Budaya Korupsi Sejak Feodal hingga Jokowi oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung.
PWMU.CO– Desember nanti beberapa daerah akan menyelenggarakan Pilkada serentak. Dalam praktiknya, pilkada bukan hanya pesta demokrasi tetapi juga pesta judi dan pesta sogok menyogok.
Jual beli suara menjadi budaya baru era reformasi dengan dalih cost politic. Para politisi menganggap wajar mengeluarkan biaya politik yang tinggi jika ingin menang. Sementara rakyat merasa suaranya adalah komoditas yang layak diperjual belikan. Ada harga ada suara. Inilah simbiosis mutualisme kemungkaran yang dinikmati bersama.
Bukan hanya sekarang. Geneologis budaya korupsi di nusantara sudah ada sejak zaman kerajaan dulu. Dalam buku KPK dari A sampai Z, menerangkan bahwa budaya hedonis para raja dan bangsawan telah menempatkan mereka dalam posisi yang diridhoi oleh rakyatnya menjadi kelas elite. Punya berbagai hak istimewa setingkat dewa. Mereka memiliki abdi atau babu yang mengabdikan hidupnya untuk melayani para bangsawan.
Bangsawan juga memiliki banyak selir. Itu dianggap sebagai prestise. Para selir atau gundik ini sering kali diperoleh sebagai sogokan dari para bawahan untuk menyenangkan raja. Perilaku para abdi dan gundik ini hanya mencari muka dan bersikap manis sekaligus oportunis di hadapan para raja dan bangsawan. Harapannya suatu saat nanti dijadikan sebagai punggawa atau permaisuri.
Para penguasa sangat suka disanjung, dihormati, dihargai, dipatuhi tanpa syarat. Tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disampaikan secara vulgar dianggap sebagai tantangan terbuka dan perlawanan terhadap kekuasaannya. Sabdo pandito ratu menjadi kredo yang dipatuhi semua kalangan.
Kemiskinan Dibiarkan
Sayangnya, kehidupan hedonis ini dibangun di atas upeti atau pajak yang diambil dari rakyat jelata yang mayoritas miskin. Kemiskinan yang sengaja dibiarkan supaya mereka tetap dalam posisi yang lemah dan tertindas di bawah hegemoni sistem monarki teologis bahwa raja adalah titisan dewa. Sehingga wajar di lingkaran kekuasaan raja dan kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi.
Tak segan mereka menetapkan pajak atau upeti yang tinggi kepada rakyatnya. Tidak jarang pula para abdi dalem dan jajaran punggawa di bawahnya korupsi upeti sebelum diserahkan kepada raja. Para lurah yang sudah memperoleh hak pengelolaan tanah kerajaan sebagai bayaran atas jabatannya juga melakukan korupsi. Upeti dari rakyat berupa hasil ternak dan pertanian diambil untuk kekayaan pribadinya sebelum diserahkan kepada demang.
Para demang yang mengumpulkan upeti kerajaan dari para lurah juga mengambil sebagian dari upeti tersebut. Begitu pula para tumenggung pengelola upeti mengkorupnya sebelum diserahkan kepada raja. Upeti yang tinggi dari rakyat tinggal sedikit ketika sudah sampai ke tangan raja. Maka tidak jarang seorang demang menikmati gaya hidup hedonis bak seorang raja karena berhasil memungut banyak upeti dan mengkorupnya.
Salah satu penyebab budaya korupsi ini tumbuh subur adalah standar satuan hitungan upeti yang tidak jelas. Juga rincian barang-barang apa saja yang pantas dikenai pajak. Alasan inilah yang mendorong para pengumpul pajak/upeti cenderung memaksa rakyat kecil untuk menyerahkan apa saja yang dimilikinya sebagai upeti, baik kelapa, padi, ternak dan lain sebagainya dengan ukuran yang tidak jelas.
Manajemen Korup Dianggap Wajar
Budaya korupsi ini dinikmati oleh para bangsawan kerajaan dan para punggawa bahkan abdi dalem. Manajemen korup ini dianggap sebagai kewajaran. Manajemen korup ini kemudian dimanfaatkan orang Belanda sebagai alat penjajahan.
Para raja diberikan hak istimewa oleh Belanda, baik ekonomi, status sosial ningrat yang terus dirawat, dimanjakan oleh keglamoran, dan hak pendidikan bagi keluarga bangsawan. Fasilitas ini untuk meninabobokkan para raja supaya mendukung kemauan Belanda.
Praktik korup ini menimbulkan perlawanan oleh rakyat dan bangsawan jujur. Misalnya, perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), rakyat Aceh (1873-1904).
Budaya korup ini akhirnya juga menjangkiti para penjajah. Petugas kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda mengambil untung dari harta pajak. Penyebab runtuhnya VOC salah satunya karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul liveratie dan contingenten di Batavia kedapatan korupsi dan dipulangkan ke Belanda. Menurut catatan kerajaan Belanda, hampir semua pejabat di tanah jajahan melakukan korupsi.
Budaya korupsi dipakai Belanda sebagai alat pelemahan posisi rakyat dengan melestarikan konglomerasi penguasa. Rakyat makin tertindas dan tak menguasai sumber ekonomi. Para lurah pada masa kolonial beralih menjadi antek Belanda yang lebih kejam memungut pajak.
Korupsi Tak Kenal Henti
Budaya korupsi ini terus berjalan sampai sekarang. Konglomerasi birokrat masa Orde Baru dengan monopoli sumber-sumber kekayaan ikut melanggengkan korupsi di tanah air. Era reformasi yang diharapkan memupus moral hazard ini malah ironis. Korupsi makin masif, terstruktur di semua kalangan.
Hingga di zaman Presiden Jokowi tak mampu menekan korupsi sesuai janjinya. Hanya main gertak di awal. Selanjutnya berlalu begitu saja. Korupsi Menteri Kelautan Edhy Prabowo dan Bupati Cimahi adalah bukti korupsi tetap membudaya di pemerintah.
Lembaga anti rasuah KPK yang diharapkan menjadi panglima pemberantasan korupsi akhirnya diberangus oleh cukong politik lewat revisi undang-undang. UU Omnibus Law Cipta Kerja menyerahkan buruh dan kekayaan kepada oligarki pengusaha.
Aturan hukum pun sangat elastis untuk koruptor. Mulai penahanan, pra peradilan, tidak dipecat sampai ada ketetapan hukum final, ditempatkan dalam penjara khusus yang nyaman, berperilaku bak selebritis ketika jumpa pers.
Sementara masyarakat juga bersikap permisif, pragmatis, melupakan dan memaafkan. Tidak ada sanksi sosial. Tak ada sanksi politik. Bekas koruptor boleh ikut Pemilu lagi. Membeli suara lagi. Saat menjabat korupsi lagi. Terus melingkar menjadi benang ruwet.
Butuh pendekatan budaya dan agama untuk mengubah perilaku ini. Bangkitkan budaya malu. Malu kepada manusia dan kepada Tuhan. (*)
Editor Sugeng Purwanto