PWMU.CO – Dakwah pencerahan di ruang publik, bukan saja menuntut sang juru dakwah memiliki bekal ilmu yang cukup, tapi juga memerlukan kesabaran dan strategi yang jitu. Demikian dikatakan Nadjib Hamid, di hadapan peserta Baitul Arqam Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Madiun, di Ngebel Ponorogo (29/10).
“Dalam berdakwah jangan grusa-grusu. Perlu ilmu, kesabaran, serta stretagi dan taktik yang jitu,” kata Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu.
Ia mencontohkan apa yang dilakukan KH Ahmad Dahlan. “Seabad yang lalu, gara-gara Kiai Dahlan menyerukan agar shaf masjid Agung Yogyakarta diluruskan sesuai arah kiblat, beliau diusir dari Yogya dan mushalanya dibakar,” tutur Nadjib. Tidak hanya itu, lanjut Nadjib, gara-gara Kiai Dahlan melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan, beliau dituduh sebagai kiai murtad.
“Tapi seabad kemudian, gerakan meluruskan shaf ke arah kiblat, justru dilakukan oleh kelompok yang dulu menolak. Kemenag juga memberikan biaya besar untuk kegiatan tersebut,” imbuhnya. “Jadi, untuk mengajak masyarakat mau berubah menjadi lebih baik, kadang memerlukan waktu seabad,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, mantan Sekretaris PWM Jatim itu mengingatkan agar dalam berdakwah tidak gampang menyalahkan, tapi harus menggembirakan dan memudahkan. “Basy-syiru wa la tunaffiru, yassiru wa la tu’assiru. Gembirakan, dan jangan dibikin malah menjauh. Permudah, dan jangan dipersulit,” kata Nadjib mengutip hadits Nabi.
Lebih dari itu, kata Nadjib, aktivis dakwah tidak boleh gampang terprovokasi dan tersulut amarah, kendati tidak diapresiasi. “Juru dakwah atau pejuang harus sabar, supaya niat tulusnya dalam berdakwah tidak bergeser,” imbau Nadjib, seraya mengutip kisah Ali bin Abi Thalib.
(Baca juga: Ketika Ketimpangan Sosial Terjadi di Kawasan Elit-Alit, Ini Aksi Nyata yang Dilakukan Muhammadiyah)
Diceritakan, pada zaman Rasulullah ada seorang kafir Quraisy bernama Amr bin Abd Wad al-Amiri, yang menantang duel para sahabat. Mendapat tantangan seperti itu, hanya Ali bin Abi Thalib yang berani maju. Ringkas cerita Ali bin Abi Thalib memenangkan perkelahian sengit itu. Tapi dalam situasi terpojok, jawara kafir Quraisy tersebut sempat meludahi wajah sepupu Rasulullah tersebut. Menanggapi hinaan ini beliau justru mengurungkan niat untuk membunuh.
“Mengapa engkau tidak melanjutkan niatmu untuk memenggal kepalaku?,” tanya Amr ingin tahu.
“Ketika aku menjatuhkanmu, dengan niat karena Allah aku ingin membunuhmu. Namun ketika engkau meludahi wajahku, aku marah padamu. Aku tak ingin membunuhmu lantaran amarahku,” jawab Ali dengan wajah teduh.
(Baca: Untuk Apa Saldo Kas Masjid Ratusan Juta jika Jamaahnya Melarat)
Mendengar jawaban tersebut si kafir terenyuh. Ia tertunduk malu seraya memegang kaki pemuda yang kelak menjadi khalifah keempat itu. “Ajarkan aku syahadat,” kata dia sambil menangis haru. Ali pun menuntun si kafir untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sungguh-sungguh.
Pelajaran penting dari peristiwa tersebut bahwa dalam berjuang harus dilandasi niat tulus karena Allah disertai strategi dan taktik yang jitu. Bukan marah-marah melulu. “Kita semua tahu bahwa dari waktu ke waktu, selalu ada orang sombong yang suka menantang-nantang seperti Amr itu. Untuk menghadapinya kita perlu meneladani sahabat Ali yang penyabar dan tidak grusa-grusu,” pesan dia. (ndh)