Minyak Samin Cap Babi atau Minyak Babi Cap Onta? Ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, pimpinan di perusahaan percetakan Cakrawala Print, Sidoarjo.
PWMU.CO – KH Idham Kholid pernah membuat statemen yang sangat terkenal sampai kini, “Mana yang lebih baik antara minyak samin cap babi daripada minyak babi cap onta?”
Pernyataan itu—yang juga dipopulerkan Gus Dur— berkaitan dengan diskursus politik Islam, mana yang lebih penting, Islam substansi atau Islam simbolis?
Dalam perdebatan tersebut, Islam substansi digambarkan sebagai ‘minyak samin cap babi’. Bahwa substansi lebh pentng dari sekadar simbol. Sedangkan Islam simbolis diibaratkan ‘minyak babi cap onta’.
Anda pilih mana? Saya sendiri, akan memilih alternatif yang ketiga: ‘minyak samin cap onta’. Sebab, Islam—selain mementingkan hakikat—juga sarat dengan simbol-simbol.
Tetapi dalam beragama, umat Islam tidak boleh berhenti pada simbol. Kita harus bisa merengkuh isi di balik simbol itu, yaitu substansi atau esensi Islam. Saya kira dalam konsep Islam politik, alternatif pilihan ketiga itu pun sah-sah saja.
Harga Bisa Ditawar, Kualitas Tidak
Bagaimana dalam dunia bisnis? Tentu tidak fair, bahkan menyesatkan, jika ada yang menjual minyak babi tapi dilabeli onta. Jangankan babi yang haram, menjual minyak kambing, tapi jika di-packing sebagai minyak onta, itu sudah melanggar etika.
Di perusahaan yang saya pimpin, ada prinsip penting yang kami tanamkan, “harga bisa ditawar, tapi tidak soal kualitas.” Maksudnya mahal-murah itu negosible. Bisa tawar-menawar. Termasuk dengan risiko marjin keuntungan yang tipis. Tapi soal kualitas—apalagi yang menyangkut kadar (timbangan dan ukuran)—tidak boleh ditawar, alias harga mati.
Tidak boleh ada penurunan, apalagi penipuan, spesifikasi bahan. Meskipun hal itu sangat mungkin dilakukan. Apalagi konsumen tidak akan tahu atau menyadarinya.
Tapi di abad modern ini, soal etika bisnis masih pentingkah? Rasanya banyak pebisnis yang meminggirkan etika demi meraup untung besar. Celakanya, risiko kesehatan, bahkan kematian, tidak lagi dihitung. Makanan dicampur berbagai zat kimia yang membahayakan kesehatan konsumen. Obat, yang dibeli untuk tujuan menyembuhkan, justru dipalsu. Bahkan pernah ada berita, vaksin pun dipalsu!
Dalam Islam, aktivitas bisnis termasuk bagian dari mu’amalah. Pesan utama dalam mu’amalah (interaksi) bisnis misalnya bisa kita dapati dalam al-Baqarah ayat 188, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan (interaksi bisnis) di antara kamu secara batil …”
Menurut ahli tafsir Prof M Quraish Shihab, kata ‘batil’ diartikan sebagai “segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama”.
Nah, selain di dalam al-Quran, ketentuan dan nilai agama soal bisnis (etika bisnis) terdapat dalam berbagai kitab hadis. Dalam kitab Bulughul Maram misalnya, ada satu bab khusus tentang jual beli, yang memuat hadis-hadis tentang hal-hal yang boleh dan yang dilarang dalam bisnis. Bahkan soal pailit dan pembekuan transaksi pun dibahas.
Dari semua hadis di dalam kitab itu, semangatnya bisa ditangkap dalam salah satu hadis yang secara eksplisit melarang tipu menipu dalam bisnis. Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Ibnu Umar berkata bahwa ada seseorang mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa dia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda, Jika engkau jual beli, katakanlah, ‘Jangan melakukan tipu daya!’
Persoalannya, apakah etika bisnis dalam al-Quran dan al-Hadis itu banyak yang tidak diketahui? Atau, jangan-jangan sudah tahu tapi karena tidak lagi peduli dengan nilai-nilai, maka rambu-rambu bisnis banyak yang diterabas. Jika hal terakhir yang terjadi, maka saya sarankan untuk menyelami kembali ‘ilmu menghadirkan’ dalam dunia bisnis.
Yakni ilmu yang menghadirkan perasaan orang lain dalam diri sendiri. Jika hendak menipu, hadirkan perasaan para korban penipuan itu. Jika akan berbisnis vaksin palsu, maka hadirkan perasaan jiwa yang akan terdampak serius akibat vaksin palsu itu.
Sebelum memproduksi makanan bercampur borak atau zat warna sintesis, maka hadirkan perasaan para konsumen yang akan mati pelan-pelan, rusak tubuhnya oleh bahan kimia berbahaya itu. Bagaimana jika itu terjadi pada diri keluarga kita?
Dalam bisnis, memang salah satu tujuannya mendapatkan keuntungan. Tapi keuntungan itu harus dicapai dengan cara-cara beretika. Prinsip bisnis Islami yang saya pahami, soal harta itu bukan akeh-akehan (sebanyak-banyaknya), tetapi sebersih-bersihnya. Itu yang bikin hidup penuh barakah.
Semoga! (*)
Discussion about this post