PWMU.CO – Teknologi harus berjalan dengan keadaban, tidak cukup dengan kebudayaan saja. Di tangan orang yang beradab, teknologi mendatangkan maslahat.
Demikian yang disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd, dalam Opening Ceremony Muhammadiyah Education (ME) Award Special Edition 2020, Selasa (15/12/20).
Dalam kegiatan seremonial secara virtual tersebut, Abdul Mu’ti mengatakan agar warga Persyarikatan tidak berhenti berbuat di tengah keterbatasan, dan tidak boleh menyerah di tengah berbagai kesulitan.
“Hal tersebut adalah prinsip penting yang menunjukkan karakter berkemajuan. Langkah nyata yang menunjukkan bagaimana kita ini menjadi komunitas yang senantiasa berbuat, dan senantiasa berkreasi di tengah segala keterbatasan yang ada,” ujar Mu’ti.
Menurutnya, teknologi itu lahir dari banyak keterbatasan. Orang menciptakan teknologi karena keterbatasan fisiknya. “Tetapi orang menciptakan teknologi karena potensi yang diberikan oleh Allah padanya, yaitu potensi aqliah dan uluhiah,” kata dia.
Kesulitan itu, lanjut dia, mendorong orang-orang yang berakal, cerdas, dan tercerahkan untuk senantiasa mencari jalan keluar dan memberikan solusi yang bermanfaat bagi semesta. “Hampir semua temuan dalam teknologi lahir dari proses yang dimulai dari adanya keterbatasan,” paparnya.
Teknologi Huruf Braille
Seorang Louis Braille, kata dia, yang menemukan teknologi huruf Braille, karena ada sebagian dari saudara sesama manusia yang tidak bisa membaca dengan matanya. “Banyak orang yang menemukan teknologi karena melihat kesulitan yang dihadapi sesama. Bahkan mungkin sebagian karena melihat penderitaan yang dihadapi orang lain,” ungkap Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.
Walaupun, lanjut Mu’ti, bagi warga Muhammadiyah, kesulitan itu tidak pernah dipahami sebagai sebuah penderitaan. Kesulitan itu sebuah challenge atau tantangan. “Dan sejak awal ketika Covid-19 ini melanda dunia dan melanda tanah air kita, Muhammadiyah sejak awal konsisten mengatakan Covid-19 ini adalah musibah, Covid-19 ini adalah ujian,” terang dia.
Dan sebagaimana ujian dalam kehidupan, sambungnya, maka ujian itu akan mengukur sejauh mana ketahanan dan kemampuan kita. Kemudian akan bisa menjadi titik awal untuk kita lebih baik di masa yang akan datang.
“Ini paradigma bagaimana Muhammadiyah melihat musibah itu dari sudut pandang yang positif. Karena di balik semua yang dikehendaki oleh Allah SWT itu mesti ada hikmah yang kita peroleh, ketika kita menjalaninya. Ini konstruksi teologi yang sangat positivistik, bukan jabariyah atau fatalistik” tutur Mu’ti.
Mindset Positif
Karena itulah, sambungnya, maka Muhammadiyah dengan tema milad ke-108 ini menggunakan bahasa yang positif “Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri”. “Kita tidak boleh surut ke belakang. Kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Tapi kita harus menghadapinya dengan segala kemampuan yang kita miliki. Muhammadiyah menghadapi pandemi ini dengan pandangan atau mindset yang positif,” jelasnya.
Dan karena itu, kata dia, Muhammadiyah tidak menyalahkan atau su’udzan pada siapapun. Tetapi memahaminya sebagai takdir Allah. “Takdir dalam pengertian sesuatu yang sudah terjadi. Dan dalam teori berbagai ilmu pengetahuan, ketika sesuatu sudah terjadi, itu namanya sudah menjadi takdir. Ketika sudah menjadi takdir itu selalu ada yang bisa kita jelaskan di balik takdir itu,” ujar Mu’ti.
Karena itu sekarang para ahli sudah bisa menjelaskan, tentang makhluk yang bernama virus Corona itu. “Diberi nama Corona, karena mereka melihatnya ketika sudah mengetahui teknologinya. Kemudian mengerti bagaimana perilaku dari virus itu serta cara mempertahankan diri dari virus itu. Inilah yang menurut saya, pandangan yang sangat positif melihat keadaan,” tambahnya.
Kreativitas dan Jalan Keluar
Kemudian yang kedua, kata dia, di balik kesulitan itu ada kemudahan. Fainnama’al usri yusra, innama’al usri yusra. “Seringkali ayat ini dipahami dalam pengertian yang berkaitan dengan teologi. Itu tidak salah. Bahwa tiap kali kita ada masalah, pasti ada jalan keluar,” tuturnya.
Tetapi kalau ini dipahami dalam kontek kreativitas, maka di tengah kesulitan itu harus ada ikhtiar untuk bisa menyelesaikannya, sehingga kemudian ada jalan keluar dan ada kemudahan setelah kesulitan itu. “Karena itu maka, dengan pandangan ini kita yakin bahwa banyak teori dan temuan dalam berbagai bidang pengetahuan, lahir karena ada masalah. Lahir karena berbagai tantangan,” ungkap dia.
Ketika ada virus SARS misalnya, orang menemukan bagaimana antibodi atau obat agar kita bisa bertahan dari virus SARS itu. Ketika ada wabah kolera, maka manusia bisa menemukan obat yang bisa menyembuhkan penyakit kolera itu.
