Barkussalam, Kepala Desa yang Mubaligh ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Menjadi mubaligh itu harus pemberani dan tegas. Pemberani menghadapi situasi dan kondisi. Tegas menyampaikan kebenaran sesuai al-Quran dan as-Sunnah.
Demikian halnya yang dilakukan oleh Barkussalam. Santri KH Abdurrahman Syamsuri alias Yai Man ini dikenal sebagai mubaligh yang pemberani dan tegas dalam menyampaikan dakwahnya. Ia dengan gagah berani mengingatkan akan kebenaran wahyu Illahi kepada masyarakat dan aparat setempat.
Barqussalam lahir di Desa Kembangbahu, Kecamatan Kembangbahu, Kabupaten Lamongan, 14 April 1963. Ia adalah anak Haji Fauzi—tokoh yang sudah berpaham Muhammadiyah dan sangat disegani di desanya.
Setelah lulus dari SD ia dikirim ayahnya ke Pesantren Karangasem Paciran selama 11 tahun. Ayahnya Haji Fauzi berharap agar Barqussalam belajar ilmu agama dan Muhammadiyah kepada KH Abdurrahman Syamsuri, biasa dipanggil Yai Man Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan periode 1977-1990.
Riwayat pendidikan formalnya dilalui di SDN Kembangbahu (lulus tahun 1975); MTsM Pondok Pesantren Karangasem Paciran (lulus tahun 1980); MAM Pondok Pesantren Karangasem Paciran (lulus tahun 1983); dan Sarjana Muda (BA) Fakultas Syariah UMM di Paciran tahun 1986.
Pengalaman organisasi Barkussalam dilalui dari Pimpinan Cabang IMM Lamongan sebagai Wakil Sekretaris (1984-1987); Sekretaris PCM Kembangbahu (1983-1985); Ketua PCM Kembangbahu (2000-2005), Wakil Ketua Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani dan Nelayan PDM Lamongan (2005-2010) dan (2010-2015); Wakil Sekretaris PDM Lamongan (1986-1990), dan Wakil Ketua MUI Kecamatan Kembangbahu (2001-2006).
Barkussalam pernah menjadi guru di lingkungan Pondok Pesantren Karangasem Paciran (1985-1987) dan di SMAM Sugio (1988-1999).
Di samping sebagai mubaligh dan guru, Barkussalam juga menekuni usaha perdagangan di rumahnya. Ia mengembangkan toko kelontong. Di toko inilah ia “ngantor dan berdakwah” pada pagi sampai sore hari. Orang-orang yang membeli barang dagangannya juga berkonsultasi tentang masalah keislaman dan kemuhammadiyahan.
Digembleng Yai Man
Menurut HM Nadjih Bakar—Sekretaris PDM Lamongan 1977-1995—saat Kantor PDM Lamongan masih berada di Pondok Pesantren Karangasem Paciran (1983-1986), Barkussalam dan Habib Mukri banyak dilibatkan menangani tugas-tugas di sekretariatan, seperti menjadi kurir surat.
Ia kerab diajak KH Abdurrahman Syamsuri acara di cabang-cabang se-Kabupaten Lamongan. Barkussalam saat itu, sebagai mahasiswa Fakultas Syariah UMM di Paciran.
Selama di Pondok Pesantren Karangasem ini dia sejak awal sudah dikenal sebagai santri yang cekatan. Dalam keseharian dia sangat terbuka dan apa adanya. “Kejujuran dan ketegasan inilah yang menarik bapak-bapak PDM Lamongan,” ujar Nadjih Bakar.
Sepulang dari pesantren, Barkussalam memimpin PCM Kembangbahu bersama A. Latief, dan Sahlan Badri. Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kembangbahu mendapatkan pengesahan pendirian organisasi dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur tertanggal 29 Nopember 1995 dengan SK nomor 02/SK.PWM/1.b/95.
Saat itu, ranting-ranting yang telah berdiri dan ber-SK meliputi Sukosongo, Lopang, Kedungmegarih, Moronyamplung, Kembangbahu, dan Puter.
Gigih Berdakwah
Menurut H. Sudjudna—Ketua PCM Mantup dan Ketua Lazismu PDM Lamongan—sebagai mubaligh, Barkussalam sangat gigih dalam berdakwah di daerah Lamongan selatan. Yaitu di Mantup, Tikung, Sarirejo, Sugio, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, dan Sukorame. Bahasa dakwah yang digunakan tidak melip (tinggi), dan suka humor. “Sehingga mudah diterima masyarakat yang baru mengenal Muhammadiyah,” ujarnya.
Meski humoris, tetapi jika menyangkut prinsip, Barkussalam menunjukkan keberanian dan ketegasannya dalam menyampaikan dakwah. Terutama saat dia menjabat sebagai Kepala Desa (Kades) Kembangbahu selama dua periode (1989-1999). Ia selalu menggandeng muspika dan aparat setempat untuk memberantas kemaksiatan seperti berjudi dan minum-minuman keras.
Dengan langkah itu, Barkussalam mendapat simpati masyarakat. Warga yang asalnya belum kenal Muhammadiyah akhirnya dengan rela hati masuk Muhammadiyah. Mereka yang semula tidak berani dan terang-terangan bermuhammadiyah, akhirnya berani mengakui jati dirinya sebagai warga Muhammadiyah.
Ketegasan Barkussalam juga tampak dalam pendidikan keluarga. “Bapak dalam mendidik agama putra-putrinya cukup. Di mana pun anaknya sekolah harus dengan mondok atau nyantri untuk memperdalam agama. Anak-anaknya juga diarahkan untuk aktif berorganisasi,” ungkap Yusron Angga Yahtadi, anak keduanya, pada PWMU.CO, Senin (9/11/2020) lalu.
Menurut dia, bapak juga mengajarkan cara hidup sederhana. “Tidak neko-neko. Bapak juga menekankan pentingnya kemandirian kepada anak-anaknya dan selalu mohon pertolongan kepada Allah SWT,” ujarnya.
Keluarga dengan Empat Anak
Barkussalam menikah pada usia 27 tahun dengan Muhayadah, gadis asal Desa Kesambi, Kecamatan Pucuk, Kabupatentahun 1990. Saat itu Muhayadah baru berusia 20 tahun. Ia alumnus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Sidoarjo.
Dari perkawinan itu, pasangan ini dikarunia tiga putra dan satu putri yaitu:
- Faiz Ahadan Rijalis Siraj, kini bekerja di pengeboran minyak. Dia alumnus SMA Negeri 2 Lamongan dan ITS Surabaya. Pernah mondok di Al Khoiriyah, Lamongan.
- Yusron Angga Yahtadi, pekerjaan wirausaha. Dia alumnus SMKM 5 Babat dan Pesantren Muhammadiyah Babat. Pendidikan terakhir Universitas Trunojoyo Madura.
- Moch Fachri Toriq, pekerjaan wirausaha. Alumnus MAM dan Pondok Pesantren Al Mizan Lamongan. Masih kuliah di BSI Jakarta
- Gladis Anggeli Puspita plajar di SMA Negeri Kembangbahu, dan mengelola TPA di kampungnya.
Barkussalam wafat pada Desember 2013 dalam usia 50 tahun setelah beberapa hari dirawat di RS Muhammadiyah Lamongan. Almarhum dikebumikan di Makam Islam Desa Kembangbahu.
Semoga Allah mengampuni segala dosanya, dan menerima amal kebajikannya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.