Tiga Tawaran Buya Hamka untuk Keadilan Sosial, ditulis oleh Adistiar Prayoga, alumni Program Pascasarjana Manajemen Bisnis IPB yang tertarik terhadap pemikiran Buya Hamka.
PWMU.CO – Buya Hamka merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah yang karya-karyanya menjadi rujukan umat Islam. Baik di Indonesia maupun seantero alam Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Pattani Thailand.
Kontribusi pemikiran Buya Hamka untuk dunia Islam diakui sebagai khazanah umat sehingga mengantarkan beliau untuk mendapatkan anugerah doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Salah satu pemikiran menarik Buya Hamka adalah tentang Islam dan keadilan sosial. Hal itu bisa kita kaji, setidaknya, dari tiga pemikiran Buya Hamka yang menyangkut keadilan sosial. Pertama, keberpihakan terhadap mustadh’afin. Kedua, zakat dan bank sedekah. Ketiga, keadilan bukan menegasikan hak individu.
Keberpihakan pada Mustadh’afin
Buya Hamka menarasikan keberpihakan Islam secara langsung terhadap kaum lemah dan tertindas (mustadh’afin) dalam karya masterpiece-nya, Tafsir Al-Azhar. Khususnya dalam penjelasan atas Surat al-Balad (negeri) dan al-Ma’un (barang-barang untuk menolong).
Buya Hamka dalam penjelasan al-Balad mengatakan, Allah memerintahkan manusia untuk tegar dalam menempuh jalan perjuangan yang mendaki dan sukar (dalam terminologi al-Quran disebut sebagai ‘aqabah). Ayat kesepuluh dari al-Balad menyebutkan bahwa ada dua jalan terentang (an-najdain), yakni kebajikan dan kedurhakaan.
Namun demikian jalan kebajikan itu sukar dan mendaki. Oleh karena itu, orang-orang cenderung menjauh ketika terlihat ada kesukaran (‘aqabah). “Dia takut dan cemas melihat kesukaran itu. Padahal itu adalah jalan kepada kebajikan, walaupun ada kesukarannya, namun bila ditempuh, selamatlah jiwa sendiri dan selamatlah masyarakat dan mendapatlah ridha dari Tuhan,” kata Buya Hamka.
Empat Cara Menolong Mustadzafin
Buya Hamka menjelaskan bahwa ‘aqabah pada dasarnya mendidik setiap Muslim agar bersemangat dalam menghimpun harta dan tenaga, sehingga output-nya dapat dimanfaatkan untuk menolong para mustadh’afin yang mana dalam al-Balad disebutkan melalui empat cara.
Pertama, pemberantasan segala bentuk perbudakaan. Membeli budak itu bukanlah hal yang mudah, harus keluar uang, dan yang dibeli bukanlah barang melainkan orang. Setiap orang yang telah membeli budak berhak atas budak itu sesuka hatinya, entah dijadikan pembantu, dinikahi, ataupun diminta bekerja kasar.
Namun demikian, beda halnya kalau dimerdekakan. “Niscaya dia sudah duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan tuannya, dan uang untuk pembelinya tadi hilang habis saja. Rugi pada benda, tetapi tinggi pada pahala dan penghargaan di sisi Allah. Itulah “Jalan mendaki,” kata Buya Hamka.
Kedua, pertolongan untuk orang-orang yang kelaparan tanpa mengharapkan balasan atau sekedar ucapan terima kasih.
Ketiga, pengangkatan derajat anak-anak yatim yang terpinggirkan.
Keempat, pemberian bantuan kepada orang miskin yang matrabah (hidupnya sangat sukar). Buya Hamka menjelaskan, dalam istilah Minangkabau, matrabah diartikan tertanah. Hal ini karena orang-orang tersebut terlampau miskin sehingga hanya manpu tinggal beralaskan tanah.
Jalan Aqabah
Buya Hamka kemudian menjelaskan, para penempuh jalan perjuangan (‘aqabah) tersebut diingatkan, ‘aqabah bukan jalan pencari pujian orang dan riya’ (ingin dilihat hebat). “Mencari pujian dan riya akan membuat langkah terhenti di tengah jalan. Tak ada yang memuji dia berhenti, diomeli sedikit dia pun merajuk sebab dia merasa dirinya penting dan benar,” kata Buya Hamka.
