Demokrasi Munafik ala Rezim oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Dalam sambutan acara Ombudsman Presiden Jokowi berpidato di antaranya meminta masyarakat untuk memberi masukan dan aktif mengkritik pemerintah. Tentu lebih banyak yang bersikap sinis daripada bahagia. Angin politik sepoi-sepoi ini membuat mata terbelalak. Bukan terkejut, tetapi tak percaya. Senyum bahkan tertawa.
JK, mantan Wapres saja mempertanyakan bagaimana mengkritik tanpa ditangkap. Jokowi seolah membuka pintu tapi tombak siap menancap di dada bagi mereka yang masuk dari pintu yang terbuka.
Dulu juga rindu untuk didemo tetapi ujungnya pendemo babak belur, ditangkap, bahkan tewas ditembak aparat.
Tentu ada tiga skenario dari permintaan Jokowi untuk dikritik tersebut, yaitu, pertama, memang Jokowi dan lingkaran elite telah sadar bahwa tanpa kritik kehidupan demokrasi bergeser menjadi otokrasi. Ini berarti mengingkari amanat konstitusi. Meski terlambat namun lebih baik daripada tidak. Better late than never.
Kedua, terpaksa membuka pintu kritik, karena putus asa menghadapi kenyataan ketidakmampuan mengelola negara dengan baik. Kesehatan, ekonomi, hukum, dan politik hancur tak terkendali. Sedikit celah untuk meminta maaf kepada publik hanya dengan terpaksa membuka pintu kritik.
Dua Contoh
Ketiga, ini yang paling banyak diduga, yaitu kritik dibuka luas, tetapi setelah itu dibungkam masif. Merujuk pada cara diktator Presiden Uganda Idi Amin yang mengatakan, menjamin kebebasan berbicara tetapi tidak menjamin kebebasan setelah bicara.
Atau model Mao Zedong dengan metafora indah: membiarkan bunga mekar, setelah itu semuanya dipetik. Artinya, diberi kebebasan semua pengkritik bicara, setelah itu dibantai habis.
Skenario ketiga, inilah yang paling dikhawatirkan rakyat. Berangkat dari ketidakpercayaan terhadap janji-janji dan juga kinerja. Jokowi dikenal sebagai presiden yang inkonsisten. Mencla-mencle sebutannya. Pidato Jokowi dianggap main-main karena di bawah mimbar masih ada dua anjing galak yang terus menggonggong yakni buzzer dan UU ITE.
Di sisi lain paradigma polisi belum berubah. Masih menjadi alat pemerintah bukan alat negara. Artinya, penegakan hukum dapat dimanfaatkan sebagai alat pemenuhan keinginan politik pragmatis. Digunakan untuk menekan dan menghukum lawan-lawan politik.
Jadi permintaan aktif kritik dan masukan sebagaimana diungkapkan Jokowi dalam acara Ombudsman dinilai bertendensi untuk memproteksi. Sepanjang masih banyak tokoh dan aktivis dipersekusi dan berada dalam jeruji besi, undang-undang pengancam terus unjuk gigi, serta aparat yang gemar mengeksekusi, maka permintaan untuk dikritik tetap menjadi sebuah hipokrisi alias munafik dalam demokrasi.
Rakyat menuntut bukti dan tak butuh basa basi. (*)
Bandung, 15 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto