Hawa Nafsu dan Pesan KH Ahmad Dahlan, kolom ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-keagamaan.
PWMU.CO – Di antara masalah pokok manusia, terkait keyakinan. Pokok, karena dengan keyakinan itu kita bisa membedakan antara haq dan bathil. Sayang, banyak yang meski sudah tahu tentang kebenaran tapi masih mengedepankan perasaan dalam berkeyakinan. Padahal, perasaan itu sama sekali tak punya dasar kecuali hawa nafsu. Di titik ini, pesan KH Ahmad Dahlan sungguh baik jika kita amalkan.
Kondisi Umum
Banyak manusia yang tidak berani memegang pendirian, bahkan dalam hal keyakinan atau kebenaran. Sebagian, karena mereka khawatir jika kukuh berpegang kepada kebenaran akan dijauhi oleh-misalnya-keluarga dan para sahabatnya.
Sebagian, karena mereka takut akan terpisah dari apa-apa yang sudah lama menjadi kesenangannya. Pendek kata, mereka membayangkan hal-hal buruk yang akan menimpa mereka bila teguh dalam mengerjakan yang haq.
Para pihak yang lebih mendahulukan hawa-nafsunya itu adalah mereka yang dimaksud olehal-Furqan: 44, bahwa: “Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”
Pada hewan, termasuk binatang ternak, perbuatan semisal merampas hak hewan yang lain itu lumrah. Hal itu bisa kita fahami karena mereka memang tidak tahu peraturan, tidak mengerti tentang kebenaran. Hewan, tidak paham perbedaan haq dengan bathil. Hal itu lumrah karena mereka tidak punya akal. Mereka hanya punya nafsu; Nafsu makan, nafsu minum, nafsu terhadap lawan jenis. Maka, “warna” keseharian mereka “seragam”, sebab tidak mempunyai tujuan hidup.
Manusia, jika tak bisa membedakan yang haq dengan yang bathil, hidupnya tidak bernilai. Mereka serupa dengan hewan, bahkan lebih rendah lagi. Sangat rendah, sebab jika manusia telah memperturutkan hawa-nafsunya maka cahaya kebenaran akan kabur dalam hatinya.
Hawa nafsu akan menutupi pendengaran dan penglihatannya. Artinya, meskipun mata mereka melihat, tidak akan bisa membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Walaupun telinga mereka mendengar, tidak akan ada kebenaran yang tertangkap.
Bagi orang yang bertuhan kepada hawa nafsunya, nilai kebenaran tidak ada. Jiwanya kosong karena yang berbicara adalah perasaannya. Oleh sebab itu, mereka tidak mempunyai dasar pertimbangan tentang baik dan buruk. Lihatlah, bagaimana performa orang yang hanya mempertuhankan hawa-nafsunya saja. Sungguh amat susah jika berurusan dengan mereka.
Jika manusia kehilangan pikiran sehat karena tak bisa membedakan antara yang haq dengan yang bathil, maka sejatinya sengsaralah dia. Sengsara, sebab sebagai manusia yang masih mempunyai akal ternyata tak digunakan dalam penetapan kebenaran.
Hewan yang tidak tahu perbedaan antara yang haq dan yang bathil, mereka tidak bersalah.
Tapi, bagaimana dengan manusia yang telah dilengkapi dengan akal? Jika banyak manusia melakukan perbuatan-perbuatan di luar bingkai kebenaran, maka bisa dikatakan bahwa mereka tidak tahu hikmah untuk apa mereka diciptakan. Mereka tidak tahu tujuan manusia hidup di dunia.
Dakwah, Dakwah!
Hanya saja, meski berat, kita harus tetap mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW. Bahwa, kita tak boleh mundur mendakwahi mereka yang tak bisa membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Kita tidak boleh lelah menyampaikan kebenaran.
Di antara yang bisa kita lakukan, pelajari strategi dakwah Nabi SAW. Simak cara dakwah dan petunjuk para ulama, pewaris para Nabi.
KH Ahmad Dahlan adalah ulama yang bisa kita teladani. Beliau juga menyadari tantangan dakwah yang berat dalam menghadapi manusia yang sudah pada tahap menuhankan hawa nafsunya.
“Manusia tidak menuruti, tidak memperdulikan sesuatu yang sudah terang benar bagi dirinya. Artinya, dirinya sendiri, pikirannya sendiri, sudah dapat mengatakan itu benar. Tetapi, ia tidak mau menuruti kebenaran itu karena takut mendapat kesukaran, takut berat dan bermacam-macam yang dikhawatirkan karena nafsu dan hatinya sudah terlanjur rusak, berpenyakit akhlak (budi pekerti), hanyut dan tertarik oleh kebiasaan buruk,” tutur KH Ahmad Dahlan (Hadjid, 2005: 25).
Sekaitan itu, KH Ahmad Dahlan sering mengutip syair dan menyenandungkannya: “Dalam agamaku terang-benderang bagi orang-orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu (menuruti kesenangan) merajalela di mana-mana. Kemudian, menyebabkan akal manusia menjadi buta.”
Alhasil, bagi umat Islam yang sudah tercerahkan agar tak menuhankan hawa nafsu, jangan kembali ke posisi yang Allah dan Rasul-Nya tak suka. Posisi yang bisa membuat Islam berwajah kusam. Resapilah refleksi KH Ahmad Dahlan ini: “Mula-mula agama Islam itu cemerlang kemudian kelihatan makin suram, tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya dan bukan agamanya.”
Mari berbenah! Islam itu agama fitrah, berisi ajaran yang selaras dengan kesucian manusia. Islam itu memberi jalan agar hawa-nafsu manusia naik untuk selalu mendekat kepada kesempurnaan tertinggi, yang bersih dari pengaruh keduniawian.
Perhatikanlah ar-Ruum 30: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Perhatikan, “fitrah Allah” di ayat di atas. Bahwa, manusia itu diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Jika ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
Inti Pesan
Menjadi tugas kita untuk mengajak manusia kepada fitrahnya. Optimislah dalam berdakwah, sebab bila manusia telah terlepas dari cengkeraman “tuhan” yang bernama hawa nafsu. Mereka akan jernih lagi jiwanya. Di diri mereka akan timbul lagi hakikat iman yang sejati.
Alhasil, terkait umat secara umum dan penyeru dakwah secara khusus, berikut ini inti pesan KH Ahmad Dahlan: Pertama, enyahkan pengaruh hawa nafsu yang bisa mengakibatkan akhlak yang jelek karena teperdaya oleh kebiasaan buruk dari lingkungan sekitar.
Kedua, bagi yang sudah tercerahkan oleh Islam, jangan kembali menghamba kepada hawa nafsu. Ketiga, jangan takut mendapat kesukaran saat menegakkan kebenaran. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 9 Tahun ke-XXV, 30 Oktober 2020/13 Rabiul Awal 1442 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.