“Dan berbagai macam cerita yang bisa kita baca dari sekian ribu referensi bahwa banyak hal dan temuan dalam berbagai bidang, terutama dalam hal teknologi, dimulai dari adanya kesulitan dan adanya keinginan manusia untuk membantu sesama, dan memberikan yang lebih baik dengan ilmu yang dimiliki,” jelas Mu’ti.
Berbuat di Tengah Kesulitan
Karena itulah bagaimana Muhammadiyah menghadapi pandemi Covid-19? Tentu saja Muhammadiyah menghadapinya dengan iman, ilmu, dan melakukan karya-karya nyata dengan berbagai kreativitas. Hidup ini terus bergerak ke depan, maka dari itu harus bisa melihat ke masa depan.
“Nah, ME Award 2020 ini adalah bagian dari contoh, bagaimana kita tidak menyerah dengan keadaan. Bagaimana kita tetap bisa berbuat di tengah kesulitan. Selalu saja memang ada tantangannya, tetapi seiring waktu saya kira tantangan itu bisa kita hadapi,” ungkapnya.
Masalah itu, menurut Mu’ti, bukan sesuatu yang harus dihindari. “Tetapi masalah itu adalah bagian dari cara kita, dan bagian dari cara Allah untuk menjadikan kita ini menjadi lebih dewasa dan lebih kreatif lagi,” jelasnya.
Untuk itulah, kata dia, tema yang diambil bagaimana menghadapi pandemi dan masalah negeri ini, tidak lain adalah tema yang menggambarkan bagaimana visi dan karakter Muhammadiyah itu. “Sehingga karena itu, maka dalam kaitan ini bagaimana kita menjalankan pendidikan, yang sebagian besarnya masih daring. Mungkin sebagian lainnya sudah blended, antara daring dan luring. Saya kira ini bisa menjadi model untuk masa depan,” papar Mu’ti.
Pendidikan Berbasis Teknologi Online
Ke depan, sambungnya, jika pengalaman selama satu tahun ini berhasil, maka tahun-tahun berikutnya Muhammadiyah bisa mengembangkan pendidikan dengan pendekatan ini. “Maka itu, kami dari BSNP misalnya, menyusun standar pendidikan dan pembelajaran jarak jauh. Kami menyampaikan bahwa tren ke depan, dalam dunia pendidikan itu adalah pendidikan yang berbasis teknologi online,” tuturnya.
Jadi, lanjut dia, kalau ada definisi dalam undang-undang pendidikan nasional, bahwa pendidikan jarak jauh itu diberikan karena alasan geografis, pada saat undang-undang disusun, itu benar. Dan pada saat sekarang mungkin ada benarnya. Tetapi menurutnya, paradigma ke depan itu adalah paradigma di mana memang benar-benar secara online.
“Banyak sekali tulisan yang membahas mengenai hal itu. Kalau kita membaca bukunya Eric Schmid The New Digital Age, itu menjelaskan betapa kita akan bergerak ke arah dunia yang semakin digital. Ada tantangan digitalisasi,” ungkap dia.
Kalau baca bukunya Yuval Noah Hararitentang 21 Lessons for the 21st Century, yang juga menyebut tentang bagaimana dunia itu akan semakin bergerak ke arah big data, kemudian penguasa data itu yang akan mendikte dunia. “Dia menggambarkan betapa dunia pada saat itu, adalah dunia yang semakin digerakkan oleh teknologi, terutama teknologi internet,” paparnya.
Teknologi dan Keadaban
Mu’ti melanjutkan, bagaimana tiga hal yang menjadi ciri revolusi industri 4.0, internet for things, 3G/4G, artificial intelligence, itu semuanya akan semakin menjadi bagian dari kehidupan manusia di masa depan. “Tetapi tentu saja, teknologi itu, harus berjalan dengan keadaban, tidak cukup dengan kebudayaan saja. Tetapi harus berjalan dengan keadaban,” jelasnya.
Karena itu, ketika orang berbicara tentang revolusi industri 4.0, beberapa sudah mengenalkan society 5.0, yang di situ terjadi perpaduan antara kemajuan teknologi dengan keadaban manusia. Bagaimana teknologi itu memungkinkan manusia semakin banyak membantu melayani sesama umat manusia.
“Tetapi juga bagaimana keadaban manusia itu, bisa menjadi bagian dari kita membangun tata kehidupan dunia yang lebih baik. Membangun relasi antar manusia, yang lebih sering menghormati antara manusia satu dengan manusia lainnya. Teknologi di tangan orang yang biadab, itu akan menimbulkan kebinasaan dunia. Tetapi teknologi di tangan orang yang beradab, akan mendatangkan kemaslahatan dunia,” ujar Mu’ti.
Karena itu, lanjutnya, dari berbagai kesulitan dan pengalaman ini, akan menjadi one step head, bagian dari satu langkah ke depan untuk kita bisa memulai hal-hal yang baru. “Saya membaca, anak-anak kita, dan guru-guru di Muhammadiyah ini banyak sekali menemukan inovasi selama pandemi. Warga persyarikatan juga banyak menemukan temuan, yang memberikan bantuan dan jalan keluar bagaimana kita bisa menghadapi berbagai kesulitan,” ungkapnya.
Dan inilah, bagaimana para ilmuwan itu menjadi kelompok yang distingtist dan distinguish. “Menjadi kelompok yang senantiasa menjadi suluh dan tidak pernah luruh di tengah berbagai kesulitan yang dihadapi. Dan pengalaman ini sekali lagi, mudah-mudahan bisa menjadi apa yang akan kita lakukan di masa-masa yang akan datang,” tandas Mu’ti. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.