Pembubaran FPI seperti Kisah Al Capone Loncat ke Dr Zhivago oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam.
PWMU.CO-Kemarin siang, didampingi beberapa profesor, Menkopolhukam Mahfud MD mengumumkan bahwa FPI telah bubar dan tidak memiliki lagi legal standing. Lalu melarang FPI melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan yang disebutkan dalam konsideran surat keputusan pemerintah seolah-olah sebuah organisasi yang paling berbahaya di republik ini.
Hemat saya, ini upaya putus asa pemerintah untuk menghentikan sebuah trajectory (lintasan) yang ditempuh rezim untuk membawa republik ini ke jurang kehancuran. Kesalahan ditutup-tutupi dengan kesalahan yang makin besar.
Ini sekaligus upaya untuk membelokkan perhatian masyarakat atas skandal pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh aparat kepolisian atas penembakan enam laskar FPI baru-baru ini di KM 50 tol Cikampek.
Saat Wamenkumham Prof Omar Sharif mengumumkan Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan kepala lembaga negara dalam rangka menghentikan FPI, saya membayangkan peristiwa ini seperti upaya memindahkan fokus perhatian publik dari kasus tokoh mafia Al Capone di Chicago ke kisah Dr Zhivago di Moscow.
Saya membacanya sebagai upaya memindahkan dari kejahatan telanjang nyata ke fiksi roman. Seperti sinyalemen Yudi Latief beberapa waktu lalu, apakah arus besar kedunguan sedang mentsunami republik ini, sehingga para profesor rela mempertaruhkan kredibilitasnya untuk mengingkari amanat konstitusi.
Maladministrasi Publik
Sesi pengumuman kemarin siang adalah bukti terbaru maladministrasi publik, di mana hukum diciptakan dan ditafsirkan semena-mena untuk kepentingan penguasa. Bukan untuk kepentingan publik.
Yang tahu plot licik ini adalah Munarman. Dia bersama pimpinan FPI segera mendeklarasikan Front Persatuan Islam yang disingkat FPI juga. Pembubaran FPI tak perlu ditangisi. Mereka langsung move on membuat kendaraan baru. Sebab organisasi bukan tujuan. Hanya kendaraan. Kalau kendaraan rusak tak bisa dipakai maka beli baru untuk mencapai tujuan sebenarnya.
Mereka masih terhubung lewat jejaring dunia nyata dan medsos. Sebagaimana ormas Facebook yang beranggotakan dua miliar lebih pengguna, organisasi di era internet sekarang ini semakin menjejaring. Dengan struktur yang pipih, horizontal. Dengan hubungan antar simpul yang sukarela, lentur, dan dinamis. Yang mengikat anggotanya cuma satu: kesetiaan pada visi yang sama. Persetan dengan legal standing. (*)
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya
31/12/2020
Editor Sugeng Purwanto