KH Ahmad Dahlan Radikal Versi Hatta, oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh Islam.
PWMU.CO – Belakangan ini, boleh jadi, banyak orang yang merasa tak nyaman jika disebut sebagai orang radikal. Sikap seperti ini, jelas tidak tepat, jika mengacu kepada ‘definisi’ radikal menurut Mohammad Hatta. Bahkan, dalam kaitan ini, KH Ahmad Dahlan bisa disebut seorang radikal. Mengapa?
Ada buku bagus yang terbit dan beredar pada Desember 2020. Judulnya, Tokoh-Tokoh Fenomenal Penggetar Nalar. Buku itu karya terbaru dari Yusuf Maulana, seorang penulis produktif. Di buku setebal 296 halaman itu, ada bahasan yang menarik: Tentang “Radikal”, di halaman 162-165.
Usai baca bahasan itu, siapapun pasti akan merasa bangga jika disebut radikal. Bangga, kalau menggunakan ukuran radikal seperti yang dipikirkan oleh Mohammad Hatta (1902-1980).
Empat Kriteria Radikal
Bagi Hatta, setidaknya ada empat indikator seseorang itu radikal, yaitu: beriman teguh, berakhlak mulia, sesuai antara kata dengan perbuatan, dan bekerja teratur dengan semangat yang kuat.
Agar mudah membayangkan sosok radikal, mari kita pakai ukuran radikal itu untuk ‘menimbang’ KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Lho, kok, KH Ahmad Dahlan? Pemilihan figur ini mungkin aneh bagi sebagian fihak, mengapa harus pendiri Muhammadiyah yang dijadikan sebagai contoh soal?
Alasannya, Ahmad Dahlan, bagi (hampir) semua orang adalah orang baik. Sebagai pendakwah dia sukses. Kepribadiannya yang baik sudah sangat dikenal, baik di masa lalu, zaman kini, dan insyaallah sampai di era nanti. Selaku orang pergerakan dia punya jasa yang tak sedikit. Terkait hal yang disebut terakhir itu, tak mengherankan jika kemudian beliau dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Kita mulai. Pertama, orang radikal itu beriman teguh. “Orang bersifat radikal bukan karena besar mulutnya, melainkan karena teguh iman dan kuat rukunnya,” kata Hatta (h. 163).
Silakan timbang Ahmad Dahlan. Bagi semua Muslim, termasuk Ahmad Dahlan, iman kita harus berjalan paralel dengan amal kita. Ahmad Dahlan mengimani al-Quran, termasuk al-Maun di dalamnya. Beliau buktikan keimanannya dengan antara lain aktif menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Sampai hari ini, aktivitas itu terus dilanjutkan oleh segenap warga Muhammadiyah dan simpatisannya.
Radikal Berakhlak Mulia
Kedua, orang radikal itu berakhlak mulia. “Radikalisme itu tidak bergantung kepada tanda-tanda dari luar, melainkan kepada budi dan pekerti. Pendeknya, kepada semangat,” tutur Hatta (h. 163).
Silakan timbang Ahmad Dahlan. Akhlak beliau pasti baik jika melihat skala pergaulannya yang luas. Perhatikanlah, untuk sekadar menyebut contoh: beliau seperguruan—dan tentu saja—berteman akrab dengan KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Beliau bersahabat dengan Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad. Beliau berkawan dengan dr Soetomo, pendiri Budi Utomo.
Berikutnya, Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912 masih hidup dan bahkan terus berkembang sampai kini. Intinya, mustahil semua capaian itu diperoleh jika Ahmad Dahlan tidak radikal, dalam hal ini tidak berakhlak baik.
Ketiga, orang radikal itu sesuai antara kata dan perbuatan. “Orang bersifat radikal kalau ia berani mengerjakan apa yang dijanjikannya dengan mulut. Mulut dan bukti harus sejalan,” tandas Hatta (h.163).
Mari kita timbang Ahmad Dahlan. Suatu ketika, dia berkata: “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama dengan menyumbangkan jiwamu. Jiwamu tak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu kamu akan mati. Tapi, beranikah kamu menawarkan harta-bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini. Umat Islam dan Muhammadiyah sangat membutuhkan uluran tangan dari demawan Islam untuk memajukan perkembagan umat Islam.”
Sekarang, kita pindah ke fragmen lain. Suatu ketika, Ahmad Dahlan kekurangan uang untuk membayar gaji guru-guru. Apa yang lalu dikerjakannya? Dia lelang perabot rumah tangganya.
Dari dua fragmen di atas, jelas Ahmad Dahlan radikal. Beliau radikal karena selaras antara kata dan perbuatannya.
Keempat, orang radikal itu terbiasa teratur/tertib dan penuh optimisme. Disebut radikal jika seseorang “Bekerja teratur dengan semangat yang kuat”, jelas Hatta (h.164).
Maka, agar gerakan dakwah tertib atau teratur, Ahmad Dahlan konsisten mengamalkan ayat ini: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali-‘Imraan 104).
Terkait spirit ini, pada 1912 Ahmad Dahlan lalu mendirikan Muhammadiyah. Dengan Muhammadiyah, aktivitas dakwah menjadi terorganisasi secara tertib. Kegiatan dakwah menjadi terkerjakan secara teratur. Agenda dakwah terarah capaian-capaian yang hendak diraihnya.
Sungguh, telah terang, Ahmad Dahlan itu suka bekerja secara teratur, tertib, dan dengan sepenuh keyakinan. Sudah jelas, Ahmad Dahlan itu radikal.
Dari paparan ringkas di atas, dengan memakai ukuran atau versi Hatta, tak terbantahkan bahwa KH Ahmad Dahlan memang radikal. Dari empat kriteria radikal itu, semua dapat dipenuhi. Sehubungan dengan ini, sekarang, siapa yang hendak menjadi radikal sebagaimana lelaki yang lahir di Kauman Yogyakarta itu? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.