PWMU.CO – Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-58 Amerika Serikat mengejutkan banyak pihak. Itu karena banyak pihak memprediksi Hillary Clinton yang memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) pada 8 November 2016 kemarin. Tetapi semua prediksi itu meleset.
Berikut catatan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, DR Biyanto, yang selama masa kampanye Pilpres AS mengunjungi negara itu selama 6 pekan, 18 Juni-31 Juli 2016 lalu.
Trump tampil sebagai pemenang Pilpres yang paling menegangkan itu. Trump pun tercatat sebagai presiden tertua Amerika sepanjang sejarah. Publik Amerika tampak sangat menaruh harapan pada Trump. Jargon “Make America Great Again” yang diusung Trump semasa kampanye ternyata sangat ampuh. Rasa nasionalisme publik Amerika begitu membuncah.
(Baca juga: Kegelisahan Akademisi Amerika pada Sikap Antipluralisme Capres Donald Trump dan Ke Amerika, Muhammadiyah Uraikan Konsep Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi Wasy Syahadah)
Trump pun disimbolkan sebagai pemimpin yang kuat. Sebagai presiden negara adikuasa, Trump harus tampil powerful. Disamping sukses mencitrakan diri sebagai pemimpin yang powerful, pemimpin di sejumlah negara ternyata banyak yang khawatir dengan sosok Trump yang temperamental.
Pernyataan Trump yang acapkali mengundang kontroversi menjadi bukti. Bahkan bukan hanya pemimpin di banyak negara yang khawatir, sebagian publik Amerika juga dilanda kegalauan. Semua itu tidak lepas dari pernyataan kontroversi Trump terhadap umat Islam.
Dalam suatu kesempatan misalnya, Trump mengatakan akan membatasi jumlah umat Islam yang masuk ke Amerika. Dengan pernyataan ini, Trump bisa digolongkan sebagai pribadi yang terjangkit penyakit Islamphobia. Dalam benak Trump, Islam dianggap sangat membahayakan masa depan Amerika.
(Baca juga: Ternyata Tata Negara Bangsa-Bangsa Barat Meniru Konsep Rasulullah dan Inilah Prinsip-Prinsip Negara Ideal yang Dibangun Rasulullah)
Bukan hanya pada umat Islam, Trump juga banyak mendiskreditkan kelompok minoritas dan kulit hitam di Amerika. Kelompok imigran kulit hitam dianggap sebagai penyebab maraknya kriminalitas di Amerika. Karena itu, Trump melontarkan gagasan membuat tembok besar di perbatasan Meksiko. Harapannya, untuk mengurangi imigran gelap yang semakin melimpah di Amerika.
Melalui pilpres yang demokratis, rakyat Amerika telah memberikan kepercayaan pada Trump. Karena itu, Trump diharapkan lebih bijak dalam memimpin Amerika. Meski menjadi negara adikuasa, Amerika pasti tidak bisa hidup sendirian. Hubungan baik dengan sejumlah negara, termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim harus diperbaiki.
(Baca juga: Islam Tertawa yang Bedakan Islam Indonesia dengan Timur Tengah dan Apa Beda Islam Indonesia dan Timur Tengah? Inilah Jawabannya…)
Dengan demikian Trump harus mampu meminimalisir gejala Islam phobia. Kesalahan kebijakan terhadap umat Islam akan mengakibatkan menguatnya kelompok-kelompok fundamental. Jika itu terjadi, maka pasti akan membahayakan kepentingan Amerika di banyak negara. Karena itulah, Trump harus lebih bersahabat dengan umat Islam. Apalagi pemeluk Islam di Amerika terus meningkat.