Charlie Hebdo dan Ayat-Ayat Setan, kolom ditulis oleh
Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.
PWMU.CO – Oh, Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Kedua ujungnya tak akan bisa bertemu.
Sampai langit dan bumi bertemu di depan pengadilan Tuhan…
Itu adalah cuplikan puisi The Ballad of East and West yang ditulis oleh Rudyard Kipling pada 1889. Balada itu menggambarkan pertempuran di Khybar Pass antara Kamal Brigade Afghanistan melawan pasukan Inggris. Balada itu menggambarkan bahwa Barat dan Timur tidak bakal bisa bersatu.
Sampai hari ini, kira-kira 130 tahun setelah Kipling menulis balada itu, Timur dan Barat tetap menjadi seteru yang susah bertemu, seperti minyak dan air yang tidak bakal bisa menyatu.
Orang Turki, terutama pendukung Presiden Tayep Recep Erdogan, pasti jengkel setengah mati melihat cover majalah Charlie Hebdo yang memajang karikatur menggambarkan Erdogan menyingkap gaun seorang pelayan perempuan dan mengintip tubuh telanjang perempuan itu.
Bagi Erdogan itu pelecehan yang kurang ajar. Tapi bagi Charlie Hebdo itu adalah kebebasan berekspresi. Presiden Prancis, Emmanuel Macron setali tiga uang. Ia menyebutnya sebagai kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang Prancis.
Beda pandangan soal kebebasan antara Barat dan Timur sangat jauh. Dalam bahasa pesantren disebut seperti baynas sama’ wal sumur; Ibarat langit dengan sumur, tidak bakal ketemu sampai kiamat.
Sebelum menerbitkan edisi Erdogan Charlie Hebdo menerbitkan ulang cover yang menampilkan wajah Nabi Muhammad SAW dalam bentuk karikatur. Lagi-lagi, bagi mereka karikatur itu lelucon, tapi bagi umat Islam itu penghinaan besar.
Beberapa waktu berselang, seorang profesor, Samuel Party, memamerkan kartun itu di depan kelas dalam pelajaran mengenai kebebasan berpendapat. Ketika keluar dari kelas seorang pemuda imigran asal Chechnya membunuh dan memenggal leher Party.
Atas nama kebebasan berpendapat Macron membela Charlie Hebdo dan menyerang Islam dengan menyebutnya sebagai agama yang sedang dilanda krisis di mana-mana. Macron menegaskan tidak akan mengorbankan kebebasan berpendapat karena tekanan terorisme.
Seperti menyiram bensin pada api, pernyataan Macron menyulut protes di seluruh dunia Islam. Boikot terhadap produk Prancis diserukan di mana-mana. Hubungan Macron dan Erdogan, yang sudah lama tegang, menjadi makin panas. Erdogan berada pada garis paling depan menantang Macron.
Kamis (29/10) seorang pemuda imigran Tunisia berusia 19 tahun Brahim Aoussaaoui merangsek dengan pisau ke sebuah gereja di Nice, Prancis, membunuh tiga orang. Salah satunya digorok di leher. Polisi menembak mati Aoissaaoui dengan 14 peluru.
Ayat-Ayat Setan
Salman Rushdie, novelis Inggris keturunan India pada 1989 membuat dunia Islam berang karena novelnya Ayat-Ayat Setan menjadikan Allah sebagai tokoh personofikasi seperti manusia.
Pemimpin Iran Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwa hukuman mati kepada Rushdie dan menuntut pemerintah Inggris menyerahkan Rushdie untuk dihukum mati. Inggris melindungi Rushdie dan Iran pun memutus hubungan diplomatik dengan Inggris. Khomeini sudah meninggal, tapi fatwa hukuman mati itu tidak pernah dicabut dan tetap berlaku sampai sekarang.
Setahun kemudian pada 1990 Arwendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor yang suka memasang foto wanita “lher” di cover, membuat angket “50 Tokoh Paling Dikagumi di Indonesia”. Hasilnya Pak Harto ada di urutan pertama disusul Habibie dan Mbak Tutut.
Persoalan serius muncul karena nama Arswendo ada di urutan ke-9 dan Nabi Muhammad di urutan ke-10. Arswendo lebih dikagumi dibanding Nabi Muhammad.
Wendo dianggap menghina Nabi Muhammad. Demo umat Islam pecah di mana-mana. Kantor Monitor diserang massa. Wendo ditangkap polisi, diadili, dihukum lima tahun.
