Din Syamsuddin: KLB Deli Serdang Rusak Tatanan Demokrasi. Karena itu dia mempertanyakan keterlibaam KSP Jenderal TNI (Purn) Moeldoko.
PWMU.CO – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang memilih Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai ketua umum, Jumat (5/3/2021) mengundang reaksi Prof Din Syamsuddin.
“Saya terusik berpendapat tentang KLB Partai Demokrat di Deli Serdang karena menciptakan kegaduhan nasional dan mengganggu tatanan demokrasi Indonesia,” kata Din Syamsuddin dalam keterangan tertulis pada PWMU.CO, Ahad (7/3/2021) malam.
Menurut Guru Besar Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta itu, KLB itu menampilkan atraksi politik dan tragedi demokrasi yang fatal.
Din Syamsuddin mengatakan, pelaksanaan KLB itu membuktikan bahwa upaya pendongkelan terhadap kepemimpinan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat—yang sempat dibantah oleh pihak yang dituduh sebagai pelaku—ternyata bukan isu apalagi rumor.
“Bantahan itu telah berfungsi semacam self fulfilling prophecy atau hal yang diciptakan untuk menjadi kenyataan,” kata Din Syamsuddin yang pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015.
Sesuai informasi beredar, lanjutnya, pelaksanaan KLB yang tidak berizin tersebut tidak sesuai dengan AD dan ART Partai Demokrat. Serta bertentangan dengan paradigma etika politik berdasarkan Pancasila.
Apakah Presiden Memberi Izin Moeldoko?
Oleh karena itu, kata Din Syamsuddin, penting untuk mempertanyakan, apakah keterlibatan Moeldoko pada KLB tersebut sudah seizin Presiden Joko Widodo sebagai atasannya atau tidak?
“Jika Presiden Joko Widodo mengizinkan atau memberi restu maka dapat dianggap Presiden telah mengintervensi sebuah partai politik dan merusak tatanan demokrasi,” tegasnya.
Namun, Din melanjutkan, jika Presiden Joko Widodo tidak pernah mengizinkan maka Moeldoko layak dipecat dari KSP karena merusak citra Presiden dan jika dia memimpin partai politik maka akan mengganggu pelaksanaan tugasnya sebagai KSP.
“Maka yang tepat dan terbaik bagi Pemerintah adalah menolak keputusan KLB tersebut. Jika Pemerintah mengesahkannya maka akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan demokrasi Indonesia, dan menciptakan kegaduhan nasional,” ujarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni