Ancaman Gender Ketiga, Lebih Berbahaya dari Komunisme, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Manusia normal hanya mengenal dua jenis gender, yaitu pria dan wanita. Tetapi, beberapa waktu belakangan ini muncul fenomena baru yang disebut sebagai gender ketiga.
Gender ketiga adalah gender antara pria dan wanita atau trans-gender. Seorang pria berubah identitas gender menjadi wanita dan sebaliknya.
Masyarakat awam menyebut transgender sebagai banci, wadam, atau waria. Istilah wadam atau “Wanita Adam” pernah populer sekitar 1980-an, tapi sekarang sudah tidak dipakai lagi karena dianggap melecehkan nama nabi.
Kemudian muncul istilah “waria” atau wanita-pria, yang sebagai istilah yang “lebih tepat”. Tetapi, istilah itu pun belakangan dihapus karena dianggap melecehkan dan diskriminatif. Lalu muncullah istilah transgender.
Di kalangan komunitas jamaah Ampel transgender disebut “mahnut”, atau dekhul bil wara’ alias tabrak dari belakang.
Wanita yang melakukan praktik prostitusi disebut sebagai pelacur atau wanita tunasusila (WTS). Tapi belakangan istilah itu tidak dipakai lagi dan malah dianggap tabu.
Sebagai gantinya muncul istilah “pekerja seks komersial” (PSK), yang mengesankan prostitusi sebagai jenis pekerjaan sebagaimana pekerjaan lainnya. Karena itu pelakunya tidak bisa dituntut secara pidana.
Beberapa waktu belakangan ini heboh fenomena praktik di gay (hubungan sesama jenis pria) di lingkungan TNI dan Polri. Dua orang prajurit TNI dipecat dan dihukum karena melakukan hubungan sejenis.
Di lingkungan Polri seorang jenderal bintang satu diperiksa karena dugaan praktik hubungan sejenis. Diperkirakan sudah ada kumpulan terselubung pelaku hubungan sejenis di lingkungan TNI-Polri.
Hal ini bisa menjadi semacam fenomena gunung es. Praktik hubungan sejenis sudah masuk ke instusi TNI Polri. Tidak mustahil praktik itu terjadi di institusi-institusi yang lain.
Di Kota Malang komunitas ini ngeber alias berkumpul di kawasan Jalan Gajah Mada, Sultan Agung, Untung Suropati, Sunandar Priyo Sudarmo, Kahuripan dan di area sekitar Velodrome.
Tempat Ngeber di Surabaya
Di Surabaya banyak tempat-tempat ngeber yang populer di kalangan LGBT dan diberi nama yang unik seperti Pattaya, Texas, California, dan Istanbul.
Fenomena LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) menjadi marak di Indonesia sejak 1990-an. Awalnya masih malu-malu dan tertutup, tapi sekarang sudah mulai berani lebih terbuka.
Pattaya—sebuah pantai di Thailand—adalah tempat ngeber kelompok gay di sepanjang sungai di dekat Plasa Surabaya. Sementara di jembatan sekitar Monkasel (Monumen Kapal Selam) disebut sebagai Kalfor atau California karena letaknya di pinggiran kali.
Texas—identik dengan cowboy Amerika—adalah tempat ngeber di seberang terminal Joyoboyo di sekitar patung perjuangan bersenjata.
Para gay ini disebut sebagai “kucing” dan mencari mangsa lelaki penggemar sejenis dengan tarif murah-meriah dari Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu.
Komunitas ngeber paling populer dan paling banyak dikunjungi LGBT Surabaya adalah Taman Bungkul yang mereka namakan Istanbul atau Istana Taman Bungkul. Di tempat ini puluhan LGBT berbaur jadi satu dengan warga yang mengunjungi taman.
Beberapa lokasi lain yang menjadi tempat ngeber kelas bawah ada di sekitar bundaran Waru, di bawah lintasan tol Gunungsari, di area makam Kembang Kuning.
