Kisah Abu Nawas Tolak Jadi Aparat Hukum oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO-Ini kisah Abu Nawas. Di zaman Kesultanan Abbasiyah di Baghdad dahulu kala. Suatu saat jabatan kepala qadi kosong sejak kematian pejabatnya, Syaikh Maulana. Sultan Harun Al Rasyid sudah meminta nama-nama nominator hakim senior yang layak diangkat.
Tapi anehnya keputusan malah jatuh kepada anak Syaikh Maulana yakni Abu Nawas yang bukan hakim tapi dikenal menguasai segala ilmu kebijakan. Maka jadilah Abu Nawas calon tunggal qadi. Tentu saja keputusan itu membuat dengki para hakim senior.
Abu Nawas cemas mendengar SK Sultan itu. Apalagi intrik panas mulai berhembus. Gosip soal kolusi dan nepotisme disorot dalam pengisian jabatan di institusi hukum itu. Harta kekayaannya ada yang mengusut. Maka Abu Nawas mulai tersenyum dan tertawa sendiri setelah mendapat undangan fit and proper test dari istana.
Dia keluar rumah. Mengambil pelepah daun kurma yang jatuh di halaman. Kemudian dia tunggangi pelepah itu selayaknya naik keledai sambil berkeliling kampung. Anak-anak pun bersorak-sorai menyanyikan lagu kuda lumping mengiringi di belakangnya. Hari itu tersiar kabar, Abu Nawas otaknya tak waras. Gosip pun makin keras berhembus. Apa mungkin orang tak waras menjabat qadi?
Pasal Penghinaan
Sultan Harun Al Rasyid tidak percaya gosip itu. Sebab Abu Nawas memang penuh gosip, intrik, dan kontroversial. Maka dia perintahkan prajuritnya untuk memanggil Abu Nawas. Kalau perlu tangkap dia agar datang ke istana. Abu Nawas dengan terpaksa akhirnya datang bertemu sultan. Dia masih suka tersenyum dan tertawa sendiri.
”Kamu menolak undangan sultan. Tahukah kamu bahwa ini suatu penghinaan?” kata Sultan.
”Saya sudah tahu!” jawab Abu Nawas.
”Tahu apa?” sergah Sultan lagi.
”Saya tahu bahwa terasi itu berasal dari udang,” jawab Abu Nawas ngelantur.
Sultan naik pitam dengan jawaban Abu Nawas yang gak nyambung ini. ”Ini pelecehan di depan sultan, kamu tahu?”
”Kan saya benar. Menurut Anda, apa udang itu berasal dari terasi?”
Sultan murka. Merasa terhina dengan ucapan ini. Pasal UU ITE pun berlaku. Dia memerintahkan prajuritnya untuk menghukum Abu Nawas dengan 25 kali cambukan hari itu juga.
Aparat Minta Tips
Setelah menerima cambukan di punggung yang menyakitkan itu, Abu Nawas pulang. Di pintu gerbang istana, dia dihadang penjaga yang suka meminta tips.
Kali ini Abu Nawas dengan senang hati memberikan semua hadiah dari sultan yang diterima hari ini. Maka diambilnya tongkat kayu lalu dipukulkan ke punggung penjaga itu sebanyak 25 kali. Penjaga itu pun kelenger ditinggalkan Abu Nawas.
Ternyata penjaga itu melaporkan pemukulan itu kepada sultan. Maka Abu Nawas pun diadili. Tetap dengan gaya tertawa sendiri, Abu Nawas berkata,”Penjaga itu selalu meminta jatah hadiah yang diberikan sultan. Hari itu dia minta juga padahal saya mendapat hadiah 25 kali cambukan. Maka saya beri dia 25 cambukan. Apakah saya salah?”
Sultan terbahak-bahak mendengar pembelaan itu. Dia makin tahu bahwa pejabatnya suka malak dan minta suap. Abu Nawas dibebaskan dari tuduhan. Sebaliknya penjaga itu dipecat. Tapi Sultan tetap meminta Abu Nawas segera dilantik jadi qadi menggantikan bapaknya. Tidak mungkin Sultan membatalkan SK. Sebab sabda pandito ratu itu adalah hukum.
Mendadak Kumat Gila
Mendapat tekanan itu, Abu Nawas kumat gilanya lagi. Kali ini dia mengundang orkes dangdut di kuburan bapaknya. Bernyanyi dan berpesta di situ. Masyarakat heboh. Gosip mendidih. Calon qadi penyakit gilanya makin tinggi. Ada yang jatuh kasihan karena menduga Abu Nawas stress ditinggal mati bapaknya.
Intrik makin memanas. Pejabat istana berkumpul untuk mendesak sultan agar membatalkan pengangkatan Abu Nawas menjadi qadi. Sultan pun terpaksa menuruti dengan memilih satu di antara hakim senior lalu melantiknya. Mendengar berita ada pengangkatan qadi baru, Abu Nawas mendadak sembuh total. Otaknya waras lagi.
Tetangga dekatnya pun bertanya, kenapa Abu Nawas membuang kesempatan menjadi qadi dengan pura-pura gila? Abu Nawas bercerita, dia dipanggil bapaknya menjelang kematiannya. Dimintanya dia mencium telinga bapaknya. Abu Nawas mendapati telinga kanan berbau harum sedangkan telinga kiri bau busuk.
”Itulah susahnya menjadi penegak hukum. Saya berusaha berlaku adil sehingga telinga kanan saya harum, tapi masih ada saja ketidakadilan tanpa sengaja saya buat sehingga membuat telinga kiri berbau busuk,” ujar Abu Nawas menirukan kata bapaknya.
”Karena itulah saya tidak mau menjadi qadi karena saya khawatir dua telinga saya berbau busuk semua,” ujar Abu Nawas.
Tuntut Keadilan
Nah, sekarang di dunia nyata, seandainya saja aparat penegak hukum berpikiran seperti Abu Nawas yang khawatir dengan bau busuk kedua telinganya, maka hidup nyamanlah rakyat. Karena hukum melindungi masyarakat.
Tapi kadang harapan tak sesuai dengan kenyataan. Kalau mau jadi oposan harus pikir-pikir. Hanya yang punya nyali besar berani melakukannya. Sebab bersuara kritis bisa ditangkap. Bisa kena pasal makar atau ujaran kebencian.
Sayangnya pasal itu tak berlaku merata pada semua orang. Ada orang yang berujar kebencian tetap dibiarkan. Ada kelompok bikin demo tandingan tak pernah kena semprit padahal tindakan dan omongannya menghina dan persekusi orang lain. Sepertinya orang-orang kayak begini malah dipiara.
Maka keadilan menjadi barang langka. Harus bersusah payah untuk mendapatkannya. Bahkan menuntut keadilan pun bisa berujung masalah. Seperti demonstrasi UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Dituduh termakan hoax. Dipikir rakyat tak bisa membaca. Padahal tuntutannya dengarlah suara yang keberatan dengan pasal-pasal yang membelenggu hak rakyat.
Atau jangan-jangan mereka sudah tidak punya telinga sehingga tak mendengar suara. Oh, pantas saja mereka tak seperti kisah Abu Nawas yang ketakutan dengan bau busuk telinganya. (*)
Editor Sugeng Purwanto