PWMU.CO – Gap berlapis dan ketuarentaan dini yang terjadi pada lembaga pendidikan di Indonesia menjadi tantangan Muhammadiyah saat ini. Hal tersebut dijelaskan Prof Djoko Saryono MPd dalam rangkaian Grand Opening Muhammadiyah Education Awards (MEA) Special Edition 2020, Selasa (15/12/2020).
Guru Besar Universitas Negeri Malang itu memberikan gambaran kesenjangan kemajuan termasuk di dalamnya pendidikan antara negara-negara utara dan selatan. Hal itu, kata dia, ada dalam buku karya Tony Wagner berjudul The Global Achievement Gap tahun 2011.
“Nah Indonesia ini dimasukkan negara selatan yang kemajuannya sangat kambat dan sering terlambat,” ungkapnya.
Djoko Saryono mengatakan, ada enam keterampilan yang di negara utara diajarkan, di Indonesia tidak. Salah satu yang tidak banyak diajarkan, lanjutnya, yaitu membiasakan untuk berimajinasi dan hasrat ingin tahu yang terdukung.
“Ini salah satu di antara enam yang disebutkan Tony Wagner itu,” ujarnya.
Menurutnya, untuk menutup kesenjangan itu, secara teknis standar-standarnya harus pasti. “Jadi saya buka dari hasrat selalu ingin tahu atau imajinasi itu konten yang selalu ada untuk memajukan pendidikan tetapi di tempat kita dilalaikan,” kritiknya.
Djoko Saryono menegaskan, sebenarnya kompetensi imajinasi itu bisa diselipkan di semua mata pelajaran. Tapi mungkin di sisi kita dianggap tidak berkembang karena anak-anak pasti banyak bertanya. “Dicap sebagai rewel, akeh takone, uwes gak onok puase iku, dan sebagainya,” ujarnya.
Intinya, kata dia, kita harus istikamah teguh pada standar. Menurut Djoko Saryono, kita ini belum istikamah pada standar-standar yang kita tuju. “Bagaimana sekolah bisa mencapai standar dan tertutup gap kesenjangannya jika standarnya terus diubah?” ungkapnya.
Ia mencontohkan pada awal reformasi dibuatlah standar pelayanan minimal. Lima tahun kemudian diubah standarnya, padahal sekolah sudah mau mencapai itu. Sekolah kemudian mengejar standar baru.
“Mestinya tercapai tahun 2009, eh tahun 2009 diubah lagi. Sekolah gak mencapai standar lagi. Begitu seterusnya,” jelasnya.
Djoko Saryono mengatakan, hal itulah yang disebut dengan budaya ketuarentaan dini. “Rasanya sudah ketinggalan dan lain-lain,” ujarnya.
Solusi yang Bisa Dilakukan
Lalu apa yang harus dilakukan? Menurutnya, fleksibilitas dan kreativitas yang lebih maksimal sangat penting, lebih-lebih soal keberanian terhadap kurikulum.
Djoko Saryono mengaku mendukung sistem zonasi untuk menutup kesenjangan antar wilayah, setelah itu baru kesenjangan antarsekolah. Yang ketiga kesenjangan antarmata pelajaran.
“Jadi kesenjangan kita itu berlapis-lapis. Makanya perlu pemerataan guru yang berkualitas. Nah ini pertanyaan besar untuk menutup kesenjangan kualitas,” ungkapnya.
Ia menegaskan, sekolah-sekolah Muhammadiyah harus bersinergi. Setidaknya, ia berharap di lingkungan Muhammadiyah ini terjadi kesetaraan mutu.
“Sumber daya itu bagaimana dipakai bersama, ya bisa fasilitas, bisa guru, saling dibagikan, kemudian terbuka untuk luar. Tapi bisa juga melakukan kerjasama dengan pihak luar,” pesannya. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.