PWMU.CO – Mulai Hujan, Awas Kufur Nikmat. Hujan yang dirindukan mulai bertandang. Semalam di tempat saya—daerah Gresik—sudah turun hujan meski tidak deras. Tapi airnya cukup untuk merasakan bau khas tanah yang tersapu hujan kali pertama.
Tapi awas, jangan di kemudian hari kedatangan hujan dibenci keajekannya karena kita tak lagi rindu tentang dia. Hujan adalah rahmat Tuhan, mari berdoa dan bersyukur saat tercurah hujan dari langit. Dan jangan benci jika hujan turun terus-menerus.
Sapaan Langit
Hujan—seperti juga sinar mentari—adalah sapaan langit pada makhluk bumi. Langit adalah simbol sakral (suci) dan bumi sebagai yang profan (materi). Jika yang di langit turun ke bumi, seperti hujan, patut disyukuri.
Maka, sebaiknya tidak kita tutup sepenuhya rumah dari sapaan langit. Biarkan sinar mentari menelusup dan air membasuh rumah.
Dan rasakan “belaian” Tuhan melalui utusan langit berupa air hujan atau sinar mentari yang menyapa langsung di rumah kita. Subhanallah.
Alaminya rumah yang cukup sinar mentari dan basuhan air hujan. Nikmati sinarnya dan gemericiknya; hangat dan segar. Dan itu tak harus mewah.
Mengapa Banjir
Hujan malam ini cukup untuk menyapu debu yang riuh berterbangan. Semoga hujan esok dan esoknya lagi cukup untuk mengisi rongga kering sumur-sumur.
Sumur-sumur debit airnya jauh menurun saat tiada hujan. Keseimbangan ekologi sudah sangat terganggu. Tapi banyak yang tak menyadarinya.
Jika musim hujan tiba, air tumpah. Meluber ke mana-mana. Tak banyak lagi akar pohon yang menahannya. Juga lahan kosong yang menampungnya.
Kita memperebutkan lahan kosong, memangkas pohon-pohonnya lalu membetonnya. Kita tak mempersilakan air hujan mampir, sejenak pun.
Sementara sumber air tanah kita manfaatkan nyaris tanpa batas. Jet-pump beroperasi tanpa kendali. Air tanah dikuras, air hujan dibuang.
Jadi, ini bukan anomali iklim: jika kemarau kekeringan, jika musim hujan banjir. Ini adalah ulah rekayasa kita pada pohon dan tanah kosong.
Kita maunya serba rapi dan bersih. Enggan rimbun oleh pohon. Malas becek oleh lumpur. Akhirnya pohon kita tebang. Tanah kita beton. Lalu hujan menjadi bencana. Awas! (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni