PWMU.CO – Belajar pada Buya Hamka, Dipenjara Sukarno malah Bersyukur disampaikan Wiwit Dwi Wahyu dalam kegiatan Kultum Jumat Pagi SMA Muhammadiyah 1 (Smamsatu) Gresik, Jumat (29/1/2021).
Dia menjelaskan, Buya Hamka—nama populer Prof Dr H Abdul Malik Karim Amrullah—adalah tokoh Muhammadiyah yang berasal dari Sumatera Barat. Dia seorang ulama dan sastrawan yang pernah dipenjara oleh rezim Presiden Sukarno.
Wiwit mengatakan, peristiwa Buya Hamka dipenjari itu sangat inspiratif. Dan itu yang selalu dia ingat. “Yang saya ingat dari Buya Hamka adalah momen ketika dia dipenjara. Beliau pernah mengatakan, ‘Alhamdulillah saya dipenjara, karena ketika saya dipenjara, saya berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar’,” ucap guru Sejarah Smamsatu itu menguitp Buya Hamka.
Pria yang tinggal di Tambak Beras Jombang ini mengungkapkan kekagumannya pada Buya Hamka, seorang ulama yang dipenjara tapi malah bersyukur kepada Allah.
“Maka bisa jadi ketika Nabi Yusuf ‘dipenjara’ di dalam perut ikan, mungkin juga mengatakan seperti itu. Hal itu muncul karena ada rasa keikhlasan dalam dirinya,” ujarnya.
Seperti juga Buya Hamka yang dididik oleh orangtuanya—Abdul Karim Amrullah—yang tidak hanya di sisi agama (syariat), tetapi juga keikhlasan, sisi batinnya.
Trilogi Akal, Nafsu, dan Qalbu
Dalam kultum yang digelar secara daring itu, Wiwit juga menyapaikan pandangan Buya Hamka tentang akal, nafsu, dan qalbu. “Menurut Buya Hamka dalam tubuh kita ada tiga aspek penting. Yaitu akal, nafsu, dan qalbu. Dalam hidup kita selalu terjadi perdebatan antara tiga hal ini,” ujarnya,
Maka, sambung dia, ketika Rasulullah selesai dari Perang Badar, seorang sabahat berkata, “Ya Rasulullah kita telah memenangkan perang besar.”
Rasululah menjawab, “Tidak, perang besar itu adalah melawan nafsu diri kita sendiri,” kutip alumnus Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unair tahun 2018 ini.
Dia lalu mengaitkan dengan kejadian sebelum manusia dilahirkan, yakni sudah punya perjanjian dengan Allah seperti termaktub dalam Surat al-A’raf 172:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’
Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesan Tuhan).'”
Wiwit menjelaskan, dengan membawa fitrah kebenaran itu—kesaksian Allah sebagai Tuhan—maka akal selalu berusaha di alan yang benar. Seperti juga dijelaskan Buya Hamka bahwa akal selalu berusaha mengoreksi dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
“Di mana, di dalam diri kita muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh orang lain. Dan hanya dijawab oleh diri kita sendiri. Kenapa saya melakukan ini, padahal seharusnya tidak melakukan ini, dan seterusnya,” terang Wiwit.
Akal Pengikat Nafsu
Dia menyampaikan, soal nafsu, Buya Hamka mengatakan, akal itu seperti tali pengikat yang mengikat nafsu. Seandainya nafsu tidak diikat oleh akal maka akan bersifat liar dan pasti akan merugikan orang lain.
Supaya akal tetap baik, lanjutnya, maka harus ber-husnudzan atau berprasangka baik terus. Ketika kita terus berprasangka baik kepada Allah, maka Allah akan selalu memberikan yang terbaik dan tidak timbul rasa ‘protes’ kepada Allah.
“Menurut Buya Hamka nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan,” ujarnya sambil mengutip Surah Yusuf: 53:
”Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan-ku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Qalbu: Antara Akal dan Nafsu
Menjelaskan tentang unsur ketiga, qalbu, Wiwit mengutip hadits Muttafaqun-alaih. Rasulullah SAW bersabda yang, ”Ketahuilah di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal daging itu adalah qalbu.“
Menurut dia, qalbu itu selalu diperebutkan akal dan nafsu. Sehingga peperangan yang paling besar adalah melawan nafsu kita sendiri. Dengan bahasa lain, jika kita berhasil memerangi nafsu buruk yang ada pada diri kita, berarti merdeka untuk diri kita sendiri.
“Mari kita bersama-sama megoreksi diri kita pribadi, karena pertanyaan-pertanyaan qalbu atau jiwa itu hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri. Sudahkah kita ber-husnudzan kepada Allah. Sudahkah berprasangka baik kepada manusia. Jawabannya ada pada diri kita sendiri,” ujar Pembina Pimpinan Ranting IPM SMA Muhammadiyah 1 Gresik ini. (*)
Penulis Estu Rahayu. Editor Mohammad Nurfatoni.