Benturan Islam-Barat
Charlie Hebdo adalah kasus terbaru benturan Barat dengan Islam. Samuel Huntington pada 1990 merilis The Clash of Civilization benturan peradaban, antara lain menyebut benturan antara Barat yang Kristen dan Timur yang Islam.
Banyak yang tidak percaya terhadap tesis Huntington ini karena melihat kemesraan hubungan negara-negara Islam dengan Barat, seperti Arab Saudi yang mesra dengan Amerika.
Tapi, negara-negara Islam seperti Turki, Iran, dan Pakistan, tetap mempunyai hubungan tegang dengan Barat. Setiap saat ketegangan itu bisa memicu perang terbuka yang fatal dan luas, karena Iran dan Pakistan punya nuklir, dan Turki punya kemampuan militer kuat dan bisa memengaruhi solidaritas negara-negara Islam lainnya.
Turki vs Prancis adalah musuh bebuyutan. Amerika Serikat vs Iran tidak pernah berhenti berseteru. Ancaman perang terbuka bukan sesuatu yang ada di awang-awang.
Benturan Barat vs Islam terjadi pada fundamennya. Barat memberi kebebasan liberal individual dan sekuler seluas-luasnya. Sedangkan Timur menekankan kolektivitas dan spritualitas-religius.
Revolusi Prancis
Macron menegaskan akan mengawal kebebasan individual itu dan tak bakal menyerah terhadap tekanan dari mana pun karena dari Prancislah muncul cikal bakal kebebasan.
Revolusi Prancis pada 1789 dengan semboyan Libertè, Egalitè, Fraternitè; kebebasan, kesetaraan, persaudaraan memberikan kebebasan individual dari cengkeraman feodalisme absolut.
Dari Revolusi Prancis lahirlah konsep liberalisme individualisme yang sekuler. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan mutlak atas nasibnya sendiri, bebas dari tekanan kekuasaan negara dan gereja.
Semangat liberalisme individualisme sekuler ini menular luas ke seluruh Eropa dan Amerika. Semangat ini pula yang mengilhami PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) menyusun Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) pada 1948.
Deklarasi HAM disebut sebagai deklarasi universal yang harus berlaku di seluruh penjuru dunia. Deklarasi itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan karenanya kalangan Islam menolaknya.
Deklarasi itulah yang antara lain dipakai untuk melindungi Charlie Hebdo, dan deklarasi itu dipaksakan agar manusia sejagat menerimanya.
Luka lama akibat penjajahan kolonialisme-imperialisme Barat terhadap Timur selama ratusan tahun akan menjadi luka yang tak bakal mudah disembuhkan.
Barat tidak pernah merasa perlu meminta maaf atas perlakuan itu. Bahkan Barat merasa bahwa penjajahan merupakan kewajiban Barat untuk membuat Timur maju dan beradab. Rudyard Kipling menyebutnya penjajahan itu sebagai “White Man’s Burden”, kewajiban manusia kulit putih terhadap bangsa kulit berwarna.
Justifikasi Kipling terhadap kolonialisme dan imperialisme ini dikecam keras oleh Edward Said. Menelaah hubungan sastra dengan imperialisme, Said mengatakan bahwa karya-karya seni dan sastra Barat secara sengaja telah menjadi bagian dari propaganda Barat untuk menjadi pembenaran penjajahan Barat atas Timur.
Karya-karya film Hollywood sampai sekarang banyak yang menjadi propaganda pembenaran superioritas Barat atas Timur.
Demo yang luas sekarang terhadap Macron dan Prancis adalah pelampiasan kekecewaan atas kejahatan penjajahan Barat selama ratusan tahun yang tidak pernah berhenti dan tetap berlanjut sampai sekarang.
Di Indonesia juga sama. Sakit hati akibat dominasi Barat selama ratusan tahun selalu butuh pelampiasan. Seruan boikot produk Prancis pun diteriakkan.
Terlepas efektif atau tidak yang penting teriak boikot.
Produk-produk Prancis di Indonesia seperti air kemasan dan biskuit mungkin saja bisa terpengaruh oleh boikot itu.
Tapi produk-produk high end seperti Louis Vuitton, Hermes, Chanel, Dior, Saint Laurent, Givenchy, Kenzo, Balmain, Peugeot, Citroen, tidak bakal terpengaruh. Karena kita tidak mampu beli. (*)
Charlie Hebdo dan Ayat-Ayat Setan; Editor Mohammad Nurfatoni.