PWMU.CO– Jeffrey Lang usianya 67 tahun. Sekarang dia menjadi profesor matematika di Universitas Kansas, AS. Lahir 30 Januari 1954 di Bridgeport, Connecticut. Sejak kecil suka bertanya tentang kehidupan dan agama.
Misalnya, dia bertanya adakah surga itu? ”Jika Tuhan itu ada dan punya kasih sayang, lalu mengapa ada begitu banyak penderitaan di atas bumi ini? Mengapa Dia tidak masukkan saja kita semua ke dalam surga? Mengapa juga Dia menciptakan orang-orang di atas bumi ini dengan berbagai penderitaan?”
Pertanyaan ini dia sampaikan kepada ayahnya, temannya, pendetanya. Ketika sekolah di SMA Katolik Notre Dam Boys, jawaban guru dan pendetanya tak memuaskannya. Di umur 18 tahun itu dia menjadi atheis. Tak percaya tuhan. Hingga masa kuliah sarjana sampai doktor selama sepuluh tahun dia tetap atheis.
Dalam masa itu dia berkali-kali mimpi. Berada di sebuah ruang kosong bertembok putih. Lantai berkarpet warna merah putih. Ada jendela kecil lazimnya jendela ruang bawah tanah. Cahayanya terang. Suasana hening.
Dia merasa duduk berbaris bersama banyak lelaki. Duduk di atas tumit kaki menghadap jendela. Di depan ada seseorang memimpin barisan. Berdiri. Hanya terlihat punggungnya. Memakai jubah putih panjang. Di kepalanya memakai selendang putih.
Saat dia terbangun tak paham mimpi itu. Hanya ada perasaan nyaman. Setelah itu dia abaikan mimpi itu hingga dia menjadi asisten dosen di Universitas San Fransisco tahun 1982. Usianya 28 tahun.
Hadiah al-Quran
Di antara mahasiswanya yang ikut kuliah matematika ada yang berasal dari Arab Saudi. Namanya Mahmud Qandil. Dalam diskusi, Mahmud menjelaskan sains dan teknologi menurut versi Islam. Juga tentang dunia kedokteran Islam. Ulasan itu sangat menarik Jeffrey Lang karena sangat rasional.
Saat semester selesai, di acara perpisahan, Qandeel menghadiahi Lang al-Quran dan terjemahnya Bahasa Inggris dan beberapa buku Islam. Di waktu senggang buku-buku itu dia baca habis. Setelah itu giliran ambil Quran.
Dia baca mulai al-Fatihah. Lalu surat al-Baqarah. Tiba di ayat 30 dan lanjutannya, dia mulai fokus memahami maksud ayat yang menjelaskan tujuan penciptaan Adam di bumi. Berulang-ulang dia baca untuk memahami.
Dia merasa ayat ini keliru. Sebab tidak sama dengan penjelasan dalam ajaran Kristen yang menerangkan Adam diturunkan ke dunia sebagai hukuman atas dosanya. ”Al-Quran menjelaskan Allah menciptakan manusia di dunia sebagai khalifah. Mungkin ini keliru. Pemahaman saya, manusia hidup di dunia ini karena dosanya,” tuturnya Lang dalam ceramahnya.
”Saya membacanya lagi pelan-pelan baris demi baris, untuk memastikan pesan yang disampaikan,” sambungnya.
Lalu dia membacakan ayat itu. ”Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi. Malaikat berkata, mengapa Engkau menjadikan (khalifah) di bumi orang-orang yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal kami selalu bertasbih dengan memuji dan menyucikanMu?”
Pertanyaan Malaikat
Lang terkejut dengan keterangan ayat-ayat surat al-Baqarah ini. ”Pertanyaan malaikat itu seperti pertanyaan saya selama ini. Kenapa manusia hidup di bumi membuat membuat kerusakan, berbuat jahat. Kenapa Tuhan tidak membuat manusia seperti malaikat saja,” ceritanya.
Ayat selanjutnya, sambung dia, Allah menjawab, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. ”Jawaban ini sederhana, namun mengandung makna yang dalam,” ujarnya.
Lang menjelaskan, dalam Alkitab, jawaban Tuhan atas pertanyaan malaikat disampaikan tentang hukuman yang diberikan karena berbuat dosa.
”Penjelasan ini berbeda dengan al-Quran. Al-Quran menjawab pertanyaan para malaikat dengan memperlihatkan kemampuan manusia. Allah mengajarkan manusia tentang nama-nama benda. Ini kecerdasan bahasa,” tuturnya.
”Ayat tersebut menunjukkan kemuliaan dan kemampuan manusia yang tidak diberikan kepada malaikat,” terang dia. Bahkan ayat ke-39 mengatakan, ”Orang-orang yang tidak beriman dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.”
”Saya merasa ayat ini makin kuat menyerang saya. Tapi saya semakin percaya kebenaran al-Quran dan meyakini agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad,” tandasnya.
Rasa penasaran mendorongnya terus membaca seluruh ayat al-Quran sampai tuntas. ”Setiap muncul beraneka macam pertanyaan dalam diri saya, jawabannya segera saya temukan dalam al-Quran. Seakan penulis al-Quran membaca pikiran saya dan menuliskan jawabannya di baris ayat-ayatnya. Saya menemukan diri saya di tiap halaman al-Quran,” tandas Lang.
Peristiwa di Basement
Sejak membaca al-Quran itu terjadi pergulatan keimanan dalam pikiran dan hatinya. Atheisnya mulai rontok. Lang mulai banyak berdiskusi dengan teman-teman muslimnya tentang Islam.
Suatu hari dia memberani diri mengunjungi tempat berkumpulnya mahasiswa muslim di kampus. Lokasinya ruang kecil di basement gereja. Ruang itu juga menjadi mushala.
Setelah berdiskusi panjang, Lang memantapkan diri mengucap syahadat. Setelah itu masuk waktu shalat Duhur. Pertama kali mualaf, dia diajak shalat. Maka dia ikut berdiri dalam barisan jamaah. Di depan ada imam yang memimpin shalat. Ghassan namanya.
Lang mengikuti saja gerakan shalat. Berdiri, rukuk, sujud, duduk. Suasana hening. Ketika sujud dia perhatikan karpetnya berwarna merah putih. Saat duduk iftirosy, matanya menatap ke depan.
”Saat melihat punggung Ghassan di depan sebagai imam. Di sisi kiri saya. Di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia memakai jubah putih panjang. Syal putih menutupi kepalanya,” katanya.
Mimpi itu! Dia teringat mimpinya bertahun-tahun lalu yang sudah dilupakan Kini dia alami. Déjà vu. ”Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut,” ujarnya.
Apakah dia sedang mimpi lagi? Darah terasa dingin mengalir ke seluruh tubuhnya. ”Ya Tuhan, ini nyata! Rasa dingin itu menghilang, berganti rasa hangat. Air mata saya bercucuran,” cerita Lang dalam bukunya Losing My Religion: A Call for Help.
Menulis Pengalaman
Setelah muslim, Jeffrey Lang memperdalam keislamannya. Dia menikah dengan perempuan Arab, Raika, tahun 1994. Dikaruniai tiga anak diberi nama Jameelah, Sarah, dan Fattin.
Tiga buku sudah dia tulis. Struggling to Surrender (Beltsville, 1994), Even Angels Ask (Beltsville, 1997), dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004).
Dia sering diminta memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di forum Islam. Dia mengatakan, menjadi muslim, banyak memperoleh kepuasan batin. Sebagai matematikawan mendorongnya berpikir logis dan fakta-fakta berupa data riil untuk mendapatkan jawaban konkret.
”Kadang saya frustrasi ketika ingin mencari sesuatu, tapi tidak mendapat jawaban yang konkret. Tapi dengan Islam, semuanya rasional, masuk akal, dan mudah dicerna,” tegasnya.
Dia mendirikan organisasi pendidikan Mecca Centric. Melayani konsultasi tentang Islam dan kegiatan pemuda. Juga ditunjuk membina Asosiasi Mahasiswa Islam untuk menjembatani mahasiswa muslim dengan universitas. Selain itu memberikan kuliah Islam di kampusnya.
Penulis/Editor Sugeng Purwanto