Oleh karena ‘aqabah adalah jalan yang sulit, maka setiap pejuangnya harus saling berpesan dalam kesabaran dan kasih sayang (marhamah). “Semua cobaan harus dihadapi dengan tabah. Kuat mengasihi yang lemah, yang mampu memberi bantuan yang tidak mampu, berkasih-kasih, bersayang-sayang, bantu-membantu, tolong menolong,” tutur Buya Hamka.
Sehingga, mereka pun kelak mendapatkan gelaran sebagai ash-habul maimanah (golongan terpuji). Sebaliknya umat Islam yang acuh bahkan mengingkari ‘aqabah dikutuk sebagai ash-habul masy-amah (golongan tercela) yang berada dalam naaru-m-mu’shadah (neraka yang ditutup rapat).
Keberpihakan Islam terhadap kaum mustadh’afiin juga diuraikan Buya Hamka dalam penjelasan al-Ma’un. Pada uraiannya, beliau mengatakan bahwa perbuatan mendustakan agama itu bukan sekedar tidak percaya kepada Islam saja, tapi lebih luas.
Jadi, setiap orang Islam yang shalat dan berpuasa belumlah aman dari sifat mendustakan agama. Mereka akan digelari sebagi golongan munafik jika mengabaikan dua perintah, yakni (1) mendekatkan diri dan menolong anak yatim, (2) memberikan makan kepada orang miskin, baik secara langsung (tindakan) maupun tidak langsung (ajakan/seruan).
Buya Hamka menjelaskan dalam tafsirnya, cara untuk menolong orang susah itu sebenarnya banyak namun para pendusta agama (mukadzibin) senantiasa berusaha menghindar dari kegiatan tersebut. Mereka menggunakan beragam alasan untuk menahan harta benda bahkan menghalang-halangi orang lain untuk melakukan kegiatan mulia tersebut.
Buya Hamka menambahkan bahwa Surat al-Ma’un merupakan cemeti bagi umat Muhammad. Sebuah peringatan untuk berhati-hati serta menjauh dari kemunafikan juga penistaan terhadap keluhuran agama melalui sikap-sikap tercela tadi.
Zakat dan Bank Sedekah
Wujud lain kepedulian Islam terhadap masalah keadilan sosial adalah kontrol terhadap praktik monopoli kekayaan oleh personal atau entitas tertentu. Aplikasinya dinarasikan Buya Hamka dalam penjelasan tentang perintah zakat.
Menurut Buya Hamka (2005), kedudukan zakat tidak sekadar sebagai penyucian harta dan wujud ketulusan hati dalam menjalankan perintah Allah, tetapi juga berfungsi untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata.
Buya Hamka dalam Kompilasi Khutbah Pilihan terbitan Pustaka Panjimas menuturkan, “Tidak mungkin kaum Muslimin menolak keadilan sosial, karena keadilan sosial itu merupakan praktik hidup dalam keseharian umat Islam. Zakat merupakan salah satu cabang dari keadilan sosial yang amat digalakkan oleh Islam.”
Lebih jauh lagi, Buya Hamka menjelaskan secara konkret implementasi dan faedah zakat dalam praktik keseharian sebanyak 16 kali dalam Tafsir Al-Azhar (Kadri 1997; Abdullah et.al. 2010).
Zakat merupakan sumber keadilan dan jika ajaran tentang zakat ini diamalkan secara sempurna maka akan datang suatu masa—sebagaimana yang dipaparkan oleh Buya Hamka (2005): “Tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat, karena semua orang wajib berzakat.” Menurtu Buya Hamka kondisi ini tertoreh indah dalam sejarah pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Jauh sebelum para ekonom Islam di Indonesia (bahkan Nusantara) menggeliatkan konsep-konsep pengelolaan keuangan publik maupun dana sosial umat, Buya Hamka telah menarasikan implementasi penting instrumen zakat dalam institusi negara.
Pemanfaatannya untuk kegiatan pengembangan dalam rangka menjaga sustainabilitas (no poverty, no hunger, good health, quality education). Hal demikian ini, ada di antara pendapat beliau tentang zakat yang tidak asing dijumpai pada kebijakan pengelolaan keuangan publik saat ini. Di antaranya, dikelola untuk beasiswa pendidikan.
Bank Sedekah
Buya Hamka (1993) menarasikan gagasan yang lebih luas dalam memaknai definisi sabilillah yang terdapat dalam delapan asnaf, mutahiq dari zakat.
