KH Miftachul Akhyar, MUI, dan Operasi Bersih-Bersih, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat sosial dan Pengurus MUI Jatim, pada Komisi Ukhuwah Islamiyah.
PWMU.CO – Munas X MUI selesai dilaksanakan Jumat (27/11/2020) dini hari. Susunan Pengurus Pimpinan Pusat MUI dan Pengurus Dewan Pertimbangan MUI periode 2020-2025 pun telah disusun. Nama-nama siapa saja yang duduk dalam susunan kepengurusan sudah beredar luas.
Sebagaimana menjadi tradisi, bahwa ormas terbesar Nahdlatul Ulama (NU) selalu semacam otomatis menjadi Ketua Umum MUI. Meski pada awal-awal terbentuknya MUI tidak demikian.
Alhamdulillah, KH Miftachul Akhyar terpilih menjadi Ketua MUI yang baru (2020-2025) menggantikan KH Ma’ruf Amien yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden. Kiai Miftachul Akhyar dikenal sebagai alim yang sederhana. Jauh dari ingar-bingar dan pernyataan kontroversial.
Duduknya Kiai Akhyar tentu tidak saja dambaan umat, tapi juga pemerintah yang ingin MUI tidak “berisik”, tidak aktif mengkritisi pemerintah apalagi pada hal-hal yang bersifat politik.
Jika yang diharap demikian, tentu Kiai Akhyar bukanlah “Pak Penurut” yang diharapkan. Sikap beliau layaknya Allahuyarham KH Sahal Mahfud, saat memimpin MUI, meski kalem tapi tetap kritis pada hal-hal sepatutnya.
KH Ma’ruf Amin Jadi Ketua Wantim MUI
Kembalinya KH Ma’ruf Amin menjadi Ketua Dewan Pertimbangan MUI, menggantikan Prof Din Syamsuddin, justru ini yang mencengangkan.
Kiai Ma’ruf harusnya tidak cawe-cawe lagi di MUI, karena saat ini beliau sebagai Wakil Presiden. Jabatan yang disandangmya sebagai RI-2, mestinya sudah teramat sibuk, kenapa mesti ditambah dengan jabatan di MUI segala. Itu di luar kelaziman.
Kesan yang tampak kasat mata, Kiai Ma’ruf dipasang agar bisa “mengendalikan” dari dalam, agar MUI tidak terlalu kritis pada pemerintah. Setidaknya itu kesan yang bisa dilihat.
Apalagi dari susunan kepengurusan MUI yang terbentuk itu, mereka yang kritis atau apalagi dianggap radikal, versi rezim, tidak terlihat lagi. Disapu bersih, dan ditinggalkan tidak lebih dari jumlah jari tangan kanan.
Mengherankan nama Prof Muhammad Baharun tidak terlihat lagi, yang di periode lalu sebagai Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan. Padahal beliau salah satu Ketua Komisi yang aktif dan mumpuni. Kalem pembawaannya dan humble sikapnya. Itu tampilan keseharian yang bisa dilihat darinya.
Bisa diduga beliau tidak masuk lagi, sekali lagi diduga, karena ia hadir dalam acara Maulud Nabi SAW di Petamburan. Maka pribadi yang kalem itu lalu dilabeli jadi radikal.
Kalau Ustad Tengku Zulkarnaen yang tadinya sebagai Wakil Sekjen, pastilah sudah diduga tidak akan dimasukkan lagi pada periode ini, karena sikapnya yang frontal berhadap-hadapan. Kalau saja namanya masih tercantum pada kepengurusan yang sekarang, maka justru tampak aneh.
Aroma Istana Menyengat
Semalam Kiai Ma’ruf hadir di Hotel Sultan. Hadir untuk memastikan jalannya pemilihan Ketua MUI dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI periode 2020-2025.
Bahkan Kiai Ma’ruf sendiri yang menjadi Ketua Formatur dari 17 anggota formatur. Maka aroma politik “merapikan” institusi MUI oleh rezim tidak bisa dikatakan tidak ada.
Yang kita lihat kemudian adalah Munas X ini, munas penuh arahan istana. Benar-benar dikendalikan. Intervensi pada MUI baru terjadi pada Munas kali ini. Bisa dipastikan nama-nama yang boleh duduk dan terusir sudah disusun. Atau setidaknya, ada kriteria-kriteria yang mesti jadi perhatian.
Disisakan tidak lebih dari jumlah jari tangan kanan saja pengurus yang kritis. Buya Anwar Abbas (Muhammadiyah) sebagai Wakil Ketua 1, dan lainnya di posisi yang tidak strategis. Misal, Kiai Mukhyidin Junaidi (Muhammadiyah), yang semula jadi Wakil Ketua MUI, bahkan lalu bertindak selayaknya Ketua MUI, saat Kiai Ma’ruf non-aktif, karena tepilih sebagai Wakil Presiden, ditempatkan di Dewan Pertimbangan sebagai Wakil Ketua.
Juga Ustad Dr Zaitun Rasmin, ditempatkan pada posisi Wakil Sekretaris pada Dewan Pertimbangan. Tadinya dia duduk sebagai Wakil Sekjen bersama Ustad Tengku Zulkarnaen.
Buya Anwar Abas, tentu terlalu kuat jika harus disingkirkan pada posisi tidak strategis. Maka posisinya digeser dari Sekjen menjadi Waketum 1. Otomatis menjadi orang momor dua setelah KH Miftachul Akhyar. Jika Kiai Akhyar berhalangan, Buya Anwar yang lalu menggantikan. Semacam ban serep.
MUI pada periode belakangan, khususnya periode 2015-2020, jadi lembaga yang kredibel. Mampu membangun kepercayaan umat. Baik saat Kiai Ma’ruf aktif sebagai Ketuanya, sebelum menjadi Wapres tentunya, maupun setelah non aktif, MUI tetap menjadi lembaga kritis.
Bisa jadi itu yang lalu menyebabkan Kiai Ma’ruf Amien dapat tugas baru, masuk lagi berupaya mengendalikan MUI dari dalam. Jika misi masuknya Kiai Ma’ruf berhasil, maka itu sama saja dengan mempersilahkan Gerakan Habib Rizieq Shihab menjadi lebih besar lagi. Gak percaya? Kita lihat saja nanti. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.