Di berbagai kota besar dan kecil komunitas LGBT bermunculan terang-terangan maupun tersembunyi. Di Jakarta tidak terhitung berapa kali polisi menggerebek pesta kelompok gay.
Di kota kecil seperti Sukabumi kelompok LSL—Lelaki Suka Lelaki—mencapai empat ribu orang. Mereka membuat situs medsos yang beranggotakan ribuan.
Gender Ketiga Global
Secara formal Indonesia hanya mengakui dua gender pria dan wanita. Tapi beberapa negara di dunia sudah mengakui dan mengakomodasi gender ketiga. Australia secara resmi mengakui gender ketiga dan bahkan ada anggota parlemen transgender.
Negara Asia yang mengakui gender ketiga adalah Nepal dan India. Di negara-negara itu pernikahan sesama jenis diakui dan disahkan oleh negara.
Di Amerika, Pete Buttigief, walikota gay dari South Bend, Indiana, berani mencalonkan diri sebagai presiden pada pilpres 2020 ini. Buttigieg gagal mendapatkan rekom dari Partai Republik.
Fenomena LGBT akan menjadi ancaman serius di Indonesia karena gerakan ini sudah menjadi gerakan internasional yang didukung secara terbuka dan didanai oleh perusahaan multinasional dunia.
Gerai kopi terbesar di dunia, Starbucks, secara terbuka menyatakan dukungan terhadap LGBT dan pernikahan sejenis. Perusahaan multinasional raksasa yang mendukung LGBT adalah Coca-Cola, Facebook, Nike, Adidas, Google, Pepsi, Apple, Toyota, Honda, Oreo, Microsoft, Unilever, dan banyak lagi yang lainnya.
Monster Ganas
Beberapa waktu belakangan ini beberapa kalangan, terutama Islam, bereaksi keras terhadap sinyalemen kebangkitan komunisme di Indonesia. Komunisme menjadi momok karena pengkhianatan dan kekejamannya di masa lalu.
LGBT bukan sekadar momok tapi monster yang ganas. Kalau kita terlambat mengantisipasi maka agama, moral, karakter, dan identitas bangsa Indonesia akan jadi pertaruhan.
Komunisme adalah bagian dari ancaman zaman old. Tapi LGBT adalah ancaman zaman now. Negara-negara pendukung komunisme sudah pada bangkrut. Uni Soviet bubar pada 1990, dan China menjadi negara dua kelamin, komunis sekaligus kapitalis.
LGBT didukung oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Bendera pelangi, logo LGBT, berkibar di mana-mana. Juni 2020 Mahkamah Agung Amerika sudah membuat keputusan yang melarang pemecatan dan diskriminasi terhadap praktisi LGBT di tempat kerja maupun di institusi.
Ini merupakan kemenangan besar yang disambut dengan suka cita oleh kalangan LGBT di Amerika dan seluruh dunia.
Departemen Pertahanan Amerika, Pentagon, menyusuli keputusan itu dengan mencabut peraturan yang melarang gay menjadi tentara.
Tidak banyak lagi negara di dunia yang mendukung komunisme. Tapi LGBT mendapatkan dukungan luas dari negara-negara kuat di Eropa, Amerika, dan sekutu-sekutunya.
Tidak akan lama lagi pemerintah Indonesia akan mendapat tekanan yang lebih besar untuk mengakomodasi LGBT. Sekarang ini gerakan itu menjadi klandestin yang bergerak secara diam-diam tetapi masif.
Gerakan ini mempunyai jaringan global dan dukungan dana yang sangat besar dari banyak sekali perusahaan multinasional.
Masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk membendung pengaruh LGBT. Masyarakat harus menggunakan kekuatannya untuk memboikot produk-produk perusahaan multinasional pendukung LGBT.
Tidak usah ngopi di Starbucks. Jangan pakai produk Nike dan Adidas. Jangan minum Coca Cola dan Pepsi. Jangan pakai Honda dan Toyota. Jangan makan Oreo. Hentikan pakai produk Apple dan Microsoft.
Mulai sekarang jangan beli produk Unilever, dan berhentilah main Facebook. Nah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.