Pilpres AS, Joe Biden Menangi Poll, Trump Cari Nasib Mujur oleh Ahmad Cholis Hamzah pemerhati masalah-masalah internasional, dosen STIE Perbanas Surabaya.
PWMU.CO– Pilpres AS yang akan berlangsung 3 November 2020 menarik perhatian dunia. Apalagi isu-isu politik yang berkembang selama masa kampanye di negara the strongest nation on earth ini.
Meskipun banyak pengamat berpendapat peran Amerika Serikat di dunia mulai menurun dengan meningkatnya peran Cina dan Rusia di konstelasi percaturan politik internasional, tetap saja siapa yang terpilih di antara incumbent Donald Trump dan penantangnya Joe Biden menjadi presiden akan sangat berpengaruh di percaturan politik dan ekonomi global.
Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres), masyarakat negara adidaya itu terbelah antara Kami dan Mereka. Antara kulit putih dan kulit berwarna. Pengotak-kotakan itu malah meningkat karena Presiden Donald Trump dari Partai Republik yang rasis, membela supremasi kulit putih.
Perasaan-perbedaan ras bertambah setelah kematian laki-laki kulit hitam George Floyd yang mati kesulitan bernafas akibat lehernya ditekan dengkul polisi yang menangkapnya.
Kejadian ini dianggap tindakan tidak adil polisi terhadap masyarakat kulit hitam. Demonstrasi meledak kemana-mana hingga menginspirasi masyarakat negara-negara Eropa menentang ketidakadilan ras. Demonstrasi terus berlanjut setelah ada lagi seorang kulit hitam yang ditembak tujuh kali oleh polisi di Wisconsin.
Trump Tetap Rasis
Trump dalam kampanye mengeluarkan pernyataan bernada rasis ketika meragukan keamerikaan Kamala Devi Harris, kandidat Wakil Presidennya Joe Biden dari Partai Demokrat. Kamala Harris yang lahir di California ini keturunan India.
Presiden Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih mengatakan, Kamala Harris tidak berhak menjadi wakil presiden sebab orang tuanya imigran. Pernyataan rasis ini mendapat kritik tajam dari banyak pihak.
Dia secara halus melakukan serangannya terhadap Kamala Harris dengan mengatakan, ”I have no idea if that’s right, I would’ve – I would have assumed the Democrats would have checked that out before she gets chosen to run for vice president. That’s very serious”.
(Saya tidak tahu apakah itu benar, saya akan – saya akan berasumsi bahwa Demokrat akan memeriksanya sebelum dia terpilih untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Itu sangat serius.)
Sikap rasis Trump itu sudah dia tunjukkan waktu kampanye Pilpres 2016. Waktu itu lawannya dari Partai Demokrat Hillary Clinton. Tapi Trump juga menyerang Presiden Obama dengan menanyakan Akta Kelahirannya, karena dia meragukan Obama bukan Amerika tulen. Bahkan meragukan agama Obama bukan agama mayoritas rakyat Amerika Serikat.
Suka Berbohong
Pernyataan-pernyataan Presiden Trump seringkali tidak in line dengan prinsip-prinsip komunikasi publik yang baik. Para pengkritiknya mengatakan, Trump disebut sering berbohong.
Dalam Pilpres Amerika Serikat terjadi perang menjelekkan antara calon dan pendukungnya. Keburukan masa lalu dipakai menyerang lawan politiknya.
Misalkan, baru-baru ini wartawan senior Amerika Serikat Bob Woodward menerbitkan buku berjudul Rage yang membongkar sikap Trump menyembunyikan fakta tentang bahayanya corona.
Woodward menceritakan, pada awal munculnya pandemi covid-19, saat wawancara Trump mengatakan, dia tahu virus corona ini berbahaya dan mematikan. Lebih mematikan dibandingkan dengan virus flu. Namun dalam setiap pidatonya Trump mengecilkan bahaya corona. Padahal kenyataannya jumlah kematian akibat covid-19 di AS sudah mencapai lebih 200.000 orang.
Trump juga pernah mengatakan tidak mau berziarah ke Makam Pahlawan Amerika di dekat Paris, Perancis, saat berkunjung tahun 2018. Dia berpendapat orang yang dimakamkan di situ adalah jenazah para tentara pecundang dan 1.800 marinir AS yang mati sebagai suckers.
Trump bahkan menuduh para jenderal tentara AS lebih suka perang karena menguntungkan pabrik senjata AS. Untungnya tentara AS tidak boleh berpolitik sehingga pernyataan-pernyataan Trump seperti itu hanya direspon dengan pernyataan balik yang keras.
Bayangkan kalau pernyataan yang menjelekkan tentara dan jenderal di negara-negara berkembang atau miskin, tentu Trump akan digulingkan oleh pihak militer.
Pilpres Terburuk
Ada banyak pendapat di masyarakat AS mengatakan, Pilpres saat ini terburuk sepanjang sejarah. Sebab publik disuguhi perdebatan-perdebatan yang mengarah pada character assassination atau pembunuhan karakter.
Kedua calon presiden menyerang satu sama lain dengan menunjuk kelemahan karakter mereka dan menyebabkan masyarakatnya terbelah berdasarkan etnis.
Berbeda dengan kampanye Pilpres AS sebelum-sebelumnya yang lebih bermutu. Kedua kandidat presiden dan wapres mampu menampilkan perdebatan intelek tentang isu-isu penting dalam negeri maupun luar negeri.
Isu-isu seperti pajak, pendidikan, atau kesehatan ditampilkan dengan cara yang rasional di setiap perdebatan dalam kampanye. Pemilih juga disodori sikap AS sebagai negara adidaya dalam menyelesaikan konflik global.
Pilpres AS tahun ini ibarat menonton pertandingan sepakbola. Hasil akhirnya sulit ditebak siapa pemenangnya. Kesebelasan yang kuat pun belum tentu menang. Dalam Pilpres kali ini agak sulit mengatakan, calon yang elektabilitasnya tinggi bakal memenangi pertandingan.
Joe Biden dalam polling mengungguli Trump yang pamornya kian menurun. Saya ingat ketika menyaksikan sendiri Pilpres AS bulan November tahun 2016. Berkeliling ke beberapa negara bagian, waktu itu Hillary Clinton unggul dalam polling dibandingkan Trump.
Tapi di injury time, Trump mampu membalikkan keadaan dan dia menang. Apakah pada Pilpres November 2020 ini kejadian seperti itu terulang. Walluhualam. Bola itu bundar kalau di sepakbola. Di Pilpres pun, angka suara bisa melambung, lantas berubah tiba-tiba. (*)
Editor Sugeng Purwanto