Islamberg, Desa Muslim di New York Korban Rasialis oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Dalam hutan dekat Pegunungan Catskill, Tompkins, New York, ada sebuah desa muslim. Namanya Islamberg. Desa ini telah berumur 30 tahun. Penduduknya mayoritas warga Afro-Amerika dari muslim New York yang ingin membangun lingkungan islami.
Islamberg berpenduduk sekitar 200 orang. Beberapa keluarga tinggal di sini sudah dua generasi. Luas desa sekitar 60 hektare di luar Binghamton, dekat garis negara bagian Pennsylvania. Sekitar 150 mil dari Kota New York. Jalannya naik turun, beberapa tempat lerengnya curam, melewati padang rumput, dan sungai.
Kondisi musim dingin bisa menyulitkan. Salju di sepanjang jalan membuat desa susah dijangkau. Bersyukur rumah-rumah yang dibangun bisa melindungi mereka. Desa ini ada masjid, tempat mereka shalat berjamaah lima waktu. Punya minimarket. Warga hidup dengan beternak dan bercocok tanam.
Walikota Islamberg adalah Rashid Clark. Istrinya Tahirah Clark seorang pengacara. Tokoh lainnya Hussein Adams dari organisasi Muslim Amerika.
Mengutip laporan the newyorktimes.com, Islamberg dibangun sekitar 1980 oleh sekelompok orang Afro-Amerika yang masuk Islam pada tahun 1960-an. Mereka pengikut Syeikh Mubarik Ali Shah Gilani, ulama Pakistan dan pendiri organisasi Muslim Amerika.
Gilani mendorong para pengikutnya keluar dari kehidupan kota dan membangun sendiri desa dengan tradisi muslim. Desa-desa muslim seperti ini juga telah dibangun di Virginia, Georgia, dan Tennessee.
Desa yang Nyaman
Komunitas ini bisa dikenali dari pakaiannya. Para lelaki memakai ghamis dengan kopiah di kepala. Sementara perempuannya memakai jilbab dengan kerudung. Desa terdekat dengan Islamberg adalah Hancock yang mayoritas penduduknya berkulit putih.
”Desa ini tempat yang indah untuk ditinggali, orang-orang yang indah untuk bertetangga,” kata Cassandra Greene, yang termasuk di antara pendatang paling awal ke Islamberg lebih dari 30 tahun yang lalu.
Hussein Adams mengatakan, komunitas umat muslim di sini cukup tangguh menghadapi stigma dan sinisme dari orang-orang konservatisme kanan. Islamberg tetap menjadi tempat yang dicari oleh keluarga muslim. Suasana ketenangan di antara penduduknya dan kebebasan menjalankan ibadah.
Dia menggambarkan suasananya, waktu Subuh warga sudah bangun. Berwudhu, memakai pakaian bersih, dan parfum. Melangkah keluar menuju masjid untuk shalat dan berdoa. Inilah tanah tempat mereka berburu dan memelihara sumber makanan sendiri. ”Kami berdoa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Itu memulai hari kita, dan itu segalanya,” ujar Hussein Adams.
Awal berdirinya desa ini 30 tahun lalu masih diwarnai kecurigaan oleh orang luar. Namun seiring berjalannya waktu hubungan dengan desa sekitar menjadi akrab karena penduduk Islamberg mudah bergaul dengan hangat.
Meski desa ini sebuah kantong muslim, namun tidak ekslusif. Penduduk menjalin hubungan dengan sheriff, tetangga non-Muslim desa terdekat dan saling berkunjung di hari raya. Mereka bekerja sama di klinik. Anak-anak tergabung dalam pertandingan sepak bola dan bola basket.
”Kami tidak pernah memiliki masalah dengan warga Islamberg,” kata Nancy Furdock, warga Desa Hancock. Selama dua dekade kami saling berhubungan dengan ramah.
Stigma Islam Radikal
Suasana islamofobia di AS menyudutkan desa itu dengan tuduhan sebagai sarang ekstremisme. Orang-orang pembenci Islam menyerang secara rasialis lewat internet dan media sosial dengan website seperti 4chan, Infowars, Pizzagate dan QAnon.
Hussein Adams yang keluarganya telah tinggal selama tiga generasi di sini menuturkan, di internet ada akun yang membuat video menggambarkan Islamberg seperti kamp pelatihan jihadis. Menampilkan komentar pakar yang menuduh sebagai tempat pencucian otak militan, kawin paksa, dan memberikan hukum cambukan.
Ada juga orang luar menyelinap ke desa ini atau menerbangkan drone untuk penyelidikan. Kali waktu ada pawai motor gede dari kelompok American Bikers Against Jihad melewati jalanan desa mengganggu warga.
Tahun 2017, seorang pria Tennessee bernama Robert Doggart dijatuhi hukuman hampir 20 tahun penjara atas rencana merekrut milisi dengan tujuan menyerbu dan membunuh warga desa ini.
Ancaman kekerasan terbaru tahun 2019, sekelompok orang menyimpan 23 senjata api dan tiga bom rakitan yang akan digunakan untuk menyerang desa. Bersyukur polisi lebih dulu mendeteksi rencana jahat ini. Tiga pria ditangkap. Vincent Vetromile (19), Brian Colaneri (20), dan Andrew Crysel (18).
Kelompok garis ekstrem kanan ini terdeteksi polisi dari penyebaran meme, tulisan konspirasi tentang keamanan perbatasan, korespondensi dan obrolan grup pemain game video.
Dikaitkan Jemaat al-Fuqra
Islamberg diawasi karena keberadaan organisasi Muslim Amerika yang berkantor di sana. Kelompok Muslim Amerika disebut pecahan dari Jemaat al-Fuqra yang pernah aktif pada dekade 1980-an dalam gerakan radikalisme.
Alasan lain Syeikh Mubarik Ali Syah Gilani pernah dikaitkan dengan pembunuhan tahun 2002 terhadap reporter The Wall Street Journal, Daniel Pearl, di Pakistan. Saat itu Pearl menelusuri kasus pembom sepatu, Richard C. Reid. Dia ingin wawancara dengan Ali Syah Gilani. Namun Pearl hilang diculik.
Tapi Gilani menurut penyelidikan diyakini tidak terlibat dalam penculikan itu. Para pemimpin Islamberg juga menyangkal warganya berhubungan dengan kelompok radikal.
Sebuah laporan analisis yang diterbitkan tahun 2008 di CTC Sentinel, jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Pemberantasan Terorisme di West Point, menyimpulkan, tidak ada bukti Islamberg menjadi tempat operasi pelatihan rahasia radikalisme.
Laporan itu mengatakan, baik keberadaan senjata atau pelatihan senjata merupakan fenomena yang tidak biasa di pedesaan Amerika.
Komandan Polisi Negara Bagian Mayor William F. McEvoy mengatakan, pusaran teori konspirasi online tentang Islamberg tidak berdasar. ”Mereka patuh hukum. Mereka adalah anggota komunitas yang positif dan solid,” jelasnya.
”Mereka percaya pada pendidikan. Percaya pada kerja keras. Mereka membesarkan anak-anaknya dengan tradisi komunitasnya,” tuturnya.
Walikota Islamberg Rashid Clark mengatakan, kabar palsu dan ujaran kebencian terhadap warga desanya sebagai ancaman besar. Orang-orang membenci Islam dari internet, menelan semua berita hoax dan misinformasi lalu ada yang membuat rencana menyerang desa.
”Mengapa mereka tidak datang berbicara dengan kita?” kata Rashid. ”Kami akan memberi tahu Anda apa yang menjadi aktivitas warga desa ini,” tambahnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto