Haedar Nashir Ajak Belajar Ijtihad Politik Kasman Singodimedjo dan tokoh Islam lainnya. Urusan politik adalah muamalah diniawiah, karena itu terbuka jalan ijtihad.
PWMU.CO – Mr Kasman Singodimedjo diabadikan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Namanya menjadi salah satu aula di FISIP UMJ: Auditorium Mr Kasman Singodimedjo, yang diresmikan Selasa (22/12/2020).
Selain itu, bukunya yang berjudul Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo Ke-116 Tahun, kembali diterbitkan sekaligus diluncurkan dan didiskusikan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir MSi hadir sebagai keynote speech. Dia menyampaikan kiprah perjuangan dan jejak Kasman Singodimedjo. Sebagai tokoh Muhammadiyah, tokoh pergerakan Indonesia, dan tokoh Nasional.
“Penghargaan itu tentu tidak seberapa dari jejak Pak Kasman yang sedemikian rupa. Baik dalam pergulatan politik, dalam perjuangan kemerdekaan, maupun dalam pemikiran sampai pada langkah-langkah beliau menjadi suri tauladan bagi kita sebagai generasi muda muhammadiyah dan generasi bangsa,” ujarnya.
Menurutnya Kasman merupakan satu rangkaian perjuangkan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai Pahlawan Nasional. Ada Ki Bagus Hadikusumo (2015), Kasman Singodimedjo (2018), dan Abdul Kahar Muzakir (2019).
Haedar menceritakan, dari ketiga tokoh ini yang agak alot perjuangannya sebagai Pahlawan Nasional adalah Kasman. “Allahuyarham Pak Fatwa sampai beliau meninggal tahun 2017, sampai tidak sempat menyaksikan penganugrahan ini,” ujarnya. AM Fatwa adalah salah satu tokoh yang memperjuangkan gelar itu.
Menurut dia, ada kendala birokrasi di Purworejo, Jawa Tengah yang tidak berani merekomendasikan Kasman karena dia pernah dipenjara karena pidana politik. “Sampai kita sempat bertemu Sultan Hamengkubuwono X. Sultan memberi solusi waktu itu diusulkan dari DIY saja agar lebih leluasa karena pak kasman sempat tinggal di Yogya,” jelasnya.
Tapi, belum sampai opsi itu dilaksanakan, Haedar—dengan masukan beberapa pihak—langsung menyampaikan permasalah itu ke Presiden.
“Baik untuk Ki Bagus maupun Pak Kahar. Dan saya sampaikan kesulitannya seperti itu. Waktu disampaikan jika tidak ada keberanian dari Presiden maka SK Pahlawan ini tidak akan pernah keluar. Saya sampaikan begitu. Alhamdulillah tidak lama kemudian seminggu dari itu disampaikan insyaallah Pak Kasman akan dikeluarkan SK-nya,” terangnya.
Haedar mengatakan, itulah dinamika hidup yang penuh warna, yang dijalani oleh setiap tokoh. “Tentu punya ceritanya sendiri-sendiri. Tetapi ala kulli hal bahwa negara sudah secara sah mengakui Ki Bagus, Pak Kasman, dan Kahar Mudzakkir sebagai Pahlawan Nasional,” ungkapnya.
“Bagi ketiga beliau, keluarga, dan bagi kita secara substantif beliau tidak memerlukan itu. Tetapi bagi kepentingan generasi bangsa dan kepentingan negara dan sejarah gelar Pahlawan Nasional itu menjadi sesuatu yang penting,” tambahnya.
Itu artinya, negara telah mengakui perjalanan, jejak, dan perjuangan para tokoh nasional. “Dan alhamdulillah dari rangkaian Muhammadiyah, sudah ada 15 tokoh yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional,” ungkap dia.
Ijtihad Politik
Haedar menjelaskan secara umum tokoh-tokoh Muhammadiyah punya integritas yang tinggi, meskipun memiliki artikulasi yang berbeda satu sama lain. Tapi semuanya memperjuangkan prinsip-prinsip keislaman dalam berbangsa dan bernegara. Juga prinsip-prinsip kemanusiaan.
“Nilai-nilai ini yang mestinya kita gali, kita reproduksi bagi anak-anak muda bahwa perjuangan itu tidak instan. Dan ada banyak dinamika di dalam berjuang,” tegasnya.
Menurut Haedar buku Kasman ini penting untuk dibaca ini karena sangat cocok menggambarkan sebuah perjuangan hidup, yang dalam Islam disebut jihad fi sabilillah.
Dia menegaskan, jihad fi sabilillah itu merupakan jalan yang berada dalam keridhaan Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjaga prinsip Islam dalam kehidupan.
“Jihad itu bisa dengan amwal (harta), dengan anfus (jiwa), dengan ilmu dan lain sebagainya. Karena itu para generasi muda sekarang mengikuti jejak Pak Kasman sebagai tokoh bangsa, tokoh Muhammadiyah, adalah dengan ilmu, dengan pemikiran, dengan perjuangan lain,” pesannya.
Haedar melanjutkan, “Kita bisa meneruskan apa yang telah dirintis oleh tokoh besar ini dan sudah menjadi torehan sejarah yang kuat di tubuh umat Islam. Bagaimana Pak Kasman bersama tokoh-tokoh lain kemudian ‘membujuk’ Ki Bagus untuk setuju dalam perubahan tujuh kata (Piagam Jakarta).”
Menurut dia, persetujuan itu—baik dari Ki Bagus dan tokoh yang lain—bukan karena keterpaksaan tapi sebuah ijtihad untuk mengutamakan yang terpenting dari yang penting.
“Situasi satu hari baru merdeka, baru proklamasi. Kemudian kita ingin menjaga keutuhan bangsa. Akhirnya Ki Bagus juga bersedia. Tetapi persetujuan itu bukan tanpa pemikiran yang mendasar karena dari tujuh kata yang bersifat syariah menjadi satu rangkain kata Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi prinsip tauhid bagi umat Islam,” terangnya.
“Waktu itu memang kompromi dengan Bung Hatta sekitar 15 menit sebelum sidang BPUPKI yang Pak Kasman menjadi anggota tambahan. Saya pikir karena ada titik temu, Ki Bagus membawa kata prinsip tauhid di dalam kata Ketuhanan, lalu Bung Hatta mencari formula dengan bahasa yang Maha Esa yang bisa diterima oleh banyak pihak secara inklusif. Titik temu ini saya pikir menjadi down agreement yang kuat sampai sekarang ini,” jelasnya.
Haedar menjelaskan jika Muhammadiyah merumuskan pesan dan mengambil keputusan pada Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 tentang Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah, sebenarnya titik tolak dari aspek sejarah dan substansi kompromi yang dipelopori oleh Kasman dan Ki Bagus ini. “Dan ini bukan kehilangan namun sebagai hadiah terbesar ummat Islam untuk bangsa dan negara,” tegasnya.
“Ada nilai-nilai negosiasi, tapi ada prinsip, lalu ada fleksibelitas. Itu penting juga menjadi cara berpikir kita di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena wilayah muamalah duniawiah itu memang spektrumnya dari alfa sampai beta, bahkan dari A sampai Z,” pesannya.
Menurut Haedar urusan muamalah duniawiah—termasuk urusan berbangsa dan bernegara—bukan merupakan pilihan-pilihan yang sempit dan hitam putih. “Itu areanya muamalah duniawiah, di mana Ki Bagus, Pak Kasman dan tokoh-tokoh Islam itu memegang prinsip-prinsip keislaman tetapi juga kemudian bernegosiasi urusan kebangsaan dan kenegaraan dengan prinsip muamalah duniawiah,” tegas dia.
Menurut Haedar pola politik urusan muamalah duniawiah itu tidak ada yang absolut, qad’i, dan tunggal. Selalu ada jalan ijtihad. Karena itu dia berharap agar tokoh-tokoh muda yang menggeluti politik Islam untuk tetap menjaga relasi keislaman dan keindonesiaan, seperti yang ditunjukkan Ki Bagus, Kasman, dan para tokoh Islam yang lain. Tapi pada saat yang sama juga terbuka untuk ijtihad politik ke depan.
“Tugas kita sekarang adalah bagaimana ide-ide yang cemerlang dan ijtihad politik ataupun bangsa termasuk Pak Kasman itu kemudian diformulasikan. Mungkin juga perlu reformulasi dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, yang perubahan zaman terjadi saat ini dan ke depan,” jelasnya
“Untuk 20-30 tahun ke depan politik Islam di Indonesia dengan lanscape perubahan yang terjadi saat ini dan peta sosiolologi politik Islam saat ini itu perlu di reformulasi. Kalau hanya copy paste dari Islamisme masa lampau menurut saya tidak cukup memadai mana yang masa lampau itu diambil prinsip dasarnya tapi formulasi strategi kemudian ekspresi dan artikulasi perlu ada pembaharuan juga,” jelasnya. (*)
Penulis Syahroni Nur Wachid. Editor Mohammad Nurfatoni.