Kekuasaan Pilihan Muhammadiyah oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Perempuan menjual tubuh, Firaun menjual kekuasaan, Qarun gunakan hartanya, Haman menjual ilmu dan Bal’am jual agamanya. Kelimanya sama: pelacur. Dan Tuhan pun mengirim nasihat dengan bahasa kaumnya untuk menjelaskan masalah ini.
Politik, kekuasaan, dan uang. Jangan mimpi jadi politisi kalau tak punya uang. Dengannya kekuasaan berkelindan saling menguatkan. Uang, kekuasan dan ilmu (ideologi) saling menyokong dan menguatkan dan menjadi lebih mengerikan ketika agama dimasukkan.
Tidak bolehkah jual agama? Satu pertanyaan klise. Tapi dengan apa seseorang menjual agama. Mungkin agama seperti pedang, jadi bergantung siapa yang pegang. Agama jadi bahan bakar yang menggerakkan, sebab itu lantas dipertaruhkan. Realitasnya semakin kabur siapa yang sedang dibela: agama atau Bal’am yang butuh pembelaan? Jadi sebenarnya bukan Islam atau agama yang dibela, tapi Bal’am.
Godaan kekuasan memang menggiurkan. Maka banyak yang tak perduli dengan cara apa kekuasaan diraih. Yang penting berkuasa dan bisa bertahan lama. Sampai kemudian ambruk dan dihinakan. Kongsi antara uang, kekuasaan, dan ideologi adalah kepastian.
Saya bukan tak suka dengan kekuasaan. Hanya karena Kiai Ahmad Dahlan menggariskan bahwa pergerakan yang didirikannya ini bukan didesain untuk mendapat kekuasaan politik. Maka saya memilih jalan yang ditempuh Kiai Ahmad Dahlan untuk tegakkan syariat Islam kaffah.
Prediksi Marcus Mietzner cukup menarik. Uang, kekuasaan, dan ideologi adalah tiga hal yang tak bisa dipisah. Sisi lainnya partai Islam ’selesai’ sejak difusikan dalam satu partai politik yaitu PPP di masa rezim Orba. Jadi tak ada lagi gunanya partai baru didirikan tanpa uang cukup. Pembiayaan partai cukup besar. Jadi mungkinkah partai-partai Islam tidak hanya menang, tapi juga ditagih menjadi pemimpin demokrasi.
Islam Kosmopolit
Islam kosmopolit yang ditawarkan adalah gagasan ideal untuk tegakkan syariat dengan cara berpikir maju. Gagasan Kiai Dahlan tak pernah kehilangan relevansi. Sebab itu Kiai Dahlan mengganyang kebodohan dan jumud berpikir. Pemoderenan dan pemajuan adalah tesis Kiai Dahlan untuk tegakkan syariat Islam kaffah. Jadi bukan pedang, resolusi jihad, atau takbir keras.
Kiai Dahlan langsung bersetuju ketika Kiai Sudja’, salah satu santrinya, mengajukan proposal membangun rumah sakit di kalangan pribumi santri. Meski sebagian kader mudanya ada yang keras menolak dan menyerahkan kartu keanggotaan sebagai bentuk protes dan perlawanan.
Tahun 1920 bukan tahun yang ramah untuk mewujudkan gagasan pemajuan dan pemoderenan. Masih terbayang bagaimana penolakan para ulama saat itu.
Berbagai persoalan mengemuka. Salah satunya pertanyaan tentang apakah hukumnya mendirikan rumah sakit itu halal atau haram? Jangankan rumah sakit, mengubah kebiasaan minum dari puyer ke kapsul saja adalah sebuah tantangan yang amat berat. Karena dianggap tasyabuh menyerupai kompeni Belanda. Jadi Kiai Dahlan adalah pelopor berpikir maju.
Jadi benarkah Muhammadiyah tak butuh kekuasaan? Atau tepatnya kenapa Kiai Dahlan tak butuh kekuasaan untuk jalankan amar makruf nahy munkar saat itu? Sayangnya belum ada kajian komprehensif tentang tema ini. Prof Mitsuo Nakamura atau Dr Alfian sekalipun tak ada penjelasan dalam berbagai risetnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post