Nyinyir Berbuah Kesadaran: Sisi Lain HRS, kolom ditulis oleh Ady Amar, pemerhati masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Seharian kemarin (10 November 2020), entah berapa ratus video singkat merekam momen kedatangan Habib Rizieq Shihab (HRS) dari “tanah pengasingan”, dibuat oleh mereka yang hadir langsung di sana.
Tentu pengambilan gambar dengan teknik sederhana, tapi cukup berkelas. Tidak sedikit dari video yang dibuat diberi narasi apa adanya, tapi gaya penyampaiannya tidak kalah dengan jurnalis Aljazeera. Ada suasana euforia yang muncul.
Peristiwa yang mungkin tidak pernah terulang lagi dari tokoh bersangkutan atau tokoh lain dengan peran lain—tentunya dalam peristiwa lain pula. Umat bisa berkumpul sebegitu besar yang digerakkan oleh kekuatan sense of belonging yang sama.
Karenanya, hitung-hitungan waktu, biaya, tenaga—bahkan ketakuan akan pandemi Covid-19, yang bisa mengena pada siapa saja yang berkumpul bersamaan—terkalahkan oleh semangat untuk bisa menjemput dan melihat tokoh idolanya, Habib Rizieq Shihab.
Umat yang berkumpul itu menggunakan nalar khusus, atau khawas dalam istilah sufistik. Dan itu sulit dinalar dengan pandangan umum, atau bahkan dalam peristiwa lain yang dicari padanannya, tentu tidak akan nyambung.
Berkumpulnya umat di situ, adalah paduan antara ingin menyambut kedatangan tokoh idola, juga oleh akumulasi sebab-sebab tertentu yang muncul dan menemukan momennya. Sebab-sebab itu paduan ketidakharmonisan hubungan yang ada, ketidakadilan, dan persekusi pada ulama-ulama kritis. Suasana itu yang terbangun dan dirasakan umat.
Sebuah ilustrasi menarik dari pemimpin besar nasionalis Mesir, Sa’d Zaghlul (1857-1927), bisa disampaikan di sini dalam konteks memaknai suasana kebatinan yang muncul, yang kurang lebih sama, “Masanya akan tiba ketika bangsa Mesir berhenti memandang pemerintah, seperti burung memandang pemburu.”
Rasionalitas pun Larut Tenggelam
Ini fenomena menarik tentang seorang kawan. Dia acapkali nyinyir menanggapai peristiwa yang berkaian dengan HRS. Dia pernah mengolok-olok 411 dan 212 sebagai takhayul karena membesar-besarkan angka—sesuatu yang tidak semestinya dikeramat-keramatkan.
Tentu pendapatnya itu mudah untuk dipatahkan. Angka, tanggal, dan bulan, bahkan tahun tertentu punya riwayatnya sendiri. Karenanya kita kenang sebagai pertanda pernah terjadi peristiwa tertentu, dan karenanya patut dikenang sebagai sebuah peristiwa bersejarah.
Kawan satu itu bukannya tidak berpendidikan. Tingkat pendidikannya cukup tinggi untuk ukuran umum, dan pribadi yang taat beribadah, setidaknya ibadah wajib. Hanya saja sikap rasionalitasnya memandang sesuatu dengan ukurannya sendiri, dan lalu menganggap pikirannya itu pikiran sewajarnya.
Menghadapi kawan yang demikian, maka sulit diskusi bisa diwujudkan. Tidak akan nyambung karena bersandar pada pengagungan rasionalitas tanpa sentuhan nilai transendental. Kami memilih membiarkan saja, itu jauh lebih aman agar tidak saling menyakiti.
Tapi kemarin kawan satu itu menyampaikan kekagumannya. Bagaimana mungkin ratusan ribu manusia bisa disatukan, seolah terhipnotis dalam satu ikatan yang sama-sama mencintai dan merasa memiliki figur bernama HRS.
Rasionalitasnya larut seolah tenggelam bersama lautan manusia yang dilihatnya lewat video-video yang diunggah dalam sebuah grup, di mana kami berkumpul bersama. Dengan malu-malu kawan satu itu mengatakan, jika takdir memungkinkan dia pun ingin hadir jika reuni 212 di tahun ini diselenggarakan. Ia ingin merasakan suasana itu dari dekat bersama umat lainnya.
Rasionalitas itu berhenti jika hati terketuk oleh kekuatan kesadaran di luar kemampuan dan kemauan yang disadarinya. Hal itu tentu sulit dijelaskan dengan kalimat yang pas. Kekuatan kesadaran itu bisa hadir, tapi bisa pula tercerabut hilang menguap. Itu pun sulit dijelaskan.
Video-video yang diunggah saat menyambut kedatangan HRS di Bandara Soekarno-Hatta, itu mampu membuka rasionalitas menjadi lebih bercahaya. Rasionalitas kawan itu, tentu tidak hilang, justru lebih sempurna, karena mampu melihat sesuatu itu tidak semua bisa dirasionalkan.
Lautan manusia dalam penyambutan HRS itu bagian dari sejarah yang mustahil bisa dilupakan dan mampu menyadarkan, setidaknya satu orang kawan kami. Tidak mustahil umat di luar sana benyak pula yang terketuk oleh peristiwa yang sama.
Namun demikian, sejarah yang sudah dihadirkan, itu menjadi lebih bermakna jika sejarah itu diisi oleh aktivitas-aktivitas positif lanjutan, guna kepentingan umat dan bangsa yang lebih luas.
Jika tidak, maka kita cuma mengulang-ulang peristiwa saja: membuat sejarah tapi tidak mampu mengisinya dengan selayaknya. Itu tak ubahnya pesta keriangan, yang selesai tanpa meninggalkan bekas. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post