PWMU.CO – Sekularisme di Prancis yang sudah diundangkan, bertujuan melindungi apapun keyakinan agama yang berkembang dan hidup di sana.
Demikian penuturan Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Prancis Andar Nubowo dalam Upgrading Pimpinan Muhammadiyah yang digelar Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ahad (13/12/2020).
Selain Andar Nubowo, dalam kegiatan virtual tersebut juga mengundang narasumber lain, yaitu Duta Besar RI di Libanon yang juga Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Hajriyanto Yasin Thohari.
Sekularisme di Prancis
Pada awal paparannya, Andar menyebut perdebatan antara Islam, Republik Prancis, dan sekularisme itu sudah terjadi sejak 20-30 tahun terakhir. “Hampir tiap hari, pada periode awal tinggal di Prancis 2006-2015, tema ketiga hal tersebut selalu menjadi diskusi panas media-media Prancis. Baik di TV, koran maupun radio,” ujarnya.
Pada periode kedua tinggal di Prancis, kata Andar, tema diskusi tentang Islam, sekularisme, dan juga Republik Prancis juga masih panas. “Bahkan sejak 2015 hingga yang terbaru pembunuhan Samuel Patty itu memunculkan diskusi kembali, apakah Islam di Prancis itu sesuai dengan gagasan-gagasan republik,” ungkapnya.
Andar mengatakan, salah satu argumen dan gagasan pesimistik mengatakan, Islam dan Prancis dan nilai-nilai Prancis itu tidak bersesuaian.
“Islam itu tidak cocok dengan nilai Prancis yang berdemokrasi, hak asasi manusia, dan sekularisme. Sekularisme dalam istilah Prancis itu berbeda dengan yang di Inggris atau yang kita kenal sekarang,” papar pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, itu.
Islam dan Prancis
Dia juga menyampaikan, jika ada pandangan yang optimistik, yang mengatakan bahwa Islam dan Prancis dengan nilai-nilainya itu seiring-berkelindan. Tidak ada bentrokan nilai atau prinsip antara Islam dan nilai-nilai Prancis.
“Ini biasanya disebut oleh pemuka-pemuka muslim di Prancis seperti Abdul Wahab Meddeb, mereka mengatakan, bahwa Islam itu sesuai dengan prinsip demokrasi. Ada syura, musyawarah, musawah, keadilan dan sebagainya,” tuturnya. Yang itu, sambung dia, sama dan berkelindan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang ditegakkan di Prancis.
“Ada juga pemikir-pemikir non-muslim, sarjana-sarjana terkenal di Prancis yang mengatakan bahwa, terorisme Islam yang seringkali dikaitkan dengan bayi atau anak kandung dalam Islam itu kata mereka adalah persepsi yang keliru dan salah,” tambah Andar.
Radikalisme dan terorisme itu, sambungnya, bukan bayi dan anak kandung dalam Islam. Tetapi adalah upaya dari sekelompok kecil orang yang menjadikan Islam sebagai legitimasi tindakan kejahatan kriminalitas tadi.
“Ini justru dari pandangan-pandangan atau pemikir-pemikir sarjana-sarjana non-Muslim atau Prancis mengatakan demikian,” kata dia.
Jadi, mengaitkan radikalisme dengan Islam adalah pendapat yang tidak berdasarkan fakta sosial dan juga ilmiah di lapangan.
“Itu adalah pandangan politik yang biasanya dipakai tokoh ekstremis, yang menjadikan isu umat Islam sebagai upaya untuk menaikkan citra dan suara partai politiknya dari pemilu ke pemilu,” terang Andar Nubowo.
Kebebasan Beragama di Prancis
Umat Islam di Prancis, kata Andar, selama ini cukup menikmati kebebasan beragama. Hal itu ditandai dengan bebasnya kita melaksanakan ibadah. Ada juga pembangunan masjid di mana-mana, kemudian pusat-pusat budaya Islam juga dikembangkan. Bahkan, didukung oleh pemerintah di Prancis.
“Misalnya di Lyon, Prancis, tahun 2016 diresmikan Pusat Kebudayaan Islam di Prancis, yakni Pondok Pesantren Kebudayaan Islam di Prancis, ini menarik,” katanya.