Beliau mengatakan “… post sabilillah kita dapat membangun mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, membelanjai muballigh Islam untuk menyebarkan Islam kepada Warga Negara Indonesia yang belum beragama”
“Atau memberi pengertian ummat Islam yang “buta agama” tentang ajaran agamanya, atau memberi beasiswa (studiesfonds), dan membelanjai pemuda-pemuda Islam yang berbakat untuk menambah ilmu pengetahuan, supaya layak menjadi bangsa yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lain”.
Hal menarik berikutnya dari narasi keadilan sosial yang disampaikan oleh Buya Hamka adalah konsep Bank Sedekah yang disarikan dari gagasan H.O.S Tjokroaminoto. Penjelasan tersebut beliau sampaikan dalam Tafsir Al-Azhar al-Baqarah ayat 281.
Menurut Buya Hamka, H.O.S Tjokroaminoto menggunakan istilah bank untuk memudahkan menjelaskan konsep kepada khalayak ramai di masa itu. Jika bank pada umumnya menjalankan fungsi intermediasi dari orang yang kelebihan modal kepada orang yang kekurangan, maka Bank Sedekah menjalankan fungsi penghimpunan amal mulia umat, khususnya untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah (sabilillah).
Uang yang terkumpul dari Bank Sedekah kemudian dipinjamkan tanpa bunga, atau bisa juga diberikan bunga dengan ‘rate’ yang pantas. Hasil dari pembungaan tadi bukan lantas dikembalikan kepada orang yang menaruh uang, akan tetapi digunakan untuk kepentingan umat.
Buya Hamka memuji gagasan yang disampaikan H.O.S Tjokroaminoto itu. Namun demikian, beliau juga berkata agar para ahli ekonomi Islam meninjau dan mengembangkan konsep ini.
Keadilan Bukan Menegasikan Hak Individu
Jika ditilik berdasarkan isu-isu pemikiran ekonomi kontemporer, keadilan sosial sebenarnya identik dengan konsep society of cooperation (terwujudnya sebuah masyarakat kerjasama) oleh Karl Marx dan Frederich Engel. Konsep tersebut kemudian melahirkan gagasan ekonomi mutlak diatur oleh negara (command economy) yang mana keadilan sosial dipahami sebagai wujud pemerataan kekayaan.
Maka dari itu, hak-hak individu harus dikesampingkan dan tunduk pada hak-hak kolektif yang diatur oleh negara. Konskuensinya, kondisi ini cenderung pada penegasian hak/kepemilikan individu.
Memandang kondisi tersebut, Buya Hamka (2015) berpendapat bahwa ekonomi merupakan bagian dari Islam. Beliau mengatakan bahwa Islam memandang sesuatu secara komprehensif (kulli) dan menyeluruh (syamil).
Oleh karena itu, setiap tindakan harus dipandang secara cermat supaya tidak merugikan orang lain, bahkan diri sendiri. Hal ini sebagaimana perkataan beliau, “Ekonomi merupakan bagian dari kehidupan, bukan untuk kehidupan.”
Hak Individu
Beliau juga berpendapat bahwa Islam mengakui hak milik individu, dan penghilangan terhadap hak individu sebagaimana ajaran komunis merupakan hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Buya Hamka memaparkan, “Rasa ingin memiliki harta dan memenuhi kebutuhan keluarga adalah hukum alam yang lain, yang menjadikan hak miliki individu lestari dalam kehidupan dan kemanusiaan”. Secara tegas dapat disimpulkan bahwa penghilangan hak individu sama halnya dengan penghilangan terhadap kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri (Hakim 2018).
Uraian di atas hanyalah secarik narasi di antara khazanah pemikiran Buya Hamka. Jika digali lebih dalam lagi, tentunya akan muncul banyak mutiara hikmah. Karya dan pemikiran Buya Hamka melintas masa dan bentang narasinya menjangkau antargenerasi. Pemikiran beliau berjalan tegar menembus aral zaman, seperti kata pepatah Melayu, “Tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas”.
Sungguh, benarlah Buya Hamka mengatakan dalam karya Dari Lembah Cita-Cita (1946), saat beliau memberikan motivasi kepada kaum muda.
“Ada orang yang hidup/sampai tubuhnya di dalam kubur/ sampai tulang hancur di dalam tanah, namanya dan hidupnya pun turut habis dengan tubuhnya/tidak menjadi peringatan orang lagi. Sebab hidupnya tidak berhaluan/Ada pula orang yang tambah hilang jasmaninya/tambah timbul kehidupannya/tambah digali orang, tambah diperiksa orang/ diselidiki dan ditilik. Sehingga kian habis badannya itu, kian hidup namanya/” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni