PWMU.CO– Berdiri i’tidal tangan bersedekap atau lurus sebenarnya dalil haditsnya sama. Hanya penafsirannya yang berbeda. Hadits Abu Hamid as-Sa’idy yang diriwayatkan Imam at-Turmudzi menyebutkan
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلَّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدَلاً. (رواه الترمذي)
Pernah Rasulullah saw apabila berdiri shalat, kemudian beliau berkata (membaca) sami’allaahu li man hamidah dan beliau mengangkat dua tangannya dan berdiri tegak hingga tiap-tiap anggotanya kembali mengambil tempat masing-masing dengan lurus. [HR. at-Tirmizi]
Disebutkan oleh pengarang kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr Wahbah az-Zuhaili, Juz I halaman 658:
وَقَالَ أَبُو يُوسُفُ وَاْلأَئِمَّةُ اْلآخرُونَ: الرَّفْعُ مِنَ الرُّكُوعِ وَاْلاِعْتِدَالِ قَائِمًا مُطْمَئِنًا رَكْنٌ أَوْ فَرْضٌ فِي الصَّلاَةِ وَهَوَانٌ يَعُودُ إِلَي اْلهَيْئَةِ الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا قَبْلَ الرُّكُوعِ …
Abu Yusuf dan para imam (ahli fiqh) yang lain berkata: Bangun/bangkit dari ruku’ dan i’tidal dalam keadaan berdiri penuh tuma’ninah, baik itu rukun atau fardlu shalat, yaitu ia kembali kepada keadaan semula sebelum ruku’.
Dari kedua kutipan di atas, kami cenderung berkesimpulan bahwa pada waktu i’tidal tidak dengan bersedekap, tetapi tangannya lurus ke bawah.
Beda Tafsir
Mengenai hadits Wa’il bin Hajar al-Hadlrami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan disahihkannya dikutip dari kitab as-Sunan al-Mahjurah (sunah-sunah yang ditinggalkan/dibiarkan) karangan dari Anis bin Ahmad bin Thahir itu dapat kami informasikan sebagai berikut
1. Perkataan وَوَضَعَ كَفَّيْهِ (meletakkan kedua pergelangan tangannya) tidak jelas menunjukkan kepada bersedekap, tetapi bisa pula dipahami lurus ke bawah. Kalau dimaksudkan meletakkan tangan ke dada (bersedekap), tentu bunyi hadits itu وَوَضَعَ كَفَّيْهِ فِي صَدْرِهِ (dan meletakkan kedua pergelangannya ke dadanya).
2. Ahli hadits Muhammad Nashiruddin al-Bani di dalam bukunya Shifatu Shalati an-Nabi (sifat shalat Nabi) pada halaman 130 menerangkan dengan kata-kata sebagai berikut:
عَنِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ قَالَ: “إِنْ شَاءَ أَرْسَلَ يَدَيْهِ بَعْدَ الرَّفْعِ مِنَ الرُّكُوعِ وَ إِنْ شَاءَ وَضَعَهُمَا” لِأَنَّهُ لاَ يَرْفَعُ ذَلِكَ إِلَي النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ إِنَّمَا قَالَهُ بِاجْتِهَادِهِ وَرَأْيِهِ وَالرَّأْيُ قَدْ يَخْطَئُ …
Dari Imam Ahmad semoga Allah merahmatinya (diriwayatkan) beliau berkata : “Jika (seseorang) menghendaki melepaskan kedua tangannya sesudah bangkit dari ruku’ dan (bila) ia menghendaki (boleh pula) meletakkan kedua tangannya (di atas dada atau bersedekap)” Kemudian Nashiruddin al-Bani berkomentar, sesungguhnya yang demikian tidak marfu’ kepada Nabi saw. Itu adalah perkataan Imam Ahmad atas dasar ijtihad dan pendapatnya. Sedangkan pendapat itu kadang bisa salah dan keliru … ”
3. Hadits Wa’il tersebut terkesan sebagai suatu sunnah yang tidak diamalkan oleh kebanyakan ‘ulama, dan kalau kita mengikuti pendapat Imam Ahmad, maka itu tidak mengikat dan tidak bisa memaksa orang yang tidak mengikutinya.
Pembahasan berdiri I’tidal dapat dibaca di tarjih.or.id
Editor Sugeng Purwanto