Serangan Sekuler Mretheli Umat Islam oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Serangan sekuler makin gencar ke umat Islam sekarang ini. Indikasinya bisa dilihat dari peristiwa meradikalkan Din Syamsuddin, SKB Tiga Menteri tentang jilbab, pembubaran FPI dan penangkapan Habib Rizieq Shihab, dan permusuhan terhadap Anies Baswedan.
Kekuatan sekuler matak aji mumpung. Mumpung berada di balik penguasa. Kemenangan Presiden Jokowi dan PDIP sebagai partai berkuasa dimanfaatkan kelompok ini untuk konsolidasi menghadapi kekuatan Islam. Ini pertarungan abadi sejak negeri ini berdiri. Kelompok sekuler terus memperjuangkan pemisahan urusan agama dari negara.
PDIP adalah representasi kelompok sekuler seperti di zaman dulu disuarakan oleh PNI berhadapan dengan Masyumi, yang mewakili kelompok Islam. Bedanya sekarang PDIP bisa bermain leluasa karena relatif tak ada lagi partai oposisi.
Kekuatan partai-partai oposisi di masa periode pertama Jokowi yang kuat, di periode kedua berhasil dikooptasi menjadi kelompok paduan suara. PKS dan Demokrat hanyalah oposisi semu yang kadangkala saja memberikan tekanan-tekanan suara untuk menyelaraskan orkestra menjadi lebih harmoni.
Meradikalkan Din
Serangan sekuler kepada Din Syamsuddin oleh Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB (GAR ITB) sangat terang sebagai gerakan islamofobia. Itu bisa dibaca dari latar belakang para alumni yang mempersoalkan Din. Gerombolan alumni ini merupakan kumpulan orang sekuler yang tak menyukai dominasi aktivis muslim di kampus ITB. Ada dua orang istana di dalam gerombolan sekuler ini.
Din Syamsuddin yang pernah menjabat Ketua Umum Muhammadiyah 2005-2015 itu dituduh radikal dan melanggar kode etik aparatur sipil negara (ASN) kemudian dilaporkan ke Komisi ASN.
Keberadaan Din Syamsuddin dalam anggota Majelis Wali Amanat ITB membuat gerombolan sekuler ini menjadi terganggu kepentingannya. Masuknya Din dinilai memperkuat posisi kekuatan muslim yang sudah lama bersemi di kampus ini. Karena itu harus di-pretheli. Serangan sekuler terus dilancarkan.
Caranya, pertama, mengusir Din Syamsuddin dengan mencari-cari kesalahannya sebagai oposan pemerintah. Kedua, menyoal beasiswa dari Nurhayati Subakat, pemilik Wardah Kosmetik lewat Masjid Salman yang hanya untuk mahasiswa muslim dituduh sektarian. Ketiga, dekan yang pro Islam juga dilaporkan.
Masjid Salman ITB sejak tahun 1980-an menjadi pelopor gerakan dakwah masjid kampus. Pengaruhnya hingga ke seluruh masjid kampus se Indonesia. Aktivisnya yang menjadi dosen menguasai di jajaran pimpinan kampus.
Din Syamsuddin pun melihat masalah ini adalah mengulang perang ideologi antara kekuatan Islam dan sekuler. Seperti di zaman munculnya ICMI juga pernah terjadi.
SKB Tiga Menteri
Serangan sebelumnya adalah munculnya SKB Tiga Menteri. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan bersama yang mengatur tentang jilbab.
SKB ini merespon peristiwa kewajiban memakai kerudung bagi semua siswa termasuk non muslim di SMK Negeri 2 Padang. Respon ini berlebihan. Sebab perkara di SMKN 2 Padang itu masalah lokal yang bisa diselesaikan Pemda.
Tapi Mendikbud Nadiem Makarim menanggapi dengan emosional menuduh ada pemaksaan jilbabisasi. Bahkan dia sampai memerintahkan kepala sekolahnya dipecat. Nadiem menarik kasus ini menjadi masalah nasional dengan menggandeng Mendagri dan Menag untuk membuat SKB.
