PWMU.CO – Almarhum Abdullah Masmuh MSi yang meninggal dunia, Selasa (15/12/2020), merupakan sosok yang baik dan hangat. Dia disiplin, pekerja keras, sekaligus romantis. Tak heran jika kepergiannya meninggalkan banyak kenangan bagi kolega, sahabat, dan keluarga. Ada cerita menarik saat detik-detik terakhir sebelum dia wafat.
Di mata Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Fauzan, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UMM ini adalah orang yang baik, kalem, dan tawadhu. Fauzan menyampaikan kesaksian itu di depan petakziyah usai menyalatkan jenazah di Masjid AR Fachruddin UMM.
Menurut Joko Susilo—Kepala Sekertariat Rektor UMM yang juga sama-sama dosen senior di Prodi Ilmu Komunikasi—Masmuh adalah pekerja keras. “Beliau ini suka bekerja tanpa banyak kata-kata, berkarya melalui ketekunan dan berfilosofi seperti air: mengalir mengikuti alur,” ujarnya kepada PWMU.CO, Rabu (16/12/2020).
Kesan lainya diutarakan Nasrullah, juga dosen Prodi Ilmu Komunikasi UMM. Menurutnya, Masmuh adalah tokoh spiritual di prodi komunikasi. “Jika terjadi kebuntuan dalam rapat, misalnya, selalu dimintakan pendapatnya untuk menentukan,” ungkapnya.
Kenangan juga disampaikan Rino Anugerawan. Mantan Ketua Jurusan UKM Jufoc UMM—lembaga semi otonom (LSO), mewadai mahasiswa yang memiliki hobi fotografi di tingkat prodi—itu mengungkapkan kesan baik almarhum selama menjadi Wakil Dekan III FISIP UMM.
“Beliau yang mendorong agar LSO Jufoc bisa dinaikkan sekelas fakultas. Agar kebermanfaatanya semakin luas” ungkap Rino.
Kebaikan Masmuh juga diakui mahasiswanya. Seperti disampaikan Tjipto Aldike Wandari Noviantikoso, mahasiswi S1 Prodi llmu Komunkasi lulusan tahun 2018. Menurutnya, almarhum adalah dosen pembimbing yang sabar dan mampu memahamkan apa yang sebelumnya tidak diketahinya.
“Saya tidak pernah dimarahi atau disalah-salahkan. Apa yang menurut almarhum kurang tepat selalu diberitahu dan diberikan solusi sehingga saya menjadi paham, meski saat membimbing almarhum menjabat sebagai Kabiro Kemahasiswaan namun beliau masih menyempatkan waktu untuk membimbing dengan sabar,” ungkapnya.
Almarhum Abdullah Masmuh di Mata Anak-anaknya
Selain mengabdi sebagai akademisi di UMM, Abdullah Masmuh juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang jejeg. Sejak SD hingga kuliah, Masmuh selalu sekolah di Muhammadiyah.
Yaitu MI Muhammadiyah 1 Godog, Laren, Lamongan; SMP Muhammadiyah 8 Laren, Lamongan; SMA Muhammadiyah 1 Tuban, S1 UMM Ilkom, dan S2 UMM Ilmu Sosiologi Pedesaan. Saat ini Masmuh sebenarnya sedang menempuh Pendidikna S3 di Unhas Makassar.
Aktivis kelahiran Desa Godog, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, 16 Desember 1967 itu semasa kuliah aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Dia juga pernah Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Malang dan Bendahara PDM Kabupaten Malang (2010-2010).
Abdullah Masmuh meninggalkan tiga orang anak, yaitu Noval Azmi Amrullah (23), Irfan Tajudin (21), dan Zulfa Rosyida (18). Ketiga anaknya ini disekolahkan di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorrogo.
Masmuh dikenal disiplin dalam mendidikan anak-anaknya. Sebagaimana diungkapkan Noval, anak pertamanya. “Abah sering menegur kami jika bermain melewati waktu shalat. Abah pasti mencari hingga ke sawah sampai ketemu. Lalu kita dijewer karena tidak shalat tepat waktu,” ungkapnya mengenang.
Tentang menggatkan shalat tepat waktu bukan hanya saat anak-anaknya masih kecil. “Abah sering mengingatkan untuk shalat tepat waktu sekalipun kami sudah besar dan berada di pondok. Hal yang ditanyakan tak lepas dari pertanyaan sudah shalat apa belum?” tambahnya.
Menurut Noval, abahnya—panggilan lain untuk bapak atau ayah—tergolong orang yang istikamah menjalankan ibadah. “Selalu ngaji sehabis shalat Magrib dan juga melakukan shalat Dhuha tak pernah putus. Itu benar-benar kami ingat,” kenang Noval. Selain itu, lanjutnya, Abah orangnya kritis dan perfeksionis.
Dalam kenangan Irfan—anak keduanya—Masmuh tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Da teliti dan kritis. Irfan mencontohkan ketika diminta untuk membersihkan kolam ikan, abahnya selalu mengecek apakah pekerjaanya sudah benar-benar tuntas.
“Sekalipun ada selang (pipa) yang belum dirapikan, Abah meminta untuk menuntaskan pekerjaan tersebut dengan merapikanya,” ujarnya. “Abah mendidik kami untuk bisa bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang kita perbuat. Dari hal-hal kecil yang kita lakukan tiap hari.”
Irfan masih ingat betul bagaimana abahnya menyempatkan waktu untuk berbicara dengan keluarga. “Ketika berkumpul di rumah, abah selalu menanyakan ada berita apa hari ini. Lalu kami semua dimintai tanggapan dari berita tersebut,” tuturnya.
Menurut dia, aktivitas tersebut biasanya dilakukan sambil memijat abahnya. “Lalu kami berbagi pendapat. Dan abah tidak pernah menyalahkan pendapat kami,” terang dia.
Bahkan abahnya pernah bilang, “Kamu boleh beda pendapat dengan Abah, dan Abah tidak marah. Tapi kamu harus menjelaskan alasanya. Dan kamu harus bertanggung jawab dengan alasan tersebut.”
Irfan mengatakan, apa-apa yang diajarkan abahnya itu kemudian sangat berkesan dan menjadi pelajaran hidup baginya. “Saya belajar banyak dari Abah. Saya ingat Abah mencontohkan tentang komitmen yang kuat. Abah dulu punya jadwal tiap harinya. Mau ke perpus hari apa, mau berorganisasi di jam berapa dan mau mengerjakan tugas apa di hari apa,” kenangnya.
Dia menceritakan, abahnya tidak pernah mengerjakan tugas dengan terburu-buru karena semua sudah ada jadwalnya. “Dan Abah melakukanya secara konsisten. Jam 11 malam Abah selalu menjadwal diri untuk tidur sekalipun malam Ahad atau ada acara organisasi. Abah pasti izin untuk pulang terlebih dahulu. Abah terbiasa menuntaskan pekerjaan di siang hari sehingga tidak ada waktu begadang di malam hari,” ungkapnya.
“Setiap malam Abah membuat jadwal lalu di keesokan harinya Abah melakukan apa yang sudah dijadwalkan dan malam hari Abah kembali melihat apa yang sudah dilakukan dan belum dilakukan. Dan kembali merencanakan untuk aktivitas keesokan harinya,” imbuhnya.
Irfan menambahkan pesan abahnya yang selalu ia pegang, “Kamu harus menjadi orang yang punya komitmen. Dan itu harus dilatih sejak sekarang,” ujarnya menirukan.
“Abah juga berpesan kita tidak boleh mengandalkan ilmu di kelas saja. Jadi kita juga harus mencarinya di luar, bisa berorganisasi atau yang secamnya,” tambah da.
Romantis pada Istri
Menurut Noval, abahnya tidak pernah bersikap keras dan kasar kepada ibunya: Sri Subekti. “Abah tidak pernah memukul atau membentak. Bahkan Abah selalu menyempatkan memberikan surprise kepada ibu saat hari ulang tahunya tiba,” ujarnya.
Bahkan menurut Noval, abahnya sangat romantis pada istrinya. “Saya baru tahu kemarin saat mendampingi Abah di rumah sakit. Abah selalu memanggil Ibu dengan panggilan ‘sayang’ ketika meminta apapun. Sebelumnya saya tidak tahu karena sehari-hari tidak terlalu intens bersama Ibu dan Abah. Karena mereka berdua punya aktivitas masing-masing,” ungkapnya.
Romantisme Masmuh juga terlihat dari pendampingannya pada Sri Subekti saat ada tugas. “Ibu juga dipersilakan Abah untuk bisa melakukan aktivitas lain selain mengajar, selama itu baik. Ibu aktif menulis. Abah juga sering mendampingi ibu saat ada lembur kerjaan. Abah rela ikut begadang mendampingi hingga Ibu menyelesaikan pekerjaanya,” kenang Noval.
Detik-Detik Terakhir
Noval menjelaskan, dia dan ibunya selalu mendampingi abahnya hingga ajal menjemputnya. Menurutnya, indikasi sakit liver abahnya sudah terdeteksi saat general chek up setahun terakhir. “Namun Abah tidak merasakan gejala apa-apa sehingga tidak melakukan pemeriksaan lanjutan,” ujarnya.
Menurutnya, ibunya yag guru Ilmu Biologi sebenarnya sudah merasakan ada yang aneh pada kondisi abahnya sebulan terkahir. “Keringat dingun terus mengucur dalam diri Abah. Sekalipun Abah merasa baik-baik saja dan hanya merasa seperti demam biasa,” ujarnya.
“Dan ternyata hasil labnya di atas normal. Sehingga sepekan terakhir Abah mau dibawa ke rumah sakit dengan dorongan keluarga besar yang sedang berkunjung ke rumahnya,” ungkapnya.
“Cairan Abah sempat disedot namun kondisi semakin drop hingga akhirnya Selasa, selesai melakukan shalat jamak Qasar Dhuhur-Ashar lalu makan, Abah menghembuskan nafas terkahirnya,” kenangnya.
Noval mengaku, bersama ibunya dia selalu membersamai dan menalkin abahnya di detik-detik terakhir wafatnya. “Meski tidak ada suaranya bibir Abah terlihat sedang mengucap kalimat-kalimat Allah,” ujarnya.
Yang juga sangat dikenang Nauval, abahnya itu meninggal H-1 sebelum ultahnya. “Padahal sebelumnya dibilangin sama Ibu nanti insyallah hari ultah kadonya kesembuhan,” tuturnya. (*)
Penulis Maharina Novi. Editor Mohammad Nurfatoni.