HM Shawab Mabrur, Wafat saat Perjalanan Konferensi Kepala Madrasah, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Pada zaman Orde Baru, menjadi mubaligh dan aktivis itu berisiko. Berdakwah secara keras, tegas, dan mengkritik pemerintah bisa dianggap subversif.
Ujung-ujungnya berhadapan dengan aparat dan masuk penjara. Hal itu juga dialami oleh HM Shawab Mabrur pada tahun 1977. Dia dituduh ikut gerakan Komando Jihad dan masuk bui selama 28 hari.
Mubaligh Lamongan lainnya yang senasib dengan dia—yang sempat mendekam di penjara karena korban fitnah Komando Jihad antara lain KH Oemar Hasan (7 tahun), KH M Zahri (sampai akhir hayat dipenjara), KH Abdurrahman Syamsuri (23 hari).
Juga KH Afnan Anshori, KH Khozin Jalik, KH Ahmad Munir, KH Moh. Bisri Qirom, Syaihul Arif Mustajib, Munadji, Mufid, M. Kuntari, Jakfar Rohim, dan Moh. Najih Bakar
HM Shawab Mabrur lahir di Desa Godog, Kecamatan Laren, tahun 1924. Dari ayah yang bernama Sa’al dan ibu Sarui. Ia anak bungsu dari empat bersaudara.
M. Shawab Mabrur menikah dengan Ning Mairoh, gadis desa setempat. Dari pernikahannya dikarunia sepuluh anak. Yaitu Toyibah, Umulkhoir, Zainul Muttaqin, Kholidah, Nasyiatul Baroro, Sukuliah, Muhammad Arqom, dan dua anak kembar yang meninggal sewaktu masih dalam proses persalinan.
Pada masa remaja M. Shawab Mabrur belajar ilmu agama di Pondok Pesantren Al-Amin Tunggul Paciran yang diasuh oleh KH Amin Musthofa. Teman sedesanya yang nyantri bersama yaitu Sampuri dan Thoha Abdullah.
KH Amin (1912-1949) adalah ulama yang cukup disegani di pantura. Ia sudah berpaham Muhammadiyah. Seperti halnya KH Sa’dullah di Sedayulawas, Brondong, KH Amin juga sebagai komandan tentara Hizbullah wilayah pantura.
Setelah nyantri di Tunggul, M. Shawab Mabrur pulang kampung dan menggiatkan dakwah untuk kemurnian ajaran Islam.
Ia mengubah kebiasaan buruk masyarakat dengan melarang melakukan acara sedekah bumi yang biasa dilakukan masyarakat saat itu. Ia juga melarang adanya tandaan dan nanggap gong—kesenian yang identik dengan minum-minuman keras dan judi.
Dirikan Madrasah di Era Sekolah Rakyat
M. Shawab Mabrur bersama dengan Sampuri dan Thoha Abdullah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Islam pada 14 Juni 1945. Pada tanggal 1 April 1960 Madrasah Al-Islam tercatat Djawatan Pendidikan Agama Kementrian ke/13/CXI/7656.
Menurut Abu Ma’sum—sama-sama santri KH Amin—M. Shawab Mabrur termasuk orang hebat. “Semangatnya tinggi, seorang diri mampu mendirikan madrasah. Muridnya ratusan. Enam kelas diajar sendiri. Waktu itu desa kanan kiri belum ada madrasah,” ujarnya.
Menurut dia, di Kecamatan Laren saja—dari ujung timur ke barat sampai Pelangwot ke barat—yang ada baru SR Ongko III (Sekolah Rakyat kelas III).
Abu Ma’sum menjelaskan kiat M Shawab Mabrur mendirikan MI Al Islam 1. “Awalnya murid dijadikan satu kelompok. Ada yang alumni SR III, ada yang pernah mondok di Kranji dan Tunggul dan tidak mampu mondok lagi,” ungkapnya.
“Awalnya punya gedung sementara dua kelas. Tahun berikutnya baru diseleksi, dijadikan tiga tingkatan dan diajar sendiri. Tahun berikutnya tambah kelas baru lagi. Dua kelas dimasukkan pagi, dua kelas masuk sore. Murid yang mbarep (kelas tertinggi) diajari mengajar bagi yang dinilai ada kemampuan,” jelas dia.
“Tahun berikutnya tambah kelas baru lagi. Kelas mbarep diajari menjadi guru lagi bagi yang dinilai mampu dan mau. Tahun berikutnya tambah kelas lagi. Tahun ini kelas VI dan V tetap masuk pagi dan kelas lainnya masuk sore. Murid kelas VI semua jadi guru sore,” ungkap Abu Ma’sum.
Selain sebagai guru, M. Shawab Mabrur pernah menjabat sebagai Kepala MI Al-Islam 1 (sekarang MI Muhammadyah 1 Godog) dan Kepala PGA Muhammadiyah Desa Godog (sekarang MA Muhammadiyah 3 Godog).
Pengalaman organisasinya diawali menjadi Ketua Pimpinan Muhammadiyah Ranting Godog (1970-1975), Ketua Pimpinan Muhammadiyah Cabang Laren (1973-1980), dan Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kabupaten Lamongan (1976-1985).
Didik Anak seperti di Pesantren
Menurut Sukuliah, anak keenam, ayahnya sangat dsiplin dalam mendidik putra-putrinya? “Pak’e sangat displin tapi luwes. Untuk pendidikan keluarga beliau menerapkan pendidikan pesantren dan tidak pernah memarahi anaknya,” ungkapnya.
Dia menambahlan, “Setiap selesai Maghrib, Isya, dan Subuh, kami harus mengaji terlebih dahulu. Mendengarkan radio kalau qiraahnya, bila tidak ada qiraahnya tidak boleh didengarkan. Begitu juga saat melihat televisi, bila tidak saat Nuzulul Qur’an tidak boleh melihat TV,” kisahnya.
Pernah, sambungnya, kami berdua dites dengan mbakyu saya—yang sekarang di Taruna Quran Yogyakarta—untuk membaca kitab kuning. Saya tidak mondok, tapi mbakyu saya mondok di Pondok Pesantren Karangasem Paciran.
“Alhamdulillah saya lancar membaca kitab kuning meski tidak mondok dan setiap hari hanya diajar bapak,” kenangnya.
Kisah unik lain diceritakan H Yastur, pensiunan Kepala Pergurais Lamongan. Dia menceritakan M Shawab Mabrur setiap mengikuti rapat kepala sekolah, tidak pernah meminum teh dan kopi yang dsuguhkan.
Ia malah minum bekas minuman teman kepala kadrasah lainnya. Saat ditanya H Yastur, “Bapak kenapa minum kopi bekas minuman orang lain?”
M Shawab Mabrur menjawab, “Aku minum kopi bekas karena di bekas kopi itu ada berkahnya.”
Wafat di Perjalanan
Dalam perjalanan menuju Konferensi Kepala Madrasah Muhammadiyah se-Kabupaten Lamongan di Pondok Karangasem Paciran, M Shawab muntah-muntah di dalam angkutan umum. Kemudian dibawa ke Puskesmas Paciran.
Kejadian itu berlangsung di hari Jumat Kliwon 21 Januari 1987. Di Puskesmas Paciran inilah HM Shawab Mabrur menghembuskan nafas terakhirnya. Isyaallah husnul khatimah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.