Padahal peristiwa larangan jilbab di Manokwari, Papua, Desember 2019, Nadiem tak segarang itu. Tak ada SKB Tiga Menteri. Cukup diselesaikan Pemda. Apalagi peristiwa sebelumnya di SMAN 1 Maumere, NTT, juga diselesaikan Pemda. Ketidakadilan sikap para pejabat inilah indikasi islamofobia. Jika kalangan Islam yang beraksi langsung ditindak, jika non muslim ditoleransi.
Tak pelak SKB Tiga Menteri ini memicu perlawanan di Padang dan Sumatra Barat. Kepala daerah dan masyarakat adat Minangkabau mengecam Nadiem Makarim, Tito Karnavian, dan Yaqut. Mereka menuntut pencabutan SKB. Gerakan penolakan ini pun didukung berbagai kalangan.
Menghadang Anies dan HRS
Pembela Jokowi, Rudi S. Kamri, dalam video yang beredar di medsos dalam pertemuan bersama teman-temannya dengan memakai topi Sinterklas meminta kekuatan pendukung Jokowi harus terus bersatu. Kalau kekuatan lemah akan diambil alih kelompok seberang yang bisa mengancam NKRI.
Kekuatan yang ditakuti pendukung Jokowi adalah Anies Baswedan. Karena itu berusaha membendung Gubernur DKI Jakarta ini agar tak menjadi presiden. Popularitasnya terus digerus dengan bullying. Sebab gerombolan sekuler ini belum menemukan tokoh calon presiden yang bisa menandingi popularitas dan elektabilitas Anies.
Bullying terhadap Anies makin menjadi-jadi ketika Kota Jakarta dilanda banjir di musim hujan ini. Semua buzzer dikerahkan untuk menghujat soal kinerja dan pribadinya. Padahal banjir terjadi sepanjang zaman. Zaman semasa Gubernur Jokowi dan Ahok juga parah. Tapi inilah islamofobia yang paling terang-terangan. Fakta membutakan mata.
Penangkapan Habib Rizieq Shihab juga bisa dibaca bagian dari gerakan mem-pretheli kekuatan Islam. Terlepas dari pro-kontra sosok HRS yang kontroversial, faktanya dialah yang bisa menarik jutaan umat Islam untuk berkumpul di Monas.
Suara kerasnya itu ternyata menyatukan umat. Karena itu harus diberangus. Dimata-matai hingga membunuh enam pengawal FPI. Lalu menangkap HRS dengan pasal kerumunan di masa pandemi covid dan dicarikan pasal berlapis lainnya agar hukumannya makin berat.
Penangakapan ini menggugah rasa keadilan karena peristiwa yang sama tak sampai diperlakukan pembuntutan, pembunuhan, dan penangkapan. Bahkan rest area KM 50 tol Cikampek sampai digusur dan dimusnahkan untuk menghilangkan jejak pembunuhan laskar FPI.
Sekarang kita menunggu pertarungan kekuatan sekuler dan Islam ini siapa yang menang dalam Pemilu 2024. Pemerintah dan politikus pro penguasa sudah sepakat tak ada Pilkada di tahun 2022. Semua serentak di tahun 2024. Ada jeda kekosongan kepala daerah selama 2 tahun. Hanya diisi plt.
Inilah keanehan politik di negeri ini. Banyak spekulasi. Ada yang menduga ini cara menghadang Anies Baswedan. Sehingga kelompok sekuler bisa mempersiapkan penantangnya.
Mereka mengabaikan Pemilu Serentak 2019 yang memilukan memakan korban mati 700 petugas karena kelelahan. Kalau dipikir politik seperti sungguh jahat. Nyawa rakyat tak ada harganya. Mayat-mayat rakyat ditumpuk demi mencapai piramida kekuasaan. (*)
Editor Sugeng Purwanto