Apa tantangan ente?” jawab Abu Nawas santai.
”Apakah kamu berani memantati muka Yang Mulia Presiden di depan umum dan tidak tersinggung ?”
”Kalau ana berani dan berhasil apa taruhannya?”
”Seratus juta rupiah!”
”Hah? Uang suap saja sudah di atas dua miliar. Nyawaku kamu hargai segitu? Saya minta Rp 10 miliar bayar di muka. Deal?”
Ganti para politikus ciut nyali dengan harga taruhan. Heran, Abu Nawas kok langsung berani. Tapi mereka telanjur menantang, malu muka kalau mundur balik ke belakang. Mereka urunan sehingga terkumpul Rp 10 miliar. Mereka penasaran siasat apa yang diperagakan orang dekat presiden ini.
”OK. Deal!!!” jawab Abu Nawas. ”Nantikan di acara istana pekan depan. Kalian pasti diundang,” sambungnya.
Cara yang Mengejutkan
Sepekan kemudian digelar acara jamuan makan di istana. Semua pejabat menteri, politikus, dan penegak hukum diundang. Saat acara dimulai kelompok politikus tidak melihat batang hidung Abu Nawas. ”Jangan-jangan Abu Nawas mangkir,” kata mereka berbisik-bisik curiga. ”Sudah lari jauh membawa uang Rp 10 miliar ke Kolombia,” kata lainnya.
Tiba-tiba muncul Abu Nawas dari pintu masuk. Semua mata hadirin tertuju kepadanya termasuk Yang Mulia Presiden. Abu Nawas tetap saja berdiri, tidak segera duduk di kursi. Maka Yang Mulia Presiden memanggilnya dan menyuruh duduk.
”Maaf Yang Mulia, saya tidak bisa duduk,” jawab Abu Nawas.
”Kenapa? Kita ini sederajat. Rakyat dan pejabat boleh duduk di kursi istana,” kata presiden.
”Saya tahu, Yang Mulia. Tapi hari ini saya punya udun besar sekali,” jawab Abu Nawas. ”Saking besarnya sampai saya buatkan kantung sendiri,” katanya lagi.
”Coba lihat udunmu,” ujar presiden.
Abu Nawas pun balik badan dan menungging di depan presiden. Presiden dan hadirin tertawa melihat benjolan besar di pantat Abu Nawas dengan modifikasi celana berkantung tempat udun.
”Ini namanya udun makar,” celutuk presiden tertawa. Semua hadirin juga tertawa termasuk para politikus yang kalah taruhan. Abu Nawas menyeringai menang.
Komunikasi Politik
Seandainya para pejabat banyak akal seperti Abu Nawas mungkin kegaduhan di negeri ini segera hilang. Berganti gelak tawa menyenangkan.
Belakangan ini situasi negeri seperti anglo arang penjual mi klunthung. Panas terus karena ada yang mengipasi. Apinya kadang mletik mengenai muka. Ada kebuntuan komunikasi politik sehingga memunculkan udun atau bisul yang siap-siap njebrot. Kondisi orang udunen itu tidak enak. Duduk gak bisa. Dipegang sakit. Apalagi ditekan. Bisa teriak-teriak.
Gambaran itu seperti ketegangan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah yang menyusun RUU seperti terburu-buru ingin DPR segera mengesahkan karena sudah setahun diserahkan. Padahal Omnibus Law ini memuat 79 UU dengan 11 klaster bahasan.
Membahas satu RUU saja bisa menghabiskan waktu setahun. Lha ini ada 79 UU. Bayangkan. DPR ternyata nurut saja kemauan pemerintah hingga lembur sampai akhirnya UU disahkan tengah malam. Itu pun meninggalkan pertanyaan kok ada tiga naskah yang beda halaman. Jangan salahkan rakyat curiga Omnibus Law memang bermasalah.
Tak pelak rakyat curiga pengesahan UU tengah malam ini. Pasti ada apa-apanya. Sebab rakyat sudah belajar dari pengalaman KPU mengumumkan hasil Pilpres juga tengah malam yang hasil penghitungannya pantas dicurigai.
Ketakpercayaan Rakyat
Kecurigaan itu memperburuk komunikasi. Sebab itu menandakan ketakpercayaan. Yang sedang terjadi di negara ini adalah saling curiga. Pemerintah mencurigai rakyatnya mau mendongkel kekuasaan. Rakyat mencurigai pemerintah menyelewengkan kekuasaan.
Itu terbaca dari sikap dan pernyataan pejabat serta membaca pernyataan rakyat di media sosial yang mengkritik pemerintah. Ada rakyat mengingatkan bahaya bangkitnya komunis dituduh komunistofobia. Dibilang komunis sudah mati, tidak bisa bangkit lagi.
Tapi rakyat melihat gejala ada kelompok yang suka melecehkan agama, merendahkan ulama, membanjirnya orang-orang Cina, munculnya lambang komunis.
Apa pun yang diucapkan meskipun baik menjadi curiga karena sudah ada prasangka. Salah komunikasi ini jika diteruskan menjadikan negara menjurus berbahaya. Pertikaian antar rakyat, pejabat dengan rakyat, bila meluas menjadikan negara pecah.
Mengkritik pemerintah dituduh makar. Padahal dulu sekali presiden pernah berkata suka dikritik, boleh demonstrasi, untuk mengingatkan pemerintah. Malah demonstran dipersilakan masuk kantornya, disuguhi makanan. La kok sekarang malah kabur melihat kandang bebek.
Ketidakpuasan rakyat harus dijawab pemerintah dengan bijak. Perlu menyamakan makna dan simbol bahasa yang dipakai sehingga memahami masalah dengan persepsi yang sama. Jangan serahkan urusan komunikasi kepada buzzer. Atau asal main tangkap. Kalau dibiarkan rakyat bisa pura-pura udunen seperti Abu Nawas lalu menungging ke istana. (*)
Editor Sugeng Purwanto