Kemudian, sambung Andar, jilbab juga bebas dipakai Muslimah di tempat-tempat publik. Meskipun untuk di sekolah sejak tahun 2004, para siswa dari TK sampai SMA itu tidak boleh menggunakan simbol agama termasuk jilbab. Kemudian juga ada undang-undang tentang simbol agama, yang tidak memungkinkan siswi muslimah itu menggunakan jilbab.
“Ini juga berlaku bagi siswa yang non-Muslim. Siswa Yahudi tidak boleh menggunakan kipa ke sekolah, yang Kristen juga tidak boleh menggunakan kalung salib di sekolah. Tapi di luar sekolah dipersilakan untuk menggunakan simbol-simbol tadi,” ungkapnya.
Jadi memang ada aturan, bagaimana agama itu bisa tampil dan bisa bebas dan di mana negara itu bisa mengatur di ruang publik, terutama di sekolah-sekolah juga di kantor birokrasi supaya tidak terjadi timbulnya bentrokan keagamaan, the clash religion di Prancis.
”Jadi sekularisme Prancis yang diundangkan itu bertujuan untuk melindungi apapun keyakinan agama yang berkembang dan hidup di Prancis,” papar Andar.
Ekspansi Muslim ke Eropa
Pada poin terakhir, Andar memberi paparan jika Islam itu sebenarnya sudah ratusan tahun hadir di Prancis. Terutama ketika Khilafah Utsmaniyah, sampai kemudian ada upaya ekspansi Muslim ke daratan terdalam Roma, termasuk ke wilayah Prancis. Sehingga terjadi perang di Tours.Tentara-tentara muslim sudah sampai ke kota itu, tapi sudah dihadang oleh pasukan non-Muslim kemudian kalah.
“Maka itulah kemudian takdirnya, Islam itu tidak bisa berkembang ke tanah Eropa. Mungkin, kalau pada saat itu, pasukan Islam dapat mengalahkan konsorsium pasukan-pasukan non-Muslim di Prancis, mungkin Eropa sekarang sudah menjadi wilayah Islam. Tapi Allah, yang tentu saja punya takdir dan kehendak lain, bahwa Islam hidup di Spanyol dan kita tahu belum bisa berkembang di Eropa,” ujarnya.
Tetapi setelah perang dunia II, kata Andar, imigran-imigran muslim dari Afrika Utara, Timur Tengah, terutama dari jajahan negara-negara Prancis seperti di Afrika, Aljazair, Mali, itu berbondong-bondong ke Prancis untuk merekonstruksi Prancis dari perang dunia kedua.
“Ini yang saya maksud diubah masuknya Islam kedua ke Prancis. Jadi ada dua, pertama pada Khilafah Utsmaniyah, ada juga gelombang Islamisasi pada perang dunia kedua,” jelasnya.
Muslim Terbesar
Andar lalu menyampaikan, pada 1945 saat Perang Dunia II, jumlah umat Islam di Prancis hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian pada 1980 itu naik 40-50 kali lipat jumlahnya. “Tahun 2000, umat Islam di Prancis itu 5-10 persen dari 67 juta penduduk Prancis. Kurang lebih 6-7 juta, yang cukup besar di kalangan Eropa,” ungkap dia.
Prancis ini, sambung dia, menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di Eropa. Di bawahnya ada Belgia, Inggris, Jerman, dan sebagainya. Secara umum di Eropa ini, tidak ada satu negara yang tidak ada muslimnya.
“Dan kehidupan beragama tidak ada persoalan, meskipun juga seiring dengan krisis ekonomi yang melanda Eropa termasuk di Prancis, ada upaya-upaya menjadikan Islam sebagai biang kerok atau kambing hitam dari berbagai persoalan dan situasi sosial dan ekonomi yang ada di Eropa,” jelasnya.
Maka, ada upaya dari organisasi Islam moderat di Prancis, termasuk PCIM Prancis ingin mencoba menampilkan Islam di Prancis dan Eropa sebagai umat washatiyah, moderat, bisa bergaul dengan siapapun, menjaga iman kita. “Sekaligus juga Islam itu mendamaikan dan memajukan,” tandas